Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Tax Amnesty III Cerminan Pemerintah Putus Asa Kejar Pendapatan

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 27 November 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Tax Amnesty III Cerminan Pemerintah Putus Asa Kejar Pendapatan

KABARBURSA.COM - Pemerintah kembali mewacanakan pelaksanaan tax amnesty jilid III dengan target tambahan penerimaan negara sebesar Rp80 triliun. Namun, kebijakan ini mendapat kritik tajam dari Bright Institute, yang menilai langkah tersebut lebih mencerminkan upaya putus asa pemerintah dalam mengejar pendapatan, ketimbang memperkuat reformasi perpajakan yang berkelanjutan.

Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky, menegaskan bahwa tax amnesty seharusnya difokuskan pada peningkatan profil wajib pajak guna mendorong kepatuhan di masa mendatang. Sayangnya, tujuan ini tidak tercapai pada pelaksanaan tax amnesty sebelumnya, dan kebijakan tersebut kini lebih digunakan untuk menambal kekurangan anggaran negara.

“Tax amnesty sebenarnya dirancang untuk menggali potensi penerimaan jangka panjang, tetapi yang terjadi malah digunakan untuk mencari tebusan semata saat pemerintah menghadapi kesulitan keuangan. Ini langkah yang fatal bagi reformasi kebijakan perpajakan,” ujarnya dalam webinar yang digelar pada Selasa, 24 November 2024.

Senada dengan pendapat Awalil, Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, turut menyoroti kebijakan pemerintah yang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bersamaan dengan pelaksanaan tax amnesty. Ia menilai kebijakan ini menunjukkan keterdesakan pemerintah, yang sangat kontras dengan optimisme yang disampaikan tahun lalu.

“Pemerintah tampaknya mulai menyadari bahwa mengandalkan utang kini menjadi lebih sensitif dampaknya terhadap perekonomian. Namun, kembali menggunakan tax amnesty hanya untuk mengejar pendapatan adalah sinyal buruk bagi stabilitas kebijakan pajak ke depan,” kata Andri.

Selain itu, Andri mengingatkan bahwa pelaksanaan tax amnesty yang berulang kali akan memberikan sinyal buruk bagi pengemplang pajak. Mereka akan menganggap bahwa pengampunan serupa mungkin akan terjadi lagi di masa depan, yang pada gilirannya akan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan secara keseluruhan.

"Ini akan menciptakan lingkaran kesulitan yang semakin sering terjadi karena efek negatif dari kebijakan itu sendiri,” tegasnya.

Penerimaan Pajak Berpotensi Shortfall

Pemerintah diprediksi akan mengejar target penerimaan perpajakan dengan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan meluncurkan kembali program pengampunan pajak jilid baru. Namun, lembaga riset ekonomi Bright Institute menilai bahwa kombinasi kebijakan ini tidak hanya berisiko merusak reformasi perpajakan, tetapi juga dapat membawa dampak buruk dalam jangka panjang.

Awalil, mengungkapkan bahwa penerimaan pajak tahun 2024 berpotensi mengalami shortfall, yakni realisasi yang tidak mencapai target. Hal ini akan memperberat target penerimaan pajak pada tahun 2025 dibandingkan dengan proyeksi awal pemerintah.

“Jangankan untuk mencapai target peningkatan, beberapa sumber penerimaan bahkan bisa lebih rendah dari tahun sebelumnya,” ujar Awalil dalam webinar yang dilaksanakan pada Selasa 24 November 2024, malam. 

Berdasarkan data hingga akhir Oktober 2024, Bright Institute mengidentifikasi adanya indikasi bahwa penerimaan dari PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) tidak akan memenuhi target yang ditetapkan. Pajak Penghasilan (PPh) diprediksi hanya mencapai Rp1.060 triliun, atau sekitar 93 persen dari target dalam APBN 2024. PPN dan PPnBM diperkirakan hanya mencapai Rp763 triliun, atau sekitar 94 persen dari target.

Secara keseluruhan, penerimaan pajak tahun 2024 diproyeksikan hanya meningkat 1,33 persen dibandingkan tahun 2023. Angka ini jauh lebih rendah dari target pemerintah yang mencapai 3,0 persen dalam Outlook Nota Keuangan 2025, apalagi dibandingkan target awal APBN 2024 sebesar 9,0 persen.

Rendahnya realisasi penerimaan pajak tahun 2024 membuat target penerimaan untuk 2025 semakin tidak realistis. Bright Institute memproyeksikan pemerintah perlu meningkatkan penerimaan pajak hingga 11,48 persen pada tahun 2025 untuk mencapai target dalam APBN. Angka ini dinilai sulit tercapai tanpa langkah ekstrem, seperti kenaikan pajak besar-besaran.

“Padahal, pemerintahan baru Pak Prabowo sudah berencana untuk belanja jauh lebih besar dengan program-program barunya. Keadaan ini membuat pemerintah terlihat desperate untuk menaikkan pendapatan, sehingga menjadi basis untuk kembali menaikkan PPN dan tax amnesty yang baru dua tahun lalu dilaksanakan lagi,” ujar Awalil. 

Bright Institute memperkirakan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 dapat memberikan tambahan penerimaan sekitar Rp75 triliun, atau meningkat 15 persen dibandingkan realisasi 2024. Namun, angka ini dinilai tidak cukup untuk memenuhi target APBN, yang memerlukan kenaikan penerimaan PPN setidaknya 23,93 persen.

“Apalagi meningkatkan PPN sangat berpotensi menurunkan aktivitas ekonomi sehingga sangat mungkin untuk tidak mencapai tambahan Rp75 triliun tersebut,” tambah Awalil.

Pajak untuk Orang Kaya

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menilai kenaikan PPN akan berdampak luas pada masyarakat, termasuk kelas bawah, menengah, hingga atas. Sebagai alternatif, ia mengusulkan penerapan pajak bagi kalangan super kaya.

“Jika tujuannya adalah meningkatkan penerimaan negara, mengapa tidak mempertimbangkan pajak untuk kelompok super kaya?” kata Fadhil dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 yang digelar INDEF di Jakarta, Kamis, 21 November 2024.

Fadhil menekankan, banyak negara telah mengadopsi pajak untuk orang-orang kaya sebagai bentuk pemerataan ekonomi. Kebijakan ini dinilai mampu menjaga keseimbangan tanpa membebani perekonomian secara keseluruhan.

“Pajak bagi orang super kaya perlu ditingkatkan. Selain adil, penerapannya tidak akan terlalu memengaruhi ekonomi secara umum,” tuturnya.

Selain itu, Fadhil juga mengusulkan penerapan windfall profit tax, yakni pajak yang dikenakan pada industri atau komoditas yang meraih keuntungan besar tanpa upaya signifikan. Ia mencontohkan sektor mineral dan batu bara (minerba) yang kerap menikmati lonjakan harga akibat faktor eksternal, seperti perang atau kondisi global lainnya.

“Ketika perusahaan mendapat keuntungan besar karena faktor luar, seperti kenaikan harga minyak atau batu bara, sudah sewajarnya mereka dikenakan pajak tambahan,” tegasnya.

Fadhil menilai, penerapan pajak seperti ini dapat menjadi langkah efektif untuk menambah pendapatan negara tanpa membebani masyarakat luas. (*)