Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ekonomi Jepang Tumbuh Tipis Dua Kuartal Berturut-turut

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 15 November 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Ekonomi Jepang Tumbuh Tipis Dua Kuartal Berturut-turut

KABARBURSA.COM - Ekonomi Jepang mencatat pertumbuhan tahunan sebesar 0,9 persen pada periode Juli-September 2024. Dilansir dari Apnews, Jumat, 15 November 2024, pertumbuhan ini didorong oleh pengeluaran konsumen yang tetap kuat.

Data pemerintah Negeri Sakura menunjukkan ekonomi terbesar keempat dunia ini tumbuh 0,2 persen pada kuartal kedua fiskal dan melanjutkan ekspansi berturut-turut setelah mencatatkan pertumbuhan 0,5 persen pada April-Juni.

Produk domestik bruto (PDB) yang disesuaikan secara musiman, yang mengukur nilai barang dan jasa suatu negara, menunjukkan laju pertumbuhan tahunan yang menggambarkan potensi ekonomi jika tingkat pertumbuhan kuartalan berlanjut selama setahun penuh.

Permintaan domestik tumbuh dengan laju tahunan sebesar 2,5 persen, didorong oleh konsumsi rumah tangga yang naik 3,6 persen. Pengeluaran konsumen, yang menyumbang lebih dari separuh PDB Jepang, tetap kuat berkat konsumsi rumah tangga yang sehat, menurut data awal Kantor Kabinet.

Data terbaru juga menunjukkan perbaikan dalam upah dan lapangan kerja. Namun, belanja konsumen lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya akibat cuaca buruk yang membatasi aktivitas belanja dan menutup sejumlah pabrik. Pemotongan pajak penghasilan baru-baru ini turut mendorong konsumsi.

Di sektor ekspor, terjadi peningkatan sebesar 1,5 persen. Melemahnya yen memberikan keuntungan dengan membuat produk Jepang lebih murah di pasar internasional. Namun, dampaknya terbatas pada kuartal terakhir. Nilai yen yang sebelumnya berada di level 160 yen per dolar kini menguat ke level 150 yen per dolar.

Sebelum dua kuartal terakhir, ekonomi Jepang sempat terkontraksi 0,6 persen pada Januari-Maret setelah tumbuh tipis 0,1 persen pada Oktober-Desember 2023. Tren ini menunjukkan pola fluktuasi antara kontraksi dan ekspansi lemah dalam perekonomian Jepang belakangan ini.

“Kami percaya ekonomi Jepang akan terus tumbuh secara perlahan, didukung oleh pertumbuhan ekonomi global,” kata Katsutoshi Inadome, ahli strategi senior di SuMi Trust. Ia menambahkan, bonus musim dingin yang akan diterima banyak pekerja Jepang dalam beberapa bulan mendatang diperkirakan memperkuat permintaan domestik.

Namun, Jepang masih menghadapi tantangan besar. Ketidakpastian politik membayangi, dengan Perdana Menteri Shigeru Ishiba harus bertahan dalam pemungutan suara pekan ini untuk mempertahankan posisinya, sementara oposisi semakin percaya diri.

Berbeda dengan Amerika Serikat dan negara maju lainnya yang bergulat dengan inflasi tinggi, Jepang justru lama bergulat dengan deflasi—penurunan harga terus-menerus yang mencerminkan lemahnya ekonomi. Inflasi Jepang tercatat sebesar 2,5 persen pada September.

Para pelaku pasar kini mengamati langkah berikut Bank of Japan terkait suku bunga. Bank sentral Jepang selama bertahun-tahun mempertahankan suku bunga nol atau di bawah nol untuk mengatasi deflasi, tetapi kini mulai menaikkannya secara bertahap.

Kemenangan Trump Tekan Yen

Di tengah pertumbuhan tipis yang dialami Jepang selama dua kuartal berturut-turut, dinamika eksternal kini menambah lapisan kompleksitas bagi ekonomi negeri sakura. Kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden AS tidak hanya mengguncang pasar global, tetapi juga membawa pengaruh langsung pada nilai tukar yen, yang melemah signifikan terhadap dolar.

Kondisi ini memunculkan tantangan baru bagi Jepang, terutama dalam menjaga stabilitas ekonomi domestik di tengah lonjakan biaya impor dan tekanan inflasi yang meningkat. Kebijakan moneter Bank of Japan kini menjadi sorotan, dengan kemungkinan kenaikan suku bunga semakin mendesak guna mengimbangi dampak gejolak eksternal ini.

Dilansir dari Reuters, gejolak ini sempat mendorong yen ke level terendah tiga bulan di 154,71 pada Kamis, 7 November 2024, jauh dari level tertinggi 140,62 yang dicapai pertengahan September.

Meski yen yang lemah memberikan dorongan bagi ekspor, kondisi ini menjadi masalah bagi para pembuat kebijakan Jepang karena memicu kenaikan biaya impor bahan bakar dan makanan, yang pada akhirnya melemahkan daya beli konsumen.

Inflasi yang meningkat menjadi salah satu alasan utama pergeseran suara besar-besaran melawan koalisi pemerintah dalam pemilu umum bulan lalu.

Diplomat mata uang utama Jepang, Atsushi Mimura, meningkatkan peringatannya terhadap penurunan tajam yen dengan mengatakan bahwa pihak berwenang siap bertindak melawan pergerakan mata uang yang dianggap “berlebihan.”

Skenario terburuk bagi para pembuat kebijakan adalah jika yen kembali jatuh ke level terendah tiga dekade di kisaran 162 per dolar AS, yang terakhir terjadi pada Juli lalu. Kondisi tersebut sebelumnya mendorong BOJ menaikkan suku bunga menjadi 0,2 persen pada 31 Juli.

Ketika itu, melemahnya yen memicu seruan dari para legislator partai penguasa agar BOJ menaikkan suku bunga atau memberikan sinyal yang lebih tegas untuk mendorong biaya pinjaman naik.

Perdana Menteri Shigeru Ishiba mengejutkan pasar pada 2 Oktober dengan menyatakan ekonomi belum siap menghadapi kenaikan suku bunga lebih lanjut, meskipun kemudian ia melunakkan pernyataannya dengan menegaskan tidak akan campur tangan dalam kebijakan BOJ.

“Politisi tidak menginginkan yen yang lemah. Bahkan mereka yang sebelumnya mendesak BOJ berhati-hati terhadap kenaikan suku bunga bisa mendukung langkah itu jika penurunan yen semakin cepat,” kata Tsuyoshi Ueno, ekonom senior di NLI Research Institute. “Dalam konteks ini, pelemahan yen dapat mendorong BOJ untuk menaikkan suku bunga secara bertahap.”

BOJ dan Suku Bunga: Jalan Beriringan

BOJ keluar dari kebijakan stimulus radikal selama satu dekade pada Maret lalu dan menaikkan suku bunga jangka pendek menjadi 0,25 perden pada Juli, dengan pandangan bahwa Jepang sedang membuat kemajuan menuju target inflasi 2 persen yang berkelanjutan.

Banyak analis memperkirakan BOJ akan kembali menaikkan suku bunga sebelum Maret mendatang, tetapi mereka terpecah soal apakah langkah itu akan dilakukan pada Desember, atau menunggu hingga Januari atau Maret untuk mengumpulkan lebih banyak data.

Bulan lalu, BOJ mempertahankan suku bunga stabil tetapi menghapus pernyataan yang memperingatkan perlunya fokus pada risiko eksternal, membuka kemungkinan kenaikan suku bunga dalam waktu dekat.(*)