Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Sustainability Report, Apa Itu?

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 31 January 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Sustainability Report, Apa Itu?

KABARBURSA.COM - Isu seputar keberlanjutan dan perubahan iklim semakin menjadi sorotan di tengah masyarakat. Keuntungan bukan lagi satu-satunya fokus organisasi atau perusahaan; kelestarian dan keseimbangan lingkungan dan sosial juga menjadi aspek penting.

Perusahaan yang mampu menjalankan kinerja keuangan dengan baik sambil memperhatikan aspek lingkungan dan sosial akan lebih mungkin bertahan di masa mendatang.

Tantangan pelestarian lingkungan menjadi fokus utama, di mana Akuntansi turut berperan melalui pengungkapan sukarela biaya lingkungan dalam laporan keuangan. Laporan berkelanjutan atau sustainability report menjadi sarana penting untuk menyajikan informasi terkait aktivitas perusahaan dalam aspek lingkungan dan sosial.

Sustainability report bukan hanya mencakup kinerja finansial, melainkan juga dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang dihasilkan dari aktivitas perusahaan. Menurut standar Global Reporting Institute, laporan keberlanjutan memberikan pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal, wawasan untuk membentuk opini dan mengambil keputusan sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Meskipun informasi akuntansi lingkungan bersifat sukarela, hal ini belum memberikan kontribusi signifikan terhadap pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengungkapan yang lebih jelas dan komprehensif terkait praktik pelestarian lingkungan. Di Indonesia, sustainability report masih bersifat sukarela dan belum menjadi kewajiban bagi perusahaan.

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no 1 (revisi 2009) belum memberikan regulasi yang jelas terkait kewajiban menyajikan informasi terkait pelestarian lingkungan. PSAK menyatakan bahwa "Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup."

Karena sifat sukarela ini, perusahaan harus mempertimbangkan secara matang biaya dan manfaat dari pengungkapan informasi keberlanjutan ini. Jika manfaatnya lebih besar dari biayanya, perusahaan akan rela untuk secara proaktif mengungkapkan informasi tersebut.

Ekonomi Hijau Sampai Mana?

Ekonomi hijau Indonesia sudah sampai di mana? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menciptakan momen ringan dengan melempar guyonan tentang kondisi politik Indonesia saat membicarakan suhu panas di negeri ini.

Di acara IIF’s Anniversary Dialogue, Sri Mulyani menyoroti tantangan global yang dihadapi dunia, termasuk pemanasan global yang menyebabkan kenaikan suhu rata-rata dunia sebesar 0,6 derajat celcius sejak tahun 1991.

“Dunia sedang menghadapi tantangan besar, yaitu perubahan iklim. Pada tahun 2023, rata-rata suhu dunia meningkat 0,6 derajat celcius dibandingkan tahun 1991,” ungkapnya.

Dalam konteks ini, Sri Mulyani menyampaikan fakta bahwa Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara dengan suhu tertinggi, mencapai 27,2 derajat celcius. Dalam humornya, Menteri Keuangan menegaskan bahwa kondisi ini bukanlah akibat situasi politik, melainkan karena memang cuaca di Indonesia yang panas.

“Ini bukan karena situasi politik, ini benar-benar panas, terpanas kedua pada tahun 2016 dengan suhu 27,3 derajat celcius,” katanya.

Kementerian Investasi: Indonesia dapat menjadi “carbon market hub” ekonomi hijau

Beralih ke sektor investasi, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyoroti potensi Indonesia sebagai pusat pasar karbon.

Nurul Ichwan, Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi, menyampaikan keyakinan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan energi terbarukan, termasuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).

“Singapura tertarik pada investasi di sektor bisnis yang berkelanjutan, terutama investasi hijau di Asia Tenggara,” tambah Nurul.

Pemerintah Indonesia, melalui Presiden Joko Widodo, telah meresmikan Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) pada 18 September 2023, sebagai langkah menuju komitmen dekarbonisasi Indonesia hingga mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060.

Potensi PDB dari Ekonomi Hijau Mencapai Hampir Rp3.000 Triliun

Dalam konteks ini, Center of Economic and Law Studies (Celios) bersama dengan Greenpeace Indonesia memberikan proyeksi positif terkait ekonomi hijau.

Direktur Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa transisi dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi yang lebih ramah lingkungan dapat menciptakan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp2.943 triliun atau hampir Rp3.000 triliun dalam 10 tahun ke depan.

“Dengan bergerak ke ekonomi hijau, potensi ekonominya mencapai Rp3.000 triliun, hampir dua kali lipat dari ekonomi ekstraktif yang hanya mencapai Rp1.843 triliun,” ungkap Bhima.

Perhitungan potensi PDB ini melibatkan model input-output untuk melihat dampak berganda pada investasi langsung. Dalam skenario dua asumsi, dengan keseriusan politik pemerintah dalam menjalankan ekonomi hijau atau melanjutkan ekonomi ekstraktif, ekonomi hijau dinilai memberikan dampak positif, terutama bagi sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan.

Sebagai tambahan, pemerintah juga telah menciptakan ekosistem domestik yang kuat untuk mendukung pasar karbon, seperti diresmikannya Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) oleh Presiden Joko Widodo pada September 2023. Melalui langkah-langkah ini, Indonesia menegaskan komitmennya dalam mencapai Net Zero Emission di tahun 2060 dan mengambil peran penting dalam pengembangan ekonomi hijau.