KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah turun lebih dari USD2 per barel pada Senin, 25 November 2024 setelah laporan bahwa Israel dan Lebanon telah menyetujui kesepakatan gencatan senjata untuk mengakhiri konflik antara Israel dan Hezbollah. Informasi ini didasarkan pada sumber pejabat senior Amerika Serikat (AS) yang tidak disebutkan namanya.
Seperti dikutip dari Reuters, minyak mentah Brent turun USD2,16 atau 2,87 persen menjadi USD73,01 per barel, sementara minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) turun USD2,30 atau 3,23 persen menjadi USD68,94 per barel.
Israel mengatakan sedang menuju gencatan senjata, tetapi masih ada isu-isu yang perlu diselesaikan. Di sisi lain, pejabat Lebanon menyambut baik perkembangan ini, meski menyatakan keraguannya terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
"Penurunan harga tampaknya dipicu oleh berita gencatan senjata antara Israel dan Lebanon, meskipun konflik tersebut tidak mengganggu pasokan minyak, dan premi risiko pada minyak sudah rendah sebelum penurunan harga terbaru," kata Giovanni Staunovo dari UBS.
Pasar minyak terus bergejolak karena kekhawatiran tentang gangguan pasokan. Phil Flynn, analis senior dari Price Futures Group, mengatakan, “Laporan bahwa Netanyahu menyetujui gencatan senjata dengan Lebanon bisa menjadi faktor penurunan harga, tetapi kita masih harus menunggu detail lebih lanjut. Pekan lalu, dunia dikejutkan oleh peluncuran rudal hipersonik Rusia ke Ukraina.”
Pekan lalu, baik Brent maupun WTI mencatat kenaikan mingguan terbesar sejak akhir September, mencapai level penutupan tertinggi sejak 7 November. Hal ini terjadi setelah Rusia meluncurkan rudal hipersonik ke Ukraina sebagai peringatan kepada AS dan Inggris, menyusul serangan Ukraina terhadap Rusia dengan senjata buatan AS dan Inggris.
Sementara itu, OPEC+ kemungkinan akan mempertahankan pemotongan produksi minyak pada pertemuan berikutnya pada Minggu, menurut Menteri Energi Azerbaijan, Parviz Shahbazov, kepada Reuters.
Kelompok ini, yang mencakup Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya seperti Rusia, telah menunda peningkatan produksi sepanjang tahun ini karena kekhawatiran terhadap permintaan.
Azerbaijan, yang merupakan anggota OPEC+, dijadwalkan menghadiri pertemuan daring kelompok ini pada 1 Desember mendatang.
Sementara itu, indeks utama Wall Street ditutup lebih tinggi, sementara indeks saham kecil, Russell 2000 mencapai rekor tertinggi pada perdagangan Senin, 25 November 2024.
Ada dua pemicu utama peningkatan indeks saham Amerika Serikat (AS) itu yakni Scott Bessent sebagai calon Menteri Keuangan AS, yang membuat imbal hasil (yield) obligasi menurun dan pembicaraan gencatan senjata antara Israel dan Lebanon, yang menekan harga minyak.
Seperti dikutip dari Reuters, S&P 500 naik 17,81 poin atau 0,30 persen, ditutup pada 5.987,15 poin, sementara Nasdaq Composite naik 51,50 poin atau 0,27 persen, menjadi 19.055,15. Dow Jones Industrial Average (DJIA) meningkat 439,02 poin atau 0,99 persen, menjadi 44.735,53.
S&P 500 mencatat 106 level tertinggi baru dalam 52 minggu tanpa level terendah baru, sementara Nasdaq Composite mencatat 352 level tertinggi baru dan 66 level terendah baru.
Di sisi lain, Russell 2000 mencatat rekor tertinggi sepanjang masa pada level intraday 2.466,49, melampaui rekor yang tercapai tiga tahun lalu.
Saham yang naik jumlahnya melebihi yang turun dengan rasio 3,01 banding 1 di NYSE. Tercatat ada 836 level tertinggi baru dan 40 level terendah baru di NYSE.
Volume di bursa AS mencapai 16,69 miliar saham, dibandingkan rata-rata 14,93 miliar untuk sesi penuh selama 20 hari perdagangan terakhir.
Dalam rentang waktu sepekan (18–22 November 2024), indeks Dow Jones tercatat mengalami kenaikan sebesar 2 persen, sementara S&P 500 dan Nasdaq masing-masing mencatatkan peningkatan 1,7 persen.
Kenaikan ini menunjukkan adanya rebound yang signifikan setelah Wall Street sempat mengalami stagnasi pasca-pemilu, di mana reli yang dipicu oleh hasil pemilu sempat terhenti beberapa waktu lalu.
Tren penguatan pasar ini, menurut analis, terutama dipicu oleh peralihan fokus investor dari saham-saham teknologi yang selama ini menjadi primadona ke saham-saham yang lebih sensitif terhadap perubahan kondisi ekonomi.
Sektor industri dan consumer discretionary atau barang konsumsi non-esensial, menjadi pendorong utama kenaikan di S&P 500. Di sisi lain, sektor komunikasi, yang selama ini menjadi andalan banyak investor, mencatatkan kinerja terburuk pada pekan tersebut.
Sektor consumer discretionary mencakup perusahaan yang bergerak di bidang produk kebutuhan sekunder atau tersier, seperti restoran cepat saji, layanan hiburan, serta industri kendaraan dan suku cadang.
Kenaikan saham-saham di sektor ini menunjukkan bahwa investor mulai mengalihkan perhatian mereka pada sektor-sektor yang lebih mendukung konsumsi dan belanja masyarakat yang lebih luas. (*)