Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Trump Tolak Keras Nippon Steel Akuisisi U.S. Steel, Janjikan Tarif dan Insentif Pajak

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 04 December 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Trump Tolak Keras Nippon Steel Akuisisi U.S. Steel, Janjikan Tarif dan Insentif Pajak

KABARBURSA.COM - Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump kembali menegaskan sikapnya menolak keras rencana akuisisi U.S. Steel oleh Nippon Steel Corp. dari Jepang. Dalam unggahan di Truth Social pada Senin malam, Trump berjanji menggunakan insentif pajak dan tarif untuk menguatkan U.S. Steel sebagai perusahaan baja ikonis Amerika.

"Saya sepenuhnya menolak gagasan bahwa U.S. Steel, perusahaan yang dulu besar dan kuat, diambil alih oleh perusahaan asing. Saya akan menjadikannya kuat dan hebat lagi, dan itu akan terjadi dengan CEPAT!" tulis Trump, dilansir dari Reuters. Ia menambahkan, "Sebagai presiden, saya akan memblokir kesepakatan ini. Pembeli, hati-hati!"

Bukan hanya Trump, Presiden Joe Biden juga menentang rencana ini. Sejak Maret lalu, Biden sudah menyatakan pentingnya menjaga U.S. Steel sebagai perusahaan milik domestik. "U.S. Steel sudah menjadi bagian dari Amerika selama lebih dari satu abad, dan sangat penting untuk tetap berada di bawah kepemilikan domestik," katanya.

Saat ini, Komite Investasi Asing di Amerika Serikat (CFIUS) sedang meninjau akuisisi ini dengan alasan keamanan nasional. Keputusan akhir dijadwalkan bulan ini, meskipun ada kemungkinan perpanjangan proses.

Nippon Steel: Akuisisi Demi Penguatan Industri Baja

Nippon Steel menyatakan investasi mereka akan memperkuat industri baja AS. Perusahaan ini berjanji akan menyuntikkan dana minimal USD1,4 miliar ke fasilitas U.S. Steel yang diwakili oleh serikat pekerja, tidak melakukan PHK atau penutupan pabrik selama masa perjanjian, dan melindungi kepentingan U.S. Steel dalam perdagangan internasional.

Namun, janji ini belum sepenuhnya diterima. Serikat pekerja baja (United Steelworkers) menolak akuisisi ini dengan alasan dampak jangka panjang pada keamanan ekonomi dan nasional AS. "Presiden Trump paham betul pentingnya industri baja domestik yang kuat untuk keamanan nasional dan keberlanjutan komunitas pekerja," ujar serikat pekerja dalam pernyataan resminya.

Pro dan Kontra di Kalangan Lokal

Meski banyak yang menolak, beberapa pekerja U.S. Steel mendukung akuisisi ini karena dinilai akan membawa stabilitas finansial yang lebih baik dibandingkan pembeli potensial lainnya seperti Cleveland-Cliffs. Jack Maskil, wakil presiden cabang serikat pekerja di West Mifflin, Pennsylvania, berkata, "U.S. Steel telah memberi kehidupan yang sangat baik bagi keluarga kami selama bertahun-tahun. Kami yakin dengan kesepakatan Nippon, lebih banyak keluarga akan merasakan manfaat yang sama di masa depan."

Wali Kota West Mifflin, Chris Kelly, juga menyatakan keyakinannya setelah bertemu dengan eksekutif Nippon Steel. "Ini adalah langkah terbaik ke depan," ujarnya dalam diskusi panel yang diselenggarakan oleh Hudson Institute.

Babak Baru Tarif dan Perang Dagang

Trump sudah menjanjikan tarif 10 persen hingga 60 persen untuk barang-barang China selama kampanye. Kini ia berjanji menggunakan langkah serupa untuk melindungi industri baja AS. Para pengamat menilai ini sebagai bagian dari eskalasi perang dagang yang kembali memanas di bawah kepemimpinannya.

Sementara itu, Biden juga berada dalam posisi menentukan. Dengan waktu yang semakin mendekati tenggat, keputusan CFIUS bisa menjadi penentu nasib akuisisi ini, apakah akan membawa perubahan besar untuk U.S. Steel atau menegaskan kembali komitmen pemerintah terhadap perlindungan industri strategis domestik.

Manufaktur Asia di Bawah Bayang-bayang Tarif Trump

Saat Trump bersiap kembali ke Gedung Putih, bayangan tarif baru menjadi risiko nyata yang membayangi aktivitas ekonomi global. Sementara itu, di Asia, data terbaru menunjukkan adanya pemulihan di sektor manufaktur, meskipun tantangan signifikan tetap ada. Bagaimana kebijakan ini memengaruhi lanskap manufaktur Asia?

Aktivitas pabrik di negara-negara manufaktur terbesar Asia meningkat pada November 2024. Pemulihan ekonomi Tiongkok, didorong oleh stimulus negara tersebut dan lonjakan ekspor menjadi motor utama gairah manufaktur ini. Namun, ada beberapa titik lemah di wilayah lain yang menjadi tantangan serius.

Dilansir dari Reuters, Senin, 2 Desember 2024, risiko global tengah membayangi dengan potensi kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis Senin hari ini menggambarkan situasi yang beragam bagi negara-negara Asia yang bergantung pada ekspor.

PMI Caixin menunjukkan aktivitas pabrik Tiongkok tumbuh tercepat dalam lima bulan terakhir, berkat lonjakan pesanan baru, termasuk dari luar negeri. Hal ini sejalan dengan survei resmi sebelumnya, yang menandakan stimulus mulai berdampak pada ekonomi terbesar kedua dunia itu.

Kabar baik dari Tiongkok membawa angin segar bagi negara-negara manufaktur Asia lainnya seperti Korea Selatan dan Taiwan, yang aktivitas pabriknya juga meningkat. Menurut Xing Zhaopeng, analis senior ANZ, pemulihan Tiongkok saat ini sebagian besar didorong oleh ekspor.

“Pesanan ekspor baru melonjak, baik di PMI resmi maupun PMI Caixin. Namun, permintaan domestik masih lemah, terlihat dari PMI non-manufaktur yang hanya mencapai angka 50,” kata Xing.

Banyak eksportir Tiongkok bergegas mengirim barang ke pasar utama seperti AS dan Uni Eropa untuk menghindari tarif baru. Risiko tarif ini menambah tantangan yang dihadapi pembuat kebijakan.

Sejak paruh kedua tahun ini, Beijing menggelontorkan berbagai paket stimulus besar untuk mencegah penurunan tajam dalam konsumsi dan produksi. Meski analis menyebut langkah lanjutan masih diperlukan, tanda-tanda perbaikan mulai terlihat, dengan stabilnya belanja ritel dan pasar properti.

Namun, ancaman tarif dari Trump tetap menjadi bayang-bayang besar. Presiden AS terpilih itu berjanji menerapkan tarif agresif untuk membangkitkan industri dan lapangan kerja Amerika. Baru-baru ini, Trump mengancam akan mengenakan tarif 10 persen pada barang-barang Tiongkok dengan alasan Negeri Tirai Bambu itu harus bertindak lebih tegas dalam memerangi penyelundupan bahan kimia untuk produksi fentanyl.

Sementara itu, di Jepang, situasinya memburuk. PMI menunjukkan penurunan aktivitas tercepat dalam delapan bulan terakhir akibat lemahnya permintaan. Namun, data resmi menunjukkan belanja perusahaan pada peralatan dan fasilitas justru meningkat di kuartal ketiga.

Di Asia Tenggara, aktivitas pabrik masih menurun di Indonesia dan Malaysia, sementara pertumbuhan melambat di Thailand dan Vietnam.(*)