Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Efek Tarif Dagang Trump Kali ini tak Biasa, Beda dari Periode Pertama

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 28 November 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Efek Tarif Dagang Trump Kali ini tak Biasa, Beda dari Periode Pertama

KABARBURSA.COM - Donald Trump dikenal gemar menggunakan tarif pada barang impor selama masa kepresidenannya yang pertama di Amerika Serikat (AS). Namun, dampaknya pada ekonomi secara keseluruhan nyaris tak terasa, meskipun beberapa industri tertentu mengalami guncangan yang nyata. Tarif tersebut tak sepenuhnya berhasil menciptakan lapangan kerja pabrik seperti yang dijanjikan, juga tak memicu lonjakan inflasi besar seperti yang dikhawatirkan para kritikus.

Tapi kali ini, ancaman tarif dari Trump mungkin berbeda.

Trumpcyang baru terpilih kembali, berencana meluncurkan tarif dalam skala jauh lebih besar. Ini menimbulkan ketidakpastian, baik soal apakah ia benar-benar akan melakukannya, maupun apa dampaknya nanti. “Akan ada lebih banyak tarif, dia sudah cukup jelas,” kata Michael Stumo, CEO Coalition for a Prosperous America, kelompok pendukung pajak impor untuk melindungi manufaktur lokal, dikutip dari Apnews, Kamis, 28 November 2024.

Ancaman Tarif Baru ke Meksiko, Kanada, dan China

Trump menyatakan di media sosial bahwa pada hari pertamanya menjabat, ia akan memberlakukan tarif 25 persen pada semua barang impor dari Meksiko dan Kanada hingga kedua negara itu menghentikan imigrasi ilegal dan peredaran obat-obatan terlarang seperti fentanil ke Amerika Serikat. Jika dilaksanakan, kebijakan ini bisa mengguncang perjanjian dagang Amerika Utara yang dirancang tim Trump pada masa jabatan pertamanya.

Namun, dua hari kemudian, Trump mengklaim telah berbicara dengan Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum, yang setuju menghentikan migrasi ilegal ke AS. Selain itu, Trump juga mengancam tarif tambahan 10 persen untuk impor dari China sampai Beijing menindak produksi bahan-bahan yang digunakan untuk membuat fentanil.

Kekhawatiran Inflasi dan Respons dari Demokrat

Ancaman tarif ini memicu peringatan dari kelompok bisnis dan Demokrat yang khawatir kebijakan itu akan memicu inflasi besar-besaran. Kelompok bisnis memperingatkan tarif semacam itu dapat meningkatkan harga mobil, sepatu, perumahan, hingga kebutuhan pokok.

Demokrat di DPR AS bahkan mengusulkan undang-undang untuk membatasi wewenang presiden dalam menetapkan tarif drastis tanpa persetujuan Kongres. Meski langkah ini simbolis karena Partai Republik akan menguasai DPR dan Senat, Demokrat berharap bisa mengendalikan kebijakan tarif yang bisa membebani masyarakat.

Presiden Meksiko, Claudia Sheinbaum, menanggapi ancaman ini dengan menyiapkan daftar tarif balasan jika Trump benar-benar memberlakukan kebijakannya. Hal serupa juga sedang dipertimbangkan oleh pemerintah Kanada.

Tarif Sebagai Senjata Politik Trump

Bagi Trump, tarif kini menjadi alat yang teruji secara politik, meskipun mandat utamanya dari pemilu terakhir adalah menekan inflasi. Selama masa jabatan pertamanya, tarif yang ia kenakan pada China ternyata diteruskan oleh Joe Biden, bahkan diperluas cakupannya. Pemerintahan Biden sempat mempertimbangkan untuk mencabut tarif era Trump guna menurunkan tekanan inflasi, tetapi dampaknya dianggap terlalu kecil untuk diupayakan.

Menurut Stumo, pada 2017 tarif mungkin terlihat baru dan mengejutkan, tapi sekarang sudah menjadi bagian dari kebijakan standar Amerika dan negara lain.

Efek Tarif Era Trump: Kecil Tapi Terasa

Pada masa jabatan pertamanya, Trump mengenakan tarif pada panel surya dan mesin cuci di awal 2018. Kebijakan ini mendorong kenaikan harga di sektor tersebut, meskipun diiringi pembukaan pabrik mesin cuci di Tennessee dan South Carolina. Tarif juga diberlakukan pada baja dan aluminium, bahkan terhadap sekutu AS.

Perang dagang dengan China di bawah Trump menghasilkan kesepakatan terbatas pada 2020 yang gagal memenuhi target pembelian barang AS oleh China. Meski begitu, konflik tersebut mengubah hubungan dengan China, mendorong perusahaan AS mencari pemasok dari negara lain. Penelitian ekonomi juga menunjukkan bahwa perang tarif ini tidak banyak membantu komunitas yang terkena dampak outsourcing, tetapi justru menguntungkan Trump secara politik di wilayah tersebut.

Tarif juga meningkatkan pendapatan pemerintah dari bea cukai, yang melonjak dari USD34,6 miliar pada 2017 menjadi USD70,8 miliar pada 2019. Namun, jumlah tersebut hanya menyumbang kurang dari 0,3 persen dari total Produk Domestik Bruto AS, yang kini mencapai USD29,3 triliun.

Siapa yang Akan Menanggung Biayanya?

Trump kini mengusulkan tarif impor yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Dampaknya tentu bisa sangat signifikan. Jika Meksiko, Kanada, dan China terkena tarif tambahan yang diusulkan Trump untuk semua barang yang masuk ke Amerika Serikat, pendapatan dari tarif ini diperkirakan mencapai USD266 miliar.

Angka ini belum memperhitungkan gangguan perdagangan atau kemungkinan balasan dari negara-negara tersebut. Namun, beban biaya dari tarif ini kemungkinan besar akan jatuh ke pundak keluarga AS, importir, serta perusahaan domestik dan asing, baik dalam bentuk harga yang lebih tinggi atau penurunan keuntungan.

Mantan pejabat pemerintahan Biden mengkhawatirkan bahwa tarif Trump, jika diberlakukan, bisa dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menaikkan harga mereka. Situasi ini mirip dengan kenaikan harga yang terjadi pada 2022 ketika invasi Rusia ke Ukraina memicu lonjakan harga pangan dan energi, memberi celah bagi perusahaan untuk menaikkan harga lebih jauh.

“Saya sangat khawatir dengan tarif indiskriminatif yang mencakup lebih dari sekadar China — itu bisa menjadi alasan bagi perusahaan untuk menaikkan harga,” ujar Jen Harris, mantan pejabat Gedung Putih di era Biden yang kini menjabat sebagai Direktur Economy and Society Initiative di William and Flora Hewlett Foundation.

Yang belum jelas dari ancaman tarif Trump adalah apa yang mungkin membuatnya mundur dan menyatakan kemenangan. Alih-alih memberikan kejelasan, ancaman tarif ini justru menciptakan ketidakpastian, baik bagi perusahaan maupun negara-negara lain, yang masih menunggu rincian lebih lanjut untuk memahami dampaknya.

“Kita tahu prioritas kebijakan ekonomi utama pemerintahan Trump yang akan datang, tapi kita tidak tahu bagaimana atau kapan hal itu akan dijalankan,” kata Kepala Ekonom AS di EY-Parthenon, Greg Daco.(*)