Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Minyak Dunia Melonjak, Timur Tengah Memanas

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 04 December 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Harga Minyak Dunia Melonjak, Timur Tengah Memanas

KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia meroket lebih dari 2 persen pada Selasa, 3 Desember 2024. Lonjakan ini dipicu oleh memanasnya ketegangan di Timur Tengah setelah Israel mengancam serangan jika gencatan senjata dengan Hizbullah gagal. Selain itu, pasar juga menantikan keputusan OPEC+ yang kemungkinan akan memperpanjang pemotongan pasokan dalam pertemuan minggu ini.

Dilansir dari Reuters, harga minyak mentah Brent naik 1,68 dolar AS (2,3 persen) menjadi 73,51 dolar AS per barel pada siang hari waktu setempat. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) melonjak 1,71 dolar AS (2,5 persen) ke 69,81 dolar AS per barel.

Ketegangan Geopolitik di Lebanon

Pasukan Israel terus melancarkan serangan terhadap pihak yang disebut sebagai pelanggar gencatan senjata di Lebanon. Pemerintah Lebanon meminta bantuan Amerika Serikat dan Prancis untuk menekan Israel agar mematuhi perjanjian tersebut.

Analis UBS, Giovanni Staunovo, menyebut risiko gagal gencatan senjata menambah ketidakpastian bagi pedagang minyak. Meski konflik di Lebanon belum mengganggu pasokan, ketegangan antara Iran dan Israel tetap menjadi fokus utama pasar beberapa bulan ke depan.

Dukungan dari Rencana OPEC+

Selain geopolitik, harga minyak juga didorong oleh ekspektasi perpanjangan pemotongan pasokan OPEC+ hingga akhir kuartal pertama 2025. Empat sumber dari kelompok tersebut mengisyaratkan pemangkasan ini akan dibahas dalam pertemuan pada Kamis, 5 Desember 2024.

OPEC+ yang mencakup hampir separuh produksi minyak dunia sebelumnya merencanakan pengurangan pemotongan sepanjang 2024. Namun, ancaman surplus pasar membuat harga minyak Brent berada hampir 6 persen di bawah rata-rata Desember tahun lalu, sehingga pemangkasan pasokan diprediksi tetap diperlukan.

Prediksi Goldman Sachs

Goldman Sachs memperkirakan OPEC+ akan memperpanjang pemotongan hingga April 2024. Mereka menyoroti meningkatnya kepatuhan negara-negara seperti Rusia, Kazakhstan, dan Irak terhadap kebijakan ini. “Harga Brent yang lebih rendah memperkuat alasan untuk perpanjangan pemotongan pasokan,” jelas Goldman dalam catatannya.

Meski harga minyak naik, prospek permintaan global masih lesu. Peneliti memperkirakan impor minyak mentah China, salah satu konsumen terbesar dunia, akan mencapai puncaknya pada 2025 karena penurunan permintaan bahan bakar transportasi. Di sisi lain, Saudi Arabia diperkirakan menurunkan harga minyak mentah untuk pembeli di Asia ke level terendah dalam empat tahun terakhir.

Sempat Stabil

Harga minyak mentah stabil pada Senin, 2 Desember 2024, di tengah ekspektasi peningkatan permintaan dari China yang diimbangi oleh kekhawatiran terkait kebijakan suku bunga The Fed pada pertemuan Desember mendatang.

Menurut laporan Reuters, harga minyak mentah Brent turun tipis sebesar 1 sen menjadi USD71,83 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS mengalami kenaikan sebesar 10 sen (0,15 persen) menjadi USD68,10 per barel.

Optimisme pasar didukung oleh data sektor swasta yang menunjukkan aktivitas pabrik di China tumbuh pada November dengan laju tercepat dalam lima bulan.

Pertumbuhan ini meningkatkan kepercayaan pelaku bisnis terhadap pemulihan ekonomi China, meskipun situasi global tetap diwarnai ketidakpastian, termasuk ancaman perdagangan yang terus digaungkan oleh Presiden terpilih AS, Donald Trump.

Ketegangan di Timur Tengah

Sementara itu, ketegangan geopolitik di Timur Tengah turut memengaruhi sentimen pasar. Gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Lebanon, yang dimulai pekan lalu, kembali terguncang setelah militer Israel melancarkan serangan terhadap apa yang mereka sebut sebagai “target teror” di Lebanon. Tuduhan pelanggaran gencatan senjata dilontarkan kedua pihak, yakni Israel dan kelompok bersenjata Hizbullah.

Pentagon menyatakan gencatan senjata secara formal masih berlaku. Namun, eskalasi ini menimbulkan risiko geopolitik yang berpotensi mengganggu pasokan minyak global.

“Meskipun ada gencatan senjata, banyak keraguan terkait legitimasi kesepakatan ini,” ujar Dennis Kissler, Wakil Presiden Senior Perdagangan di BOK Financial.

Di sisi lain, pasar juga tengah menanti hasil pertemuan OPEC+, yang dijadwalkan berlangsung pada 5 Desember. Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya diharapkan membahas kemungkinan penundaan kenaikan produksi yang sebelumnya direncanakan mulai Januari 2025.

“Jika OPEC+ memutuskan untuk menunda kenaikan produksi tanpa batas waktu, hal ini dapat meredakan tekanan penurunan harga minyak,” ujar George Pavel, General Manager Naga.com Timur Tengah. Keputusan ini diperkirakan akan menjadi acuan penting dalam menentukan kebijakan produksi minyak untuk awal tahun 2025.

Kebijakan The Fed dan Dolar AS

Faktor lain yang memengaruhi pasar adalah pernyataan Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic, yang membuka kemungkinan untuk mempertahankan suku bunga pada pertemuan Desember. Keputusan ini akan sangat bergantung pada data ketenagakerjaan yang dijadwalkan rilis minggu ini.

Suku bunga yang lebih tinggi cenderung meningkatkan biaya pinjaman, memperlambat aktivitas ekonomi, dan pada akhirnya mengurangi permintaan minyak.

Selain itu, penguatan dolar AS juga menambah tekanan. Mata uang AS kembali menguat setelah Trump mengancam akan menerapkan tarif 100 persen terhadap negara-negara anggota BRICS yang mendukung penggunaan mata uang alternatif pengganti dolar.

Penguatan dolar membuat minyak, yang dihargai dalam dolar, menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lain, sehingga berpotensi menekan permintaan global.(*)