KABARBURSA.COM - Di akhir pekan, harga minyak dunia mengalami penurunan tajam lebih dari 2 persen. Kondisi ini mencerminkan kekhawatiran investor atas prospek ekonomi global.
Penurunan harga minyak ini cukup signifikan dalam dua jenis minyak mentah utama dunia. Brent dan West Texas Intermediate (WTI) masing-masing turun USD1,52 (2,09 persen) ke harga USD71,04 per barel untuk Brent, dan USD1,68 (2,45 persen) ke harga USD67,02 per barel untuk WTI.
Salah satu faktor utama yang mendorong penurunan harga minyak adalah penurunan tajam dalam permintaan minyak mentah dari Tiongkok, yang merupakan importir minyak terbesar di dunia.
Data terbaru menunjukkan bahwa pada bulan Oktober 2024, penyulingan minyak di Tiongkok mengolah minyak mentah 4,6 persen lebih sedikit dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh penutupan pabrik dan pengurangan tingkat operasi di penyuling independen yang lebih kecil.
Produksi pabrik di Tiongkok juga melambat pada bulan Oktober dan sektor properti yang sebelumnya menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi negara itu menunjukkan tanda-tanda kesulitan yang tidak kunjung mereda.
Permintaan di sektor ini terus tertekan oleh kebijakan pemerintah yang membatasi pembelian properti serta masalah utang yang melanda banyak pengembang besar. Hal ini menambah kekhawatiran mengenai kesehatan ekonomi Tiongkok, yang merupakan konsumen energi terbesar di dunia.
Menurut John Kilduff, mitra di Again Capital, ketegangan perdagangan yang semakin meningkat juga memperburuk situasi. Kebijakan tarif yang lebih tinggi dari pemerintahan Presiden AS yang baru terpilih, Donald Trump, yang berjanji untuk mengenakan tarif lebih tinggi pada barang-barang impor dari Tiongkok, dapat memperburuk ketidakpastian dan melambatkan pemulihan ekonomi Tiongkok lebih jauh.
Selain faktor permintaan dari Tiongkok, ketidakpastian mengenai kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) juga menjadi faktor yang turut menekan harga minyak.
Para investor khawatir bahwa kebijakan suku bunga The Fed yang lebih ketat dari perkiraan, yang diharapkan akan berlangsung lebih lama, bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan menurunkan permintaan energi lebih lanjut.
Ekonom Goldman Sachs telah menurunkan sedikit proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok untuk tahun 2025, dengan mengantisipasi bahwa kebijakan tarif yang lebih agresif dari Trump bisa semakin memperburuk kondisi ekonomi Tiongkok.
Meski demikian, para ekonom juga menyatakan bahwa jika perang dagang antara AS dan Tiongkok semakin memburuk, penurunan proyeksi ekonomi bisa menjadi lebih besar lagi, yang tentunya akan berdampak langsung pada permintaan energi global.
Secara keseluruhan, prospek permintaan minyak global juga semakin suram. Badan Energi Internasional (IEA) memperingatkan bahwa permintaan global akan semakin melambat, dengan alasan utama adalah melemahnya pertumbuhan ekonomi di Tiongkok dan meningkatnya penetrasi mobil listrik di seluruh dunia.
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol, menyatakan pada KTT COP29 bahwa tren penurunan permintaan ini sudah mulai terlihat dan akan berlanjut, dengan potensi pasokan global yang akan melebihi permintaan lebih dari 1 juta barel per hari pada tahun 2025, bahkan jika pemotongan produksi yang dilakukan oleh OPEC+ tetap dilanjutkan.
OPEC sendiri telah memangkas perkiraannya untuk pertumbuhan permintaan minyak global untuk tahun ini dan tahun 2025, mengutip penurunan permintaan di Tiongkok, India, dan kawasan-kawasan lainnya yang mengalami pelambatan ekonomi.
Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya dari negara-negara penghasil minyak untuk mengurangi produksi guna menjaga kestabilan harga, namun faktor fundamental terkait permintaan yang melemah masih akan menjadi tantangan besar bagi pasar minyak global.
Dari dalam negeri, beberapa emiten terkait seperti MEDC, INDY, dan TINS menunjukkan pelemahan. Berikut ini analisis fundamentalnya, mengutip data dari Stockbit sekuritas, Minggu, 17 November 2024.
PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) menunjukkan performa keuangan yang menarik namun penuh tantangan dalam beberapa aspek fundamental.
Saham MEDC diperdagangkan pada harga Rp1.115 per lembar di akhir pekan kemarin, dengan penurunan harian sebesar 2,62 persen. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap kinerja perusahaan dalam menghadapi dinamika pasar energi global dan domestik.
Dari sisi valuasi, MEDC mencatat Price-to-Earnings Ratio (PER) TTM sebesar 5,10, lebih rendah dibandingkan median IHSG yang berada di level 7,11. Hal ini menunjukkan bahwa saham MEDC relatif undervalued.
Earnings Yield TTM perusahaan sebesar 19,59 persen juga mencerminkan potensi return yang tinggi bagi investor. Namun, Price-to-Book Value (PBV) sebesar 0,91 menunjukkan valuasi yang mendekati nilai wajar aset perusahaan.
Kinerja profitabilitas perusahaan menunjukkan margin laba bersih pada kuartal terakhir sebesar 10,68 persen. Pendapatan perusahaan secara TTM mencapai Rp35,87 triliun, dengan laba bersih sebesar Rp5,49 triliun.
Namun, terjadi penurunan pendapatan sebesar 13,38 persen secara tahunan, sementara laba bersih turun signifikan hingga 57,01 persen. Penurunan ini dipengaruhi oleh tantangan eksternal, seperti fluktuasi harga minyak dunia dan tekanan pada pasar energi global.
Dari segi solvabilitas, MEDC memiliki Debt-to-Equity Ratio sebesar 1,63, mengindikasikan leverage yang cukup tinggi. Total utang jangka panjang mencapai Rp44,42 triliun, sementara total aset perusahaan sebesar Rp116,33 triliun.
Tingkat likuiditas masih dalam batas aman dengan current ratio sebesar 1,22 dan quick ratio sebesar 1,12, menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
MEDC menunjukkan efisiensi operasional yang solid, terlihat dari Cash Conversion Cycle (CCC) sebesar 19,10 hari, yang mencerminkan waktu yang relatif singkat untuk mengubah input menjadi kas.
Return on Equity (ROE) sebesar 17,78 persen dan Return on Assets (ROA) sebesar 4,72 persen menunjukkan kinerja manajemen yang cukup baik dalam menghasilkan laba dari ekuitas dan aset.
Dari sisi dividen, MEDC membagikan dividen TTM sebesar Rp45,07 per saham, dengan dividend yield 4,04 persen dan payout ratio 20,53 persen. Hal ini mencerminkan komitmen perusahaan untuk memberikan imbal hasil kepada pemegang saham, meskipun menghadapi tantangan operasional.
Prospek MEDC juga didukung oleh kemampuan perusahaan dalam menghasilkan arus kas operasi yang kuat, tercatat sebesar Rp16,14 triliun dalam 12 bulan terakhir. Free cash flow perusahaan mencapai Rp10,56 triliun, menunjukkan stabilitas keuangan yang baik untuk mendukung kegiatan investasi di masa depan.
Dengan valuasi yang masih relatif rendah dan potensi profitabilitas jangka panjang, saham MEDC layak dipertimbangkan bagi investor yang memiliki toleransi risiko terhadap fluktuasi harga komoditas energi.
Namun, tingginya leverage perusahaan dan ketergantungan pada harga minyak dunia menjadi faktor risiko yang perlu diantisipasi. Disarankan untuk melakukan diversifikasi portofolio guna mengelola risiko, serta memantau perkembangan pasar energi global dan kebijakan strategis perusahaan ke depan.
PT Indika Energy Tbk (INDY) merupakan salah satu emiten terkemuka di sektor energi Indonesia dengan aktivitas utama di bidang pertambangan batu bara, energi terbarukan, dan jasa terkait energi.
Berdasarkan data fundamental terkini, harga saham INDY berada di level Rp1.425, mencatatkan penurunan 2,06 persen dalam perdagangan terakhir.
Saham ini memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp9,55 triliun dan rasio harga terhadap laba (P/E ratio) sebesar 10,42 berdasarkan kinerja 12 bulan terakhir (TTM).
INDY melaporkan pendapatan sebesar Rp38,15 triliun dalam 12 bulan terakhir, dengan margin laba bersih sebesar 2,39 persen pada kuartal ketiga 2024.
Meski demikian, laba bersih tumbuh signifikan sebesar 66,35 persen secara tahunan (YoY), mencerminkan pemulihan dari tekanan profitabilitas di tahun sebelumnya. Rasio harga terhadap penjualan (P/S ratio) berada di level 0,25, menunjukkan valuasi yang cukup murah dibandingkan sektor energi secara umum.
Dari sisi efisiensi, INDY mencatatkan return on equity (ROE) sebesar 4,90 persen dan return on assets (ROA) sebesar 1,87 persen. Meskipun angka ini menunjukkan profitabilitas yang positif, margin operasi sebesar 4,18 persen masih tergolong rendah untuk emiten energi, mengindikasikan tantangan efisiensi operasional.
Beban bunga yang tinggi dengan rasio cakupan bunga sebesar 1,89 menjadi salah satu faktor yang perlu diwaspadai.
Posisi likuiditas INDY relatif kuat dengan current ratio 1,91 dan quick ratio 1,81, mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek.
Dari sisi solvabilitas, rasio utang terhadap ekuitas (D/E ratio) sebesar 1,02 mencerminkan penggunaan utang yang cukup tinggi. Namun, dengan kas setara Rp10,7 triliun, perusahaan memiliki bantalan likuiditas yang memadai untuk menghadapi tekanan keuangan.
Untuk arus kas dari operasi (CFO) INDY mencatatkan defisit sebesar Rp232 miliar dalam 12 bulan terakhir. Namun, perusahaan berhasil mencatatkan arus kas positif dari aktivitas investasi sebesar Rp866 miliar, menunjukkan strategi pengelolaan aset yang produktif.
Meski demikian, arus kas bebas (free cash flow) tetap negatif di angka Rp1,62 triliun, yang dapat membatasi kemampuan perusahaan untuk membiayai ekspansi atau membayar utang tanpa tambahan pendanaan eksternal.
INDY memiliki kebijakan dividen yang menarik dengan pembayaran dividen sebesar Rp92,13 per saham pada tahun 2024, mencerminkan yield dividen sebesar 6,47 persen.
Rasio pembayaran dividen (payout ratio) yang tinggi di angka 88,82 persen mengindikasikan komitmen perusahaan dalam mengembalikan nilai kepada pemegang saham, meskipun hal ini dapat membatasi alokasi dana untuk pertumbuhan jangka panjang.
Valuasi INDY terlihat menarik dengan rasio harga terhadap nilai buku (P/B ratio) sebesar 0,51, menandakan bahwa saham diperdagangkan di bawah nilai aset bersihnya.
Namun, rasio EV/EBITDA sebesar 6,10 mengindikasikan valuasi yang lebih konservatif dibandingkan rata-rata industri. Rasio PEG negatif (-0,14) menunjukkan tantangan dalam pertumbuhan laba yang berkelanjutan.
Saham INDY memiliki potensi sebagai pilihan investasi defensif di tengah volatilitas pasar, terutama bagi investor yang mencari pendapatan dividen. Namun, investor perlu mempertimbangkan beberapa risiko, termasuk tekanan pada margin operasi, tingginya utang, serta kinerja arus kas yang kurang solid.
Dengan harga saat ini, saham INDY tampak undervalued secara relatif terhadap asetnya, tetapi membutuhkan katalis positif yang kuat untuk mendorong apresiasi harga saham.
Kami merekomendasikan strategi "hold" untuk investor yang telah memiliki saham ini, sembari memonitor perkembangan fundamental dan potensi diversifikasi usaha ke sektor energi terbarukan. Untuk investor baru, posisi masuk dapat dipertimbangkan jika harga saham mendekati level support Rp1.410 atau jika terdapat sinyal pemulihan dalam laporan keuangan kuartal berikutnya.
PT Timah Tbk (TINS) adalah salah satu produsen timah terbesar di dunia, dengan fokus pada kegiatan penambangan, pengolahan, dan pemasaran logam timah.
Sebagai bagian penting dari industri tambang Indonesia, perusahaan ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional, terutama melalui ekspor logam strategis yang digunakan di berbagai sektor seperti elektronik dan otomotif.
Dari sisi kinerja keuangan, PT Timah menunjukkan fundamental yang solid meski menghadapi tantangan di pasar komoditas global. Valuasi perusahaan relatif menarik dengan rasio Price-to-Earnings (P/E) annualized sebesar 8,05, lebih rendah dibandingkan rata-rata median IHSG yang berada di angka 7,11.
Hal ini menunjukkan bahwa saham TINS dinilai cukup murah berdasarkan laba perusahaan. Sementara itu, rasio Price-to-Book Value (P/B) sebesar 1,36 memperlihatkan valuasi yang cukup atraktif dibandingkan rata-rata industri tambang lainnya. Saham ini juga memberikan dividen dengan yield sebesar 3,20 persen, menunjukkan komitmen perusahaan terhadap pemegang saham.
Dalam hal profitabilitas, PT Timah mencatat margin laba kotor sebesar 32,40 persen dan margin laba bersih sebesar 15,59 persen. Meskipun Return on Equity (ROE) perusahaan sebesar 7,61 persen masih berada di bawah standar perusahaan besar di sektor tambang, pertumbuhan laba bersih yang mencapai 557,31 persen secara tahunan memberikan sinyal positif bagi prospek masa depan.
Selain itu, struktur keuangan TINS terbilang sehat, dengan rasio utang terhadap ekuitas (Debt-to-Equity Ratio) yang rendah di angka 0,29 dan likuiditas yang baik dengan rasio lancar sebesar 2,49. Risiko kebangkrutan juga rendah berdasarkan skor Altman Z-Score yang mencapai 5,42.
TINS berhasil mencatat pertumbuhan pendapatan sebesar 68,29 persen secara tahunan, didukung oleh peningkatan harga timah dan efisiensi operasional. Free cash flow perusahaan selama 12 bulan terakhir mencapai Rp1,67 triliun, mencerminkan kemampuan TINS untuk menghasilkan arus kas positif meskipun terdapat tekanan dari sisi investasi dan pendanaan.
Di pasar modal, saham TINS telah memberikan imbal hasil luar biasa sepanjang tahun, dengan kenaikan sebesar 103,10 persen secara Year-to-Date (YTD). Meski volatilitas harga saham cukup tinggi, tren jangka panjang tetap positif, didukung oleh posisi strategis perusahaan sebagai salah satu produsen utama timah dunia.
Harga saham saat ini bergerak di kisaran Rp1.310, dengan support kuat di Rp1.280 dan resistance di Rp1.500.
PT Timah memiliki beberapa keunggulan utama, termasuk dominasi pasar global dan fundamental yang stabil. Namun, perusahaan ini juga menghadapi tantangan seperti volatilitas harga timah di pasar internasional serta kebutuhan untuk terus meningkatkan efisiensi operasional guna mempertahankan margin keuntungan.
Melihat fundamental yang kuat dan prospek industri tambang yang menjanjikan, saham TINS layak dipertimbangkan sebagai pilihan investasi, terutama untuk jangka panjang.
Investor disarankan untuk memanfaatkan peluang beli saat harga terkoreksi mendekati support di Rp1.280–1.300, dengan target harga jangka pendek di Rp1.500 dan potensi penguatan hingga Rp1.800–2.000 dalam jangka panjang, tergantung pada kondisi pasar dan kinerja perusahaan.(*)
Disclaimer: Artikel ini bukan untuk mengajak, membeli, atau menjual saham. Segala rekomendasi dan analisa saham berasal dari analisis atau sekuritas yang bersangkutan, dan Kabarbursa.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian investasi yang timbul. Keputusan investasi ada di tangan investor. Pelajari dengan teliti sebelum membeli/menjual saham.
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.