KABARBURSA.COM - Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat ada dua emiten jumbo yang bersiap melakukan Initial Public Offering atau IPO. Salah satu di antaranya bergerak di bidang perdagangan aset kripto.
Rencana ini menandai babak baru bagi industri kripto di tanah air yang semakin menunjukkan keseriusannya dalam merangkul regulasi pasar tradisional.
Direktur Utama Datindo Entrycom E. Agung Setiawati, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima mandat untuk menjadi Biro Administrasi Efek (BAE) dari calon emiten tersebut. Langkah ini merupakan bagian dari persiapan menuju pencatatan saham di BEI.
"Jika kami yang menjadi BAE, maka nilai IPO-nya besar. Untuk perusahaan kripto ini, targetnya mencapai Rp1 triliun," kata Datindo, Kamis, 5 Desember 2024.
Meski identitas perusahaan tersebut belum diungkapkan, Agung menegaskan bahwa perusahaan ini bukanlah platform aplikasi, melainkan murni pedagang aset kripto. Sebagai bagian dari proses IPO, perusahaan ini juga telah menunjuk Ciptadana Sekuritas dan Mandiri Sekuritas sebagai penjamin pelaksana emisi efek.
Langkah ini muncul di tengah dinamika regulasi yang semakin ketat terhadap industri kripto di Indonesia. Per Januari 2025, pengawasan terhadap pedagang aset kripto akan dialihkan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam rancangan peraturan OJK, sejumlah syarat ketat telah ditetapkan untuk pelaku industri ini, termasuk kewajiban mempertahankan ekuitas lebih dari Rp50 miliar bagi yang telah memiliki izin usaha. Sementara itu, bagi pelaku baru yang ingin memperoleh izin, modal disetor minimum ditetapkan sebesar Rp100 miliar.
Selain itu, OJK juga memiliki wewenang untuk meminta tambahan modal disetor atau ekuitas berdasarkan beberapa indikator, seperti dominasi pasar, jumlah pelanggan, volume transaksi, serta potensi dampak sistemik terhadap pasar.
Hal ini mencerminkan pendekatan hati-hati OJK dalam mengatur sektor yang tergolong baru dan berisiko tinggi ini.
Industri kripto di Indonesia memang telah mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa tahun terakhir, namun juga menghadapi tantangan besar terkait perlindungan konsumen dan stabilitas pasar.
Dengan adanya regulasi yang lebih ketat dan partisipasi perusahaan perdagangan kripto di pasar modal, ada harapan bahwa industri ini akan menjadi lebih transparan dan terpercaya.
IPO ini juga menunjukkan bagaimana pelaku industri kripto mulai melihat pentingnya kolaborasi dengan pasar modal konvensional sebagai langkah strategis untuk mendukung pertumbuhan bisnis mereka.
Langkah ini tidak hanya menjadi peluang investasi bagi publik, tetapi juga mencerminkan adaptasi industri terhadap perubahan regulasi dan ekspektasi pasar.
Jika IPO berjalan sukses, hal ini dapat menjadi katalis bagi perusahaan kripto lainnya untuk mengikuti jejak yang sama, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu pasar utama aset kripto di Asia.
Harga Bitcoin (BTC) telah mencatatkan tonggak sejarah baru dengan memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa (all-time high/ATH) di atas USD 100.000 atau setara Rp1,6 miliar per koin. Lonjakan harga ini menandai perubahan signifikan dalam lanskap aset digital, yang semakin memperoleh pengakuan sebagai kelas aset utama.
Menurut Coinmarketcap, pada Kamis, 5 Desember 2024, Bitcoin mencapai USD103.282 atau sekitar Rp1,64 miliar per koin, meningkat 8 persen dalam sehari. Pergerakan harga ini beriringan dengan perubahan sentimen di pasar global, didorong oleh ekspektasi regulasi yang lebih ramah terhadap kripto di bawah pemerintahan Presiden terpilih AS, Donald Trump.
Sejak kemenangan Trump pada 5 November 2024, harga Bitcoin melonjak sekitar 45 persen, sebagian besar berkat aliran modal dari institusi yang membeli Bitcoin melalui dana yang diperdagangkan di bursa (ETF).
Gubernur Federal Reserve Jerome Powell, dalam pernyataannya, menyamakan Bitcoin dengan emas sebagai aset spekulatif. Bahkan, Powell menyebutnya sebagai pesaing emas, bukan dolar AS. Pernyataan ini menunjukkan pengakuan atas peran Bitcoin dalam ekosistem keuangan global, meski ia tetap menyoroti volatilitasnya.
Selain itu, adopsi institusional terhadap Bitcoin mencapai puncaknya pada tahun ini. Dengan sekitar 3 persen dari total pasokan Bitcoin dibeli oleh institusi pada 2024, menurut Geoff Kendrick dari Standard Chartered London. Dukungan ETF dan peningkatan adopsi institusional memainkan peran besar dalam membawa Bitcoin ke level ini.
Di sisi lain, emas, sebagai aset tradisional, juga mencatatkan pertumbuhan dengan kenaikan 28,47 persen year-to-date (ytd), sementara Bitcoin melesat lebih dari 130 persen pada periode yang sama.
Perbandingan ini semakin menegaskan posisi Bitcoin sebagai alat lindung nilai inflasi yang sah, seiring perannya yang bergeser dari sekadar alat pembayaran peer-to-peer menjadi aset investasi utama.
Pemerintahan Trump diperkirakan akan mendorong regulasi yang lebih mendukung kripto, termasuk janji untuk menjadikan Amerika Serikat sebagai "ibu kota kripto dunia."
Penunjukan Paul Atkins sebagai calon Ketua Komisi Sekuritas dan Bursa AS oleh Trump juga memberikan harapan baru bagi pelaku industri atas pengawasan yang lebih terbuka dan progresif.
Seiring berjalannya waktu, Bitcoin kini berada di ambang penerimaan arus utama, mencerminkan perubahan besar dalam dunia keuangan, teknologi, dan geopolitik.
Para analis melihat pencapaian USD 100.000 lebih dari sekadar angka; itu adalah simbol transformasi dalam cara dunia memandang dan memanfaatkan aset digital di era modern.(*)