KABARBURSA.COM - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengganti istilah Pinjaman Online (pinjol) menjadi Pinjaman Daring (pindar).
Langkah ini diambil untuk membantu masyarakat membedakan layanan pinjaman daring yang legal dan ilegal.
Ketua Umum AFPI Entjik S Djafar berharap perubahan istilah ini dapat mempermudah masyarakat dalam mengenali layanan yang sah dan aman serta mengurangi risiko penggunaan platform ilegal.
“Kami bukan pinjol yang meresahkan masyarakat, kami adalah pindar atau pinjaman daring yang berizin OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Kami akan meningkatkan edukasi kepada masyarakat, terutama kepada pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta Ultra Mikro Kecil (UMK). Kami juga akan mengampanyekan manfaat yang telah diterima oleh para peminjam UMKM dan UMK,” kata Entjik, Minggu, 8 Desember 2024.
Selama ini, istilah ‘pinjol’ seringkali dikaitkan dengan hal-hal negatif, terutama karena maraknya peredaran pinjaman online ilegal di masyarakat. Bahkan, jumlah pinjol legal jauh lebih sedikit dibandingkan pinjol ilegal yang terus diblokir oleh OJK.
Menurut data Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI), sejak 2017 hingga 30 September 2024, Satgas telah menutup 9.610 entitas pinjaman online ilegal. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah entitas pinjol legal yang menurut data OJK hingga saat ini hanya berjumlah 97 perusahaan.
Entjik berharap, dengan penggantian istilah ‘pindar,’ masyarakat dapat lebih mudah mengenali pinjaman daring yang sah dan terdaftar. Perubahan ini juga sudah didiskusikan dengan OJK.
“Penggantian nama ini sudah kami usulkan dan dibicarakan dengan OJK. OJK menyerahkan sepenuhnya pada industri untuk perubahan istilah ini,” jelas Entjik.
Entjik menyatakan, pihaknya telah melakukan survei atau riset yang melibatkan masyarakat, dan hasilnya ditemukan sebanyak 3.972 alternatif nama yang dapat digunakan. Seluruh industri sepakat untuk mengganti istilah ‘pinjol,’ karena istilah tersebut telah erat kaitannya dengan praktik ilegal.
Dengan perubahan ini, masyarakat diharapkan dapat lebih mudah membedakan antara pinjaman daring yang sah dan yang tidak terdaftar di OJK.
Beberapa waktu lalu, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) Nixon LP Napitupulu mengungkapkan bahwa pinjol kerap menjadi penghambat bagi masyarakat dalam mengakses pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Subsidi.
Kata Nixon, sekitar 30 persen pengajuan KPR Subsidi ditolak oleh pengembang karena catatan buruk di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dikelola oleh OJK, akibat utang dari pinjol.
“30 persen aplikasi yang diajukan ke pengembang untuk beli rumah KPR Subsidi ditolak karena SLIK OJK merah akibat pinjol,” kata Nixon di Jakarta, Jumat, 29 November 2024.
SLIK OJK berfungsi mengumpulkan informasi tentang riwayat kredit individu, menjadi acuan bagi bank, termasuk BTN, dalam mengevaluasi kelayakan kredit. Sebagian besar masalah muncul karena adanya catatan buruk pada SLIK, yang umumnya disebabkan oleh penggunaan pinjol.
“SLIK OJK merupakan ketentuan yang bersifat mutlak dan harus dipatuhi oleh perbankan,” ujar dia.
Nixon menegaskan, meskipun banyak orang yang hanya meminjam sejumlah kecil uang, seperti Rp200.000, namun pinjaman online tersebut tetap tercatat dalam sistem dan bisa membuat status SLIK menjadi merah, sehingga memengaruhi keputusan bank dalam menyetujui pengajuan KPR Subsidi.
“Jadi itu juga menjadi, padahal saldo pinjamannya terkadang hanya Rp200.000. Tapi, bank harus menghormati SLIK OJK sehingga kami tidak bisa menyetujui. Karena memang ketentuannya harus clear,” jelasnya.
Masalah ini tidak hanya menghambat calon debitur dalam memperoleh rumah subsidi, tetapi juga menunjukkan dampak luas dari maraknya pinjaman online yang belum terkendali dengan baik.
Banyak pihak, baik di sektor keuangan maupun masyarakat, berharap agar regulasi pinjol diperketat untuk melindungi konsumen dan memastikan data SLIK OJK mencerminkan kondisi finansial yang lebih akurat.
Nixon juga mengingatkan pentingnya kesadaran konsumen dalam menggunakan pinjol dan mengelola kredit dengan bijak agar mereka tetap memiliki kesempatan untuk mengakses fasilitas pembiayaan rumah subsidi.
Sementara itu, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menyatakan kesiapannya untuk meningkatkan target Program KPR dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Menteri PKP Maruarar Sirait mengatakan, target penyaluran KPR FLPP yang sebelumnya berada di angka 200.000 unit diharapkan dapat meningkat menjadi 800.000 unit pada tahun depan.
“Hal ini tentunya memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pengembang dan perbankan,” ujar Maruarar, Rabu, 27 November 2024.
Maruarar menegaskan bahwa KPR FLPP memiliki peran penting dalam membantu masyarakat mendapatkan rumah bersubsidi dengan harga dan cicilan yang terjangkau. Ia menilai program ini memberikan peluang besar bagi masyarakat untuk memiliki hunian dengan biaya yang lebih ringan.
“Program KPR FLPP yang dijalankan pemerintah bersama perbankan ini sangat baik. Banyak masyarakat jadi bisa memiliki rumah bersubsidi dengan harga murah dan cicilan yang ringan. Targetnya harus terus ditingkatkan,” ujar Maruarar. (*)