KABARBURSA.COM - PT Timah Tbk (TINS) mengumumkan capaian laba hingga September 2024 sebesar Rp908,81 miliar. TINS mengklaim capaian tersebut naik 169 persen dari target yang telah ditentukan.
Pendapatan TINS meningkat 29 persen atau sebesar Rp8,25 triliun. Capaian ini diraih di tengah kenaikan harga jual timah, yakni sebesar 15 persen atau sebesar USD31.183 per metrik ton pada 9M24.
Pada periode yang sama tahun lalu, harga jual timah hanya sebesar USD27.017 per metrik ton.
Sementara harga pokok pendapatan perseroan naik sebesar Rp6,05 triliun pada 9M24, atau naik 4,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, yakni sebesar Rp5,79 triliun. Artinya, laba usaha yang berhasil didapatkan perseroan pada 9M24 sebesar Rp1,42 triliun.
Perseroan mencatat laba usaha sebesar Rp1,42 triliun dengan EBITDA mencapai Rp2,08 triliun, atau setara 194 persen dari pencapaian periode 9M 2023.
Pada 9M 2024, nilai aset Perseroan sedikit menurun sebesar 0,3 persen menjadi Rp12,82 triliun dibandingkan posisi aset akhir tahun 2023 yang sebesar Rp12,85 triliun.
Kinerja keuangan Perseroan tetap solid, tercermin dari sejumlah rasio keuangan utama, yakni Quick Ratio sebesar 76,0 persen, Current Ratio sebesar 249,0 persen, Debt to Asset Ratio sebesar 44,0 persen, dan Debt to Equity Ratio sebesar 78,4 persen.
Direktur Utama PT Timah Tbk Ahmad Dani Virsal mengatakan kinerja keuangan, serta perbaikan tata kelola pertambangan timah telah memberikan dampak positif dengan peningkatan laba bersih.
“Ke depan tentunya hal ini harus terus ditingkatkan. Agar perusahaan lebih lincah dan efisien, maka penyempurnaan teknologi menjadi sebuah keharusan dan akan fokus kepada perbaikan teknologi alat pertambangan dan prosessing,” kata Ahmad Dani pada hari Minggu, 24 November 2024.
Seperti yang disampaikan dalam Laporan Keuangan Konsolidasian untuk periode yang berakhir pada 30 September 2024, hingga kuartal III-2024, TINS mencatat produksi bijih timah sebesar 15.189 ton, meningkat 36 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 11.201 ton.
Peningkatan produksi pada kuartal III-2024 dibandingkan tahun lalu didukung oleh penambahan armada produksi dan pembukaan lokasi baru, yang secara bertahap memperbaiki kinerja operasional Perseroan.
Sepanjang 2024, TINS mencatat ekspor timah mencapai 91 persen, dengan enam negara tujuan utama meliputi Singapura (16 persen), Korea Selatan (15 persen), India (11 persen), Jepang (10 persen), Amerika Serikat (9 persen), dan Belanda (8 persen).
Terkait dengan harga, PT Timah menyebutkan harga rata-rata logam timah Cash Settlement Price di LME hingga September 2024 tercatat sebesar USD30.130 per ton, naik 13,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar USD26.456. Sementara itu, proyeksi harga timah menurut Bloomberg berada di kisaran USD 28.000–31.000 per metrik ton.
PT Timah Tbk (TINS) diperkirakan akan mendapat sentimen positif setelah ekspor Indonesia pada Agustus 2024 tercatat sebesar USD23,56 miliar.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam keterangannya menyampaikan, ekspor Indonesia pada periode tersebut mengalami kenaikan sebesar 5,97 persen dibandingkan bulan sebelumnya (MoM), serta 7,13 persen dibanding Agustus 2023 (YoY).
Angka tersebut ditopang dengan naiknya ekspor nonmigas sebesar 7,43 persen dan kontraksi migas 15,41 persen dibandingkan Juli 2024 (MoM).
Kemendag juga menyampaikan, per Agustus 2024 peningkatan kinerja ekspor nonmigas secara bulanan terjadi pada seluruh sektor. Sektor dengan kenaikan tertinggi dibanding bulan sebelumnya terjadi pada pertambangan dengan kenaikan sebesar 9,01 persen, diikuti pertanian 8,70 persen, dan industri pengolahan sebesar 7,09 persen (MoM).
Adapun komoditas unggulan dengan peningkatan ekspor terbesar di antaranya timah dan barang daripadanya (HS 80) yang naik sebesar 86,35 persen.
Senior Equity Research Analyst NH Korindo Sekuritas Indonesia Ezaridho Ibnutama, mengatakan kondisi tersebut bisa menjadi angin segar bagi TINS yang merupakan emiten pertambangan timah.
“Memang bisa menjadi sentimen positif bagi TINS,” ujar Ezra kepada Kabar Bursa beberapa waktu lalu.
Kendati begitu, Ezra menyebut sentimen terhadap perusahaan BUMN saat ini masih menjadi offsetting effect dalam proses konsiderasi investor, ditambah adanya kasus beberapa waktu lalu.
“Euphoria dengan awal-awal spekulasi pasar terhadap TINS setelah kasus terjadi belum direalisasikan,” ungkap dia.
Dengan kondisi yang disebutkan di atas, Ezra masih belum bisa merekomendasikan TINS sebagai pilihan investasi yang menarik dalam jangka pendek. Terlebih, adanya ketidakpastian dalam politik Indonesia menjelang pemerintahan baru semakin menambah lapisan risiko yang harus diperhitungkan oleh para investor. Ketidakpastian politik, termasuk perubahan kebijakan, bisa mempengaruhi berbagai sektor, terutama sektor sumber daya alam yang sangat bergantung pada regulasi pemerintah. (*)