KABARBURSA.COM - Generasi Z atau Gen Z saat ini tengah mengalami tekanan ganda dari rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen. Meskipun rencana tersebut ditunda, namun sudah memberikan dampak luar biasa bagi emosional dan saving behavior Gen Z.
Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadia Adrian A Wijanarko, menilai kenaikan PPN sebesar 1 persen ini mampu memberi tekanan kepada generasi milenial dan gen Z. Meskipun demikian, sejatinya kedua generasi ini sudah menghadapi dua tekanan, baik internal maupun eksternal.
“Tekanan internal tersebut berupa kemandirian finansial, kecemasan ekonomi, dan tekanan sosial. Sedangkan tekanan eksternalnya adalah ketidakpastian ekonomi global, persaingan di pasar kerja, dan dari sektor keuangan serta perbankan, juga dampak kebijakan pemerintah beserta regulasinya,” kata Adrian dalam diskusi Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Senin, 2 Desember 2024.
Baik tekanan internal dan eksternal, ditambah lagi dengan PPN 12 persen, dapat meningkatkan stres kerja hingga mengganggu kesehatan mental kedua generasi tersebut. Dan sudah dapat dipastikan bahwa masalah mentalitas ini dapat menghambat target Indonesia Emas 2045.
Bagaimana tidak, PPN 12 persen dapat menimbulkan kenaikan harga, tidak hanya bahan-bahan pokok tetapi juga barang-barang mewah. Apalagi, seluruh pajak tersebut dibebankan kepada konsumen. Wajar saja jika kemudian Gen Z dan milenial lebih selektif dalam hal pengeluaran, karena secara otomatis mereka akan mencari alternatif yang lebih murah.
“Generasi Z yang ingin menabung untuk pendidikan, investasi, atau membeli properti, mungkin akan menghadapi tantangan yang lebih besar karena pengeluaran sehari-hari meningkat, sehingga menyulitkan mereka menyisihkan dana untuk tabungan,” ujar dia.
Terkait dengan perubahan perilaku menyimpan atau saving behaviour, regulasi tersebut akan mempengaruhi manajemen keuangan pribadi atau bagaimana seseorang membelanjakan pendapatannya.
Sejauh ini, dua generasi tersebut membagi keuangan mereka dalam tiga kelompok, yaitu manajemen kas, manajemen kredit, dan perilaku hemat atau saving behaviour.
“Kalau spending manajemen kredit itu sangat tinggi dan tidak dikontrol oleh individu atau pemerintah, maka dapat memangkas manajemen kas atau uang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari, seperti makan, transportasi, dan baju,” jelasnya.
Peningkatan PPN 12 persen juga tak hanya akan memangkas manajemen kas, tetapi juga memangkas simpanan mereka yang pada awalnya digunakan hanya untuk hal-hal yang tidak terduga. Pemangkasan simpanan akibat kenaikan harga bahan baku juga dapat memangkas jumlah kelas menengah di Indonesia menjadi kelas menengah ke bawah, dan bahkan sampai kelas bawah.
Adrian mendesak pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk tidak membiarkan sentimen negatif Gen Z terus terjadi. Karena, kunci pertumbuhan ekonomi adalah melawan sentimen pesimis Gen Z.
Menurutnya apa yang terjadi di Indonesia mirip dengan realitas vibecession atau orang yang pesimis terhadap ekonominya. Ia mencontohkan, pada tahun 2022 ketika ekonomi di Amerika sudah sudah membaik pada tahun 2022, tapi banyak orang merasa pesimis dengan ekonominya karena baru saja mengalami Covid-19, perang dagang Amerika-China.
“Ini yang akhirnya membuat Gen Z itu mencerminkan bahwa walaupun keadaan PDB sedang naik, tapi mereka itu merasa sedang tidak baik-baik saja. Dan itu berpengaruh terhadap keputusan investasi dan pola belanja yang dapat menekan atau menurunkan PDB karena tingkat konsumsi masyarakat rendah,” jelasnya.
Adrian menilai, wacana penerapan PPN 12 persen dapat menumbuhkan sentimen negatif Gen Z sehingga membuat mereka menarik spending-nya dan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kendati demikian, Adrian menilai pelemahan ekonomi yang dialami Gen Z dan milenial berdampak positif kepada peningkatan penjualan produk UMKM.
“Kalau sebelumnya mereka ingin dan harus membeli sesuatu yang branded, tapi karena dengan PPN yang tinggi ini dapat mengurangi saving-nya, sehingga mereka beralih ke UMKM atau produk lokal,” ujarnya.
Sebelumnya, Pakar Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, menyoroti kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen belum mampu mengimbangi potensi kenaikan beban masyarakat, terutama jika rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen terealisasi.
“Secara teoritis, kenaikan ini hanya terasa di Desember. Tapi jika PPN benar-benar naik pada Januari, daya beli masyarakat akan kembali tergerus, dan kenaikan upah ini tidak akan memiliki dampak nyata,” jelas Tadjuddin kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 30 November 2024.
Menurut Tadjuddin, kenaikan UMP 6,5 persen setara dengan tambahan 3,5 persen pendapatan riil bagi pekerja setelah memperhitungkan inflasi. Namun, ia mencatat bahwa daya beli masyarakat saat ini sudah berada pada titik rendah.
“Pasar-pasar sepi, belanja masyarakat menurun drastis. Ini menunjukkan daya beli sudah melemah. Jika PPN naik, dampaknya akan semakin parah,” ungkapnya.
Tadjuddin memperingatkan bahwa penurunan daya beli akan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi.
“Konsumsi menyumbang sekitar 55-60 persen terhadap PDB kita. Jika daya beli melemah, pertumbuhan ekonomi yang sekarang stabil di 5,25 persen bisa turun di bawah 5 persen tahun depan,” ujarnya.
Ia menambahkan, kondisi ini dapat memperlebar kesenjangan ekonomi.
“Masyarakat kelas menengah ke bawah terkena dampak kenaikan PPN, sementara perusahaan besar justru menikmati keuntungan dari kebijakan seperti tax amnesty,” paparnya.
Menurut Tadjuddin, langkah pemerintah yang memberikan pengampunan pajak kepada perusahaan besar justru akan memperdalam ketimpangan sosial.(*)