KABARBURSA.COM - Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Febrian Alphyanto Ruddyard, menyatakan Indonesia berada dalam posisi strategis untuk memimpin industri baterai dunia. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia dinilai mampu memasok material penting yang dibutuhkan untuk dekarbonisasi global.
Pernyataan ini disampaikan dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paviliun Indonesia, COP29, Baku, Azerbaijan, Jumat, 15 November 2024.
Di tengah meningkatnya dampak perubahan iklim, negara-negara dunia mempercepat transisi energi dan penguatan ekonomi berkelanjutan. Pasca COP28 di Uni Emirat Arab, permintaan global terhadap mineral kritis melonjak, termasuk nikel sebagai bahan utama baterai kendaraan listrik.
Indonesia sejak 2020 telah melarang ekspor bijih nikel demi membangun rantai pasokan mineral domestik yang komprehensif. Kebijakan ini menciptakan lonjakan sepuluh kali lipat ekspor produk manufaktur berbasis nikel. “Indonesia berpotensi menghasilkan pasokan mineral kritis melimpah yang mendukung dekarbonisasi global,” ujar Febrian.
Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan World Resource Institute untuk menyusun peta jalan dekarbonisasi industri nikel. Peta jalan ini akan menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, di mana Indonesia menargetkan menjadi negara berdaulat dan berkelanjutan pada 2045.
Dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah memprioritaskan transformasi ekonomi melalui pengembangan industri hilir berbasis sumber daya alam, sektor padat karya, dan industri berteknologi tinggi. Sektor mineral kritis, khususnya nikel, mendapat perhatian besar untuk mendukung ekspor berbasis nilai tambah.
“Indonesia siap berperan sebagai pemain utama dalam rantai pasokan nikel rendah karbon global. Kami berkomitmen mendukung transisi energi dunia dengan menegakkan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola di seluruh proses industri,” tegas Febrian.
Transformasi ekonomi ini menjadi landasan strategis untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045 melalui pendekatan ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon.
Pembukaan COP29 di Baku, Azerbaijan, menyoroti betapa kompleksnya diskusi perubahan iklim global, di mana setiap langkah awal membutuhkan konsensus dari hampir 200 negara. Setelah melewati negosiasi panjang untuk menetapkan agenda dua pekan ke depan, isu pendanaan kembali menjadi sorotan utama.
Di forum ini, harapan besar bertumpu pada solusi konkret yang mampu menjawab tantangan pendanaan iklim, terutama bagi negara-negara berkembang yang menghadapi dampak perubahan iklim paling besar.
Di Baku, Azerbaijan—tempat sumur minyak pertama dunia dibor dan aroma bahan bakar masih bisa tercium di udara terbuka—topik pembicaraan tak hanya soal emisi karbon, tapi juga aroma duit yang besar. Mengutip laporan AP, Selasa, 12 November 2024, negara-negara berkembang menuntut agar negara kaya membayar kompensasi untuk mengurangi polusi karbon, beralih dari energi fosil ke energi bersih, serta menghadapi dan beradaptasi dengan dampak bencana iklim yang terus meningkat.
Untuk membuka 12 hari pembicaraan di COP29 dengan sesuatu yang positif, pada hari pertama itu ada kesepakatan soal isu finansial yang berlarut-larut, yaitu perdagangan hak emisi karbon. Menurut presiden COP29 yang baru, Mukhtar Babayev, langkah ini berpotensi membuka dana hingga USD250 miliar (sekitar Rp3.875 triliun dengan kurs Rp15.500) per tahun untuk membantu negara miskin.
Namun, Erika Lennon, Senior Attorney di Center for International Environmental Law, mengingatkan resolusi yang dipaksakan di awal konferensi tanpa diskusi atau perdebatan, bisa menjadi preseden buruk bagi proses negosiasi secara keseluruhan.
Ketika pembicaraan bergulir ke persoalan finansial, jumlah dana yang dibutuhkan negara berkembang diperkirakan mencapai USD1,3 triliun (Rp20.150 triliun) per tahun. Angka ini datang dari negara-negara Afrika, yang meski hanya menyumbang tujuh persen dari emisi gas rumah kaca, sudah mengalami krisis iklim berulang kali, dari banjir hingga kekeringan.
Presiden baru konferensi iklim PBB itu membuka COP29 dengan peringatan keras. Ia mengatakan berapa pun jumlah yang disepakati nanti, dana tersebut akan menggantikan kesepakatan lama yang menetapkan target USD100 miliar per tahun.
Negara-negara kaya sebenarnya ingin mendekati angka itu. Jika kesepakatan tercapai, dana kemungkinan berasal dari berbagai sumber, mulai dari hibah, pinjaman, hingga investasi swasta. “Angka-angka ini memang terdengar besar, tapi tidak sebanding dengan biaya yang harus kita tanggung jika tidak bertindak,” ujar Babayev saat membuka pertemuan.
Tahun ini, suhu global sedang menuju peningkatan 1,5 derajat Celsius dan berpotensi menjadi tahun terpanas dalam sejarah peradaban manusia. Target untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius sejak era pra-industri telah ditetapkan dalam Kesepakatan Paris 2015. Namun, batasan ini untuk dua hingga tiga dekade ke depan, bukan satu tahun saja. “Mustahil, tidak mungkin,” ujar Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia, Celeste Saulo.
Efek perubahan iklim seperti badai, kekeringan, dan banjir sudah dirasakan. “Kita sedang menuju kehancuran,” kata presiden COP29, Mukhtar Babayev. “Entah Anda menyadarinya atau tidak, orang-orang menderita di tempat-tempat terpencil. Mereka mati dalam kegelapan. Dan mereka butuh lebih dari sekadar belas kasih atau doa. Mereka butuh kepemimpinan dan aksi nyata.”(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.