KABARBURSA.COM - PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan anak usahanya, PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL), menunjukkan arah strategis yang beragam untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan daya tarik investasi. Meskipun menghadapi tantangan signifikan, seperti penurunan harga saham dan kinerja keuangan yang tertekan, prospek keduanya tetap menjanjikan berkat langkah strategis dan ekspansi agresif.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, TLKM terus menunjukkan upaya strategis untuk menjaga posisinya sebagai pemimpin di industri telekomunikasi Indonesia. Penyesuaian harga layanan oleh Telkomsel menjadi salah satu langkah penting untuk memperbaiki margin keuntungan di tengah tekanan Average Revenue Per User (ARPU) yang menurun.
Kebijakan ini juga mencerminkan langkah proaktif TLKM dalam merespons dinamika pasar yang kompetitif, dengan tujuan memulihkan stabilitas pendapatan di segmen layanan utama. Meski demikian, keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada respons pasar dan langkah kompetitor, yang dapat memengaruhi pangsa pasar dan kinerja jangka panjang perusahaan.
Strategi ini, diimbangi dengan fokus pada efisiensi operasional dan inovasi, diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan investor sekaligus memperbaiki kinerja saham TLKM yang tertekan sepanjang 2024.
Penurunan kinerja dan arus keluar investor asing terus membayangi saham TLKM, yang telah melemah 30,3 persen sejak awal tahun. Menurut analis Bahana Sekuritas, Kevin Jonathan Panjaitan, hasil kinerja TLKM yang stagnan tahun ini menjadi salah satu penyebab utama tekanan tersebut, di samping dominasi kepemilikan asing pada saham perusahaan (77 persen) yang rentan terhadap arus keluar modal dari pasar Indonesia.
Hingga kuartal ketiga 2024 atau periode sembilan bulan pertama tahun 2024, TLKM hanya mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 0,9 persen secara tahunan (yoy), yang terbebani oleh penurunan pendapatan SMS, layanan tetap, dan seluler sebesar 27 persen yoy.
Sementara itu, pendapatan data seluler dan internet hanya tumbuh tipis 1,8 persen yoy. Dampaknya terlihat jelas pada Average Revenue Per User (ARPU), yang turun dari Rp47,8 ribu pada sembilan bulan pertama tahun 2023 menjadi Rp44,5 ribu pada periode yang sama tahun ini. Menurunnya pendapatan dari layanan tradisional dan penetrasi produk dengan harga lebih terjangkau menjadi pemicu utama penurunan ini.
Secara laba bersih, TLKM melaporkan penurunan sebesar 9,4 persen yoy menjadi Rp17,7 triliun. Faktor pendorong utamanya adalah pendapatan yang stagnan serta lonjakan biaya pegawai sebesar 12,7 persen yoy, termasuk biaya untuk Program Pensiun Dini yang bersifat sekali bayar.
[caption id="attachment_103482" align="aligncenter" width="1466"] Pergerakan harga saham TLKM. (Foto: Stockbit)[/caption]
Meski tekanan besar masih membayangi, TLKM memberikan secercah harapan dengan keputusan Telkomsel untuk menaikkan harga layanan seluler secara bertahap mulai pertengahan November 2024. Kenaikan ini diperkirakan berada di kisaran 5-10 persen untuk sebagian besar produk Telkomsel. Langkah tersebut disambut positif oleh pasar, dengan harga saham TLKM melonjak 7,3 persen dalam sehari.
“Penyesuaian harga ini merupakan sinyal positif bagi sektor telekomunikasi, karena berpotensi meredam risiko perang harga di pasar,” ujar Kevin.
Telkomsel Lite, produk baru yang dirancang untuk memperluas pangsa pasar di wilayah tertentu, dipastikan tidak akan menjadi pemicu perang harga di tingkat nasional. Kenaikan harga ini juga dinilai sebagai langkah antisipatif terhadap kenaikan PPN yang direncanakan pada tahun depan.
Namun, Kevin mengingatkan adanya risiko jika pemain telekomunikasi lain tidak mengikuti langkah serupa, yang dapat menyebabkan kehilangan pangsa pasar bagi Telkomsel.
Meskipun langkah strategis ini membawa optimisme, Bahana Sekuritas menurunkan rekomendasi untuk saham TLKM dari "beli" menjadi "tahan", dengan target harga tetap di Rp3.100 per lembar. “Kami memutuskan untuk menunggu dan mengamati reaksi pemain telekomunikasi lainnya terhadap rencana kenaikan harga ini,” jelas Kevin.
Bahana Sekuritas memperkirakan TLKM hanya akan mencatat pertumbuhan pendapatan sebesar 2,9 persen pada 2025, yang masih di bawah rata-rata industri. Proyeksi ini didasarkan pada model Discounted Cash Flow (DCF) dengan Weighted Average Cost of Capital (WACC) sebesar 10,26 persen dan tingkat pertumbuhan terminal jangka panjang sebesar 1,0 persen.
MTEL kembali menunjukkan kinerja solid di tengah tantangan industri telekomunikasi. Selama periode sembilan bulan pertama 2024, perusahaan mencatat pertumbuhan laba bersih sebesar 7,1 persen yoy menjadi Rp1,53 triliun, meskipun pada kuartal ketiga laba bersih turun 13,8 persen quarter-on-quarter (qoq) menjadi Rp468 miliar.
Menurut Leonardo Lijuwardi, analis dari NH Korindo Sekuritas Indonesia (NHKSI), pencapaian ini mencerminkan stabilitas operasional MTEL yang tetap kuat meskipun menghadapi tekanan di beberapa segmen bisnis. “Efisiensi operasional dan pertumbuhan pendapatan dari segmen fiber menunjukkan bahwa MTEL berhasil menavigasi tantangan dengan baik,” ujar Leonardo.
Pendapatan MTEL selama sembilan bulan pertama tahun 2024 mencapai Rp6,82 triliun, tumbuh 8,7 persen yoy. Segmen penyewaan menara masih menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi Rp5,67 triliun (8,5 persen yoy). Sementara itu, segmen fiber menunjukkan kinerja luar biasa, dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 89,5 persen yoy menjadi Rp274 miliar.
Efisiensi operasional juga menjadi poin positif, dengan penurunan beban operasional sebesar 5,5 persen yoy menjadi Rp1,15 triliun. Penurunan biaya pemeliharaan menara sebesar 10,9 persen yoy menjadi salah satu faktor utama di balik pencapaian ini.
“Langkah efisiensi ini penting dalam menjaga margin keuntungan di tengah persaingan industri yang ketat,” tambah Leonardo.
MTEL terus memperkuat posisinya sebagai pemimpin pasar dengan ekspansi jaringan fiber yang meningkat 36,7 persen yoy menjadi 39.715 km. Dari total jaringan tersebut, 56,2 persen berada di luar Jawa, mencerminkan fokus perusahaan pada perluasan pasar di daerah non-urban.
Jumlah menara telekomunikasi MTEL juga bertambah 5,8 persen yoy menjadi 39.259 unit, dengan tingkat tenancy ratio stabil di 1,52x.
“Ekspansi agresif ini menunjukkan komitmen MTEL untuk mendukung kebutuhan konektivitas nasional, terutama di wilayah-wilayah yang masih berkembang,” jelas Leonardo.
Telkomsel tetap menjadi pelanggan utama MTEL dengan kontribusi pendapatan sebesar Rp3,74 triliun (6,6 persen yoy). Penyewa lain seperti XL Axiata juga mencatatkan pertumbuhan signifikan sebesar 23,3 persen yoy, menyumbang Rp782 miliar.
Namun, Leonardo mengingatkan bahwa beberapa risiko masih perlu diantisipasi, termasuk ketidakpastian pertumbuhan tingkat penyewaan dan dampak dari konsolidasi operator telekomunikasi di Indonesia.
“Meski ada tantangan, ekspansi di sektor fiber menjadi pendorong utama yang dapat mendukung pertumbuhan jangka panjang MTEL,” kata Leonardo.
[caption id="attachment_103483" align="aligncenter" width="1452"] Pergerakan harga saham MTEL. (Foto: Stockbit)[/caption]
NHKSI Research merekomendasikan "beli" untuk saham MTEL dengan target harga Rp740, yang mencerminkan potensi kenaikan 21,3 persen dari harga pada 26 November 2024 di Rp610 (per 26 November 2024).
“Valuasi MTEL saat ini menarik, terutama dengan rasio EV/EBITDA yang masih di bawah rata-rata sejak IPO,” ujar Leonardo.
Meski kinerja saham MTEL sepanjang tahun ini turun 10,9 persen (year-to-date), sentimen positif dari efisiensi operasional dan ekspansi bisnis dapat memberikan peluang menarik bagi investor jangka panjang.
Dengan posisi sebagai pemimpin pasar dan strategi diversifikasi yang kuat, MTEL diproyeksikan akan terus memanfaatkan peluang pertumbuhan di industri telekomunikasi Indonesia.
Menarikkah untuk Dikoleksi?
Ketika mempertimbangkan pilihan antara TLKM dan MTEL, penting untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menentukan potensi jangka panjang dan risiko yang terlibat. TLKM, sebagai pemain utama di sektor telekomunikasi Indonesia, memiliki fondasi yang solid. Namun, tantangan dalam pertumbuhan pendapatan dan margin keuntungan membuatnya kurang menarik bagi investor yang mencari imbal hasil cepat.
Kinerja yang stagnan, ditambah tekanan kompetitif dan penurunan kontribusi layanan tradisional, membuat TLKM terlihat kurang menarik untuk jangka pendek. Meskipun potensi kenaikan tarif dapat menjadi katalis positif, terutama jika pasar merespons dengan baik, TLKM lebih cocok untuk investor konservatif yang mengutamakan stabilitas.
[caption id="attachment_103478" align="aligncenter" width="1792"] PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan anak usahanya, PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) dalam sebuah ilustrasi. (Foto: KabarBursa.com)[/caption]
Di sisi lain, MTEL menawarkan prospek yang lebih menarik untuk koleksi. Saham ini terlihat undervalued dan memiliki strategi ekspansi yang agresif, terutama melalui peningkatan segmen fiber dan penyewaan menara.
MTEL menunjukkan angka pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan TLKM, didorong oleh ekspansi signifikan di luar Jawa dan fokus pada pasar non-urban, yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi. Keunggulan kompetitif yang dimiliki MTEL, seperti diversifikasi produk dan efisiensi operasional yang baik, memperkuat posisinya di pasar dan membuatnya lebih tahan terhadap tekanan kompetitif.
Berdasarkan metodologi Warren Buffett, MTEL tampaknya menjadi pilihan yang lebih baik dibandingkan TLKM. MTEL memiliki aspek-aspek yang sejalan dengan filosofi Buffett, seperti potensi pertumbuhan yang kuat, keunggulan kompetitif, dan efisiensi operasional, serta valuasi yang menarik.
Sementara itu, TLKM lebih cocok untuk investor yang mengutamakan stabilitas jangka pendek dan bersedia menghadapi tantangan kompetitif yang signifikan. Dengan demikian, MTEL lebih direkomendasikan untuk investor dengan orientasi jangka panjang dan toleransi risiko moderat. (*)