KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan akan melanjutkan tren koreksi pada pekan ini, setelah ditutup pada level 7.161,25 pada perdagangan Jumat, 15 November 2024 pekan kemarin.
Secara teknikal, pola pergerakan IHSG menunjukkan indikasi pelemahan, dengan terbentuknya pelebaran negative slope pada indikator MACD.
Selain itu, analisis Phintraco Sekuritas mencatat adanya Death Cross pada indikator Stochastic RSI, yang menandakan potensi penurunan lebih lanjut.
“Melihat pola teknikal ini, kami memperkirakan IHSG berpotensi melanjutkan pelemahan dengan level support yang bisa teruji di 7.100 pada hari Senin, 18 November,” tulis riset Phintraco Sekuritas yang dikutip, Senin, 18 November 2024.
Minimnya sentimen positif untuk indeks membuat ekspektasi resistensi IHSG berada di kisaran 7.200, dengan support di level 7.100 dan batas bawah di 7.050. Jika level support ini tembus, IHSG berpotensi mengalami tekanan lebih lanjut.
Sementara itu, para investor akan mencermati keputusan Bank Indonesia (BI) terkait suku bunga yang akan diumumkan pekan depan. Pasar juga fokus pada kebijakan moneter BI, khususnya dalam menghadapi pelemahan nilai tukar Rupiah dalam beberapa waktu terakhir.
Diharapkan, BI akan mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen, meski Federal Reserve baru saja memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps pekan lalu.
Gubernur Federal Reserve Jerome Powell sebelumnya menyatakan bahwa pihaknya tidak akan terburu-buru dalam melakukan penurunan lebih lanjut pada Fed Funds Rate (FFR) pada bulan Desember, setelah memperhatikan data inflasi terbaru. Hal ini dinilai mencerminkan kehati-hatian BI dalam merespons perkembangan tersebut.
Di luar negeri, pasar juga akan memantau beberapa rilis data penting. Di Amerika Serikat (AS), data penjualan rumah yang ada (Existing Home Sales) untuk bulan Oktober 2024 menjadi perhatian, begitu juga dengan survei manufaktur S&P Global Manufacturing PMI.
Sementara itu, Uni Eropa dijadwalkan merilis data inflasi Oktober 2024 yang diperkirakan naik ke 2 persen, yang dapat mempengaruhi kebijakan moneter Bank Sentral Eropa (ECB) di akhir tahun.
Dari kawasan Asia, Jepang diperkirakan akan mengumumkan defisit neraca perdagangan untuk Oktober 2024 sebesar JPY360,4 miliar.
Sebelumnya, pasar juga mencermati data ekspor-impor Indonesia yang menunjukkan pertumbuhan signifikan. Nilai ekspor Indonesia pada Oktober 2024 tercatat sebesar USD24,41 miliar, naik 10,25 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sementara impor tercatat mencapai USD21,94 miliar, meningkat 17,49 persen dibandingkan Oktober 2023.
IHSG mencatat pelemahan sepanjang pekan 11-15 November 2024, turun 1,73 persen ke level 7.161,258 dari posisi 7.287,191 pada pekan sebelumnya.
Sekretaris Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Aulia Noviana Utami Putri menjelaskan penurunan ini juga tercermin dalam rata-rata frekuensi transaksi harian yang melemah 1,77 persen. Rata-rata transaksi turun menjadi 1,28 juta kali per hari dari 1,30 juta kali transaksi pada pekan lalu.
“Pergerakan investor asing hari ini mencatatkan nilai jual bersih sebesar Rp517,12 miliar dan sepanjang tahun 2024 investor asing mencatatkan nilai beli bersih Rp29,11 triliun,” ujar dia dikutip, Sabtu, 16 November 2024.
Pada periode yang sama, data perdagangan saham menunjukkan hasil bervariasi. Aulia mengatakan kenaikan tertinggi terjadi pada rata-rata volume transaksi harian yang melonjak 48,51 persen. Volume transaksi meningkat menjadi 31,99 miliar lembar saham dari 21,54 miliar lembar saham pada pekan sebelumnya.
“Peningkatan terjadi pula pada rata-rata nilai transaksi saham selama sepekan, yaitu mencapai 5,09 persen sebesar Rp12,28 triliun dari Rp11,67 triliun pada pekan sebelumnya,” ungkap dia.
Namun, lanjut Aulia, perubahan dialami oleh kapitalisasi pasar Bursa sebesar 1,46 persen menjadi 12.063 triliun dari Rp12.241 triliun pada pekan sebelumnya.
Di pasar modal Amerika Serikat (AS), Wall Street tergelincir pada Jumat, 15 November 2024, seiring memudarnya efek “Trump bump” yang sempat mengangkat Wall Street usai pemilu pekan lalu. Pemotongan suku bunga oleh The Fed pun gagal mempertahankan momentum positif.
Dikutip dari Apnews, indeks S&P 500 anjlok 1,3 persen, penurunan terburuk sejak sebelum Hari Pemilu, hingga menutup pekan dengan kerugian. Dow Jones Industrial Average melemah 305 poin (0,7 persen), sementara Nasdaq Composite jatuh lebih dalam, sebesar 2,2 persen.
Penurunan ini diperburuk oleh saham produsen vaksin setelah Presiden terpilih Donald Trump mengungkapkan keinginannya menunjuk Robert F. Kennedy Jr., seorang aktivis anti-vaksin terkemuka, sebagai kepala Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan (HHS). Saham Moderna merosot 7,3 persen dan Pfizer turun 4,7 persen, di tengah kekhawatiran dampak terhadap laba perusahaan.
Kennedy masih membutuhkan konfirmasi dari Senat untuk menduduki jabatan tersebut, tetapi para analis skeptis dengan peluangnya.
“Namun, jika Kennedy terkonfirmasi, sulit memprediksi risiko bagi investor mengingat pandangannya yang jauh dari kebijakan kesehatan tradisional Partai Republik,” tulis analis Raymond James, Chris Meekins, dalam catatan risetnya.
Meekins, mantan wakil asisten sekretaris di HHS, juga menambahkan, “investor mungkin perlu melupakan segala asumsi mereka tentang pendekatan Partai Republik terhadap sektor kesehatan.”
Penunjukan Kennedy diperkirakan dapat mempersulit perekrutan staf-staf berpengalaman tradisional dari kalangan Republik di HHS, yang pada akhirnya menciptakan ketidakpastian lebih besar.
Saham-saham bioteknologi mencatatkan penurunan terbesar di pasar. Saham Applied Materials, produsen peralatan dan layanan manufaktur untuk industri semikonduktor, anjlok 9,2 persen meskipun mencatat laba kuartal terakhir yang melampaui ekspektasi analis. Penurunan terjadi setelah perusahaan memproyeksikan pendapatan mendatang yang berada di bawah harapan pasar.
Tekanan terus meningkat pada perusahaan untuk mencetak pertumbuhan besar, mengingat kenaikan harga saham yang jauh melampaui pertumbuhan laba mereka. Kondisi ini membuat pasar saham terlihat semakin mahal menurut berbagai indikator dan memicu seruan untuk koreksi harga.
Meski begitu, indeks S&P 500 masih naik 23 persen sepanjang tahun ini dan mendekati rekor tertinggi yang dicapai pada Senin lalu, meskipun ada kelemahan dalam sepekan terakhir.
Sementara itu harga minyak dunia anjlok lebih dari 2 persen pada Jumat, 15 November 2024, tertekan oleh kekhawatiran lemahnya permintaan minyak dari China dan potensi melambatnya pemangkasan suku bunga Federal Reserve (The Fed).
Mengutip Reuters, harga minyak mentah Brent merosot USD1,52 atau 2,09 persen menjadi USD71,04 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) terperosok USD1,68 atau 2,45 persen menjadi USD67,02 per barel. Dalam sepekan terakhir, harga Brent terkoreksi sekitar 4 persen, sedangkan WTI anjlok sekitar 5 persen.
Data Biro Statistik Nasional China menunjukkan kilang minyak di negara itu pada Oktober mengolah 4,6 persen lebih sedikit minyak dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penutupan sejumlah kilang dan penurunan operasional di kilang kecil independen menjadi penyebab utamanya.
Selain itu, pertumbuhan output pabrik China melambat, sementara masalah di sektor properti masih belum menemukan solusi. Situasi ini memicu kekhawatiran investor terhadap ekonomi China sebagai pengimpor minyak mentah terbesar dunia.
“Tekanan dari China terus berlanjut, dan setiap stimulus dari pemerintah mereka bisa terhambat oleh kebijakan tarif baru dari administrasi Trump,” ujar John Kilduff, mitra di Again Capital, New York.
Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, berencana mencabut status negara paling disukai China dan memberlakukan tarif lebih dari 60 persen untuk barang impor China, jauh lebih tinggi dibandingkan kebijakan di periode pertama kepemimpinannya.
Goldman Sachs Research bahkan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China untuk 2025, mengantisipasi dampak signifikan dari kenaikan tarif tersebut.
Harga minyak semakin terbebani pekan ini setelah beberapa lembaga utama menurunkan proyeksi permintaan minyak global. Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA), Fatih Birol, dalam KTT COP29 menyatakan permintaan minyak melemah, dipicu perlambatan ekonomi China dan meningkatnya penetrasi mobil listrik.
IEA memperkirakan pasokan minyak global akan melampaui permintaan lebih dari 1 juta barel per hari pada 2025, bahkan jika OPEC+ tetap menjalankan kebijakan pemangkasan produksi. OPEC sendiri telah memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak untuk tahun ini dan 2025, mencerminkan lemahnya konsumsi di China, India, dan kawasan lain. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.