KABARBURSA.COM - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang berlangsung pada 19-20 November 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate pada level 6,00 persen, suku bunga Deposit Facility di angka 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen.
Dalam keterangan, disebutkan bahwa keputusan tersebut sejalan dengan kebijakan moneter yang bertujuan untuk menjaga inflasi tetap terkendali, dengan sasaran inflasi 2,5±1 persen pada tahun 2024 dan 2025, serta mendukung kelanjutan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Seperti dalam keterangannya di Jakarta, Rabu 20 November 2024.
Pada sisi penawaran, pertumbuhan kredit pada Oktober 2024 menunjukkan kinerja yang solid, dengan angka pertumbuhan tahunan (yoy) mencapai 10,92 persen. Hal ini didorong oleh terjaganya minat perbankan untuk menyalurkan kredit, berlanjutnya realokasi likuiditas ke sektor kredit, serta peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), yang juga didorong oleh dampak positif dari kebijakan KLM Bank Indonesia.
Hingga akhir Oktober 2024, Bank Indonesia telah menyalurkan insentif KLM sebesar Rp259 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp120,9 triliun disalurkan kepada kelompok bank BUMN, Rp110,9 triliun kepada bank BUSN, Rp24,7 triliun kepada BPD, dan Rp2,6 triliun kepada KCBA. Insentif ini difokuskan pada sektor-sektor prioritas, antara lain Hilirisasi Minerba dan Pangan, Otomotif, Perdagangan, Listrik, Gas dan Air (LGA), Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta UMKM.
Di sisi permintaan, pertumbuhan kredit masih didorong oleh kinerja positif sektor korporasi, seiring dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang tetap optimis. Secara sektoral, sektor-sektor seperti Jasa Dunia Usaha, Perdagangan, dan Industri menunjukkan pertumbuhan kredit yang kuat. Berdasarkan kelompok penggunaan, kredit modal kerja tumbuh 9,25 persen (yoy), kredit investasi meningkat 13,63 persen (yoy), dan kredit konsumsi tercatat tumbuh 11,01 persen (yoy) pada Oktober 2024.
Pembiayaan syariah mengalami kenaikan sebesar 11,93 persen (yoy), sementara kredit UMKM juga mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 4,76 persen (yoy). Berdasarkan perkembangan ini, pertumbuhan kredit untuk tahun 2024 diperkirakan akan tetap berada dalam kisaran 10-12 persen dan diproyeksikan akan meningkat pada 2025.
Selama sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan kredit perbankan di Indonesia cenderung berkisar antara 7-12 persen, berbeda dari periode sebelumnya yang mampu mencapai hingga 20 persen.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae menjelaskan bahwa lonjakan pertumbuhan kredit sebelum 2013 dipengaruhi oleh kebijakan quantitative easing dari The Fed (The Federal Reserve/Bank Sentral Amerika Serikat), meningkatnya harga komoditas, dan basis data kredit yang relatif rendah saat itu.
“Faktor utamanya adalah lonjakan harga komoditas, dan juga basis data kredit yang lebih rendah pada masa tersebut,” kata Dian Ediana dalam keterangan resmi, Kamis 14 November 2024.
Pemangkasan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) pada periode 2009-2015 ke level 0-0,25 persen turut mendorong arus modal masuk ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Hal ini berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai di atas 6 persen pada 2010, sekaligus meningkatkan permintaan kredit perbankan.
“Tingginya pertumbuhan ekonomi dan foreign capital inflow juga mempengaruhi meningkatnya pertumbuhan simpanan perbankan yang disertai dengan peningkatan permintaan kredit, sehingga pertumbuhan kredit perbankan mencapai hingga 20 persen,” jelas dia.
Namun, kondisi global saat ini berbeda. Dia mengatakan sebagian besar bank sentral dunia mempertahankan suku bunga tinggi di tengah ketidakpastian ekonomi, geopolitik, serta faktor-faktor seperti pemilu di Amerika Serikat.
Meski ada tanda-tanda kebijakan moneter mulai lebih dovish, investor masih cenderung memilih aset yang lebih aman seperti US Treasury dan emas. Kondisi ini membatasi likuiditas global dan memperlambat pertumbuhan kredit.
“Investor masih lebih memilih untuk menempatkan dananya pada instrumen yang relatif aman seperti US treasury dan komoditas emas, sehingga kondisi likuiditas global juga masih terbatas,” terang dia.
Selain itu, upaya mendorong pertumbuhan kredit melalui komoditas seperti dulu semakin sulit untuk dilakukan seiring dengan regulasi yang semakin mengarah kepada sustainable finance serta lambatnya pertumbuhan entrepreneur baru maupun sulitnya kenaikan kelas pengusaha ke level usaha besar di Indonesia.
“Selanjutnya, peralihan ke energi terbarukan juga akanmempengaruhi permintaan terhadap komoditas utama Indonesia,” lanjutnya.
Dian juga menyebut perlunya perubahan struktural dalam ekonomi domestik untuk memperkuat permintaan kredit. Dengan ekspektasi penurunan suku bunga global tahun depan, diharapkan likuiditas meningkat sehingga dapat mendukung pertumbuhan kredit.(*)