KABARBURSA.COM - Wall Street sepertinya mulai kehabisan energi untuk terus melonjak, melanjutkan euforianya. Hal ini sepertinya juga berdampak pada bursa Eropa dan Asia yang ikutan loyo.
Pada penutupan perdagangan Rabu, 13 November 2024 waktu setempat atau Kamis, 14 November 2024 dini hari WIB, pergerakan indeks utama di bursa Wall Street menunjukkan sikap hati-hati dari para investor. Kondisi ini disebabkan oleh antisipasi menjelang rilis data inflasi yang menjadi perhatian pasar.
Meskipun beberapa indeks mengalami penguatan, momentum tersebut tidak bertahan lama.
Mengutip laporan dari CNBC International, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) mencatat kenaikan 47,21 poin atau 0,11 persen menjadi 34.958,19. Sempat mengalami lonjakan hingga 230 poin, Dow akhirnya ditutup dengan kenaikan tipis. Hal ini menunjukkan investor memilih untuk menahan diri sebelum rilis data inflasi.
Sementara itu, indeks S&P 500 (SPX) hanya naik tipis 1,39 poin atau 0,02 persen ke level 5.985,38. Sebaliknya, indeks Nasdaq Composite (IXIC) yang banyak berisi saham teknologi, justru melemah 50,66 poin atau 0,26 persen, ditutup di 19.230,74.
Terkait data inflasi untuk bulan Oktober yang dirilis sesuai dengan ekspektasi pasar dan memperlihatkan kenaikan tahunan sebesar 2,6 persen. Jika tidak memasukkan harga makanan dan energi, inflasi inti mencatat kenaikan 3,3 persen secara tahunan.
Laporan ini memperkuat pandangan bahwa Federal Reserve kemungkinan akan melanjutkan penurunan suku bunga pada pertemuan kebijakan Desember mendatang, di tengah upaya menjaga kestabilan ekonomi di masa pemerintahan baru.
Menurut Kepala Strategi Pasar Global di TradeStation David Russell, reaksi pasar terhadap data inflasi ini sudah cukup wajar.
"Ini saatnya berhenti khawatir tentang The Fed dan inflasi. Pasar sudah berjalan otomatis sejak pemilu, dan data hari ini tidak mengubah trennya," ungkap Russell.
Pernyataan ini menggambarkan bahwa pelaku pasar sudah mulai menyesuaikan diri dengan kebijakan Federal Reserve, serta peralihan pemerintahan yang baru setelah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dalam pemilu 2024.
Sehari sebelumnya, pasar sempat mencatat reli besar yang membuat Dow menembus level 44.000 untuk pertama kalinya. Indeks S&P 500 dan Nasdaq juga berhasil mencetak rekor baru.
Di sisi lain, harga Bitcoin bahkan mencapai level USD93.000, didorong oleh spekulasi bahwa kebijakan Trump akan memberikan keuntungan besar bagi industri kripto.
Setelah dirilisnya data inflasi yang sesuai ekspektasi, perhatian investor kini tertuju pada data ekonomi berikutnya yang dianggap penting, yaitu indeks harga produsen yang akan diumumkan pada Kamis sore waktu setempat, serta data penjualan ritel yang dijadwalkan rilis pada Jumat waktu setempat.
Data-data tersebut akan menjadi faktor penting dalam menilai prospek pertumbuhan ekonomi AS ke depan, serta keputusan kebijakan moneter yang diambil oleh Federal Reserve.
Investor saat ini berada dalam posisi berhati-hati, menanti indikasi lebih jelas mengenai arah kebijakan ekonomi dan perkembangan pasar keuangan di tengah masa transisi pemerintahan AS yang baru.
Pada penutupan perdagangan dini hari tadi, bursa saham Eropa mengalami pergerakan beragam dengan kecenderungan melemah. Investor terus mencerna data inflasi terbaru dari Amerika Serikat yang dirilis sebelumnya, yang menunjukkan kenaikan harga konsumen sesuai ekspektasi pasar.
Indeks Stoxx 600, yang mencakup saham-saham dari seluruh Eropa, tercatat turun tipis 0,17 persen. Meskipun sempat menahan kerugian yang lebih besar di awal sesi, sebagian besar sektor saham di Eropa tetap berada di zona merah.
Saham teknologi menjadi sektor dengan penurunan terbesar, turun 1,2 persen. Sementara, sektor minyak dan gas justru mencatatkan penguatan signifikan sebesar 1,3 persen.
Beberapa saham perusahaan individu berhasil mencuri perhatian di tengah pergerakan pasar yang lesu.
Just Eat Takeaway, perusahaan layanan pesan antar makanan, mengalami lonjakan harga saham hingga 20 persen sebelum ditutup menguat 15,95 persen. Kenaikan ini terjadi setelah pengumuman bahwa perusahaan berhasil menjual unit bisnis Grubhub di AS kepada Wonder, dengan nilai transaksi mencapai USD650 juta.
Penjualan ini dianggap sebagai langkah strategis bagi Just Eat Takeaway untuk memperbaiki kinerja keuangannya di tengah kompetisi ketat dalam industri layanan makanan.
Selain itu, saham Siemens Energy, perusahaan energi asal Jerman, juga mencatat kenaikan signifikan sebesar 19 persen. Peningkatan ini terjadi setelah Siemens Energy meningkatkan target keuangan jangka menengahnya, memberikan kepercayaan lebih bagi para investor terhadap prospek jangka panjang perusahaan.
Sementara itu, indeks-indeks utama di Eropa menunjukkan hasil beragam pada sesi perdagangan Rabu.
Indeks FTSE 100 Inggris berhasil mencatatkan kenaikan tipis 0,06 persen ke level 8.003,33. Penguatan ini sebagian didukung oleh sektor energi yang mencatat kinerja positif, sementara sektor lainnya cenderung stagnan.
Di sisi lain, bursa utama di Eropa daratan cenderung melemah. DAX Jerman turun 0,16 persen ke level 19.003,11, sedangkan CAC 40 Prancis juga melemah 0,14 persen menjadi 7.261,83. Saham-saham di bursa Jerman dan Prancis tertekan oleh pelemahan sektor teknologi dan kekhawatiran terkait prospek ekonomi global.
Indeks lainnya di kawasan Eropa juga mengalami pergerakan yang bervariasi. AEX Belanda tercatat turun 0,26 persen, sementara FTSE MIB Italia justru naik 0,3 persen. Di kawasan Nordik, SMI Swiss dan OMXS30 Swedia masing-masing mengalami penurunan 0,07 persen.
Bursa Asia paling merana. Pasar saham Jepang mengalami pelemahan signifikan pada penutupan perdagangan. Indeks Nikkei 225 turun 1,66 persen, berakhir di level 38.721,66, sedangkan Topix melemah 1,21 persen ke 2.708,42.
Salah satu faktor yang mempengaruhi penurunan ini adalah kenaikan inflasi produsen di Jepang yang naik 3,4 persen secara tahunan pada Oktober, melampaui perkiraan 3 persen. Kenaikan inflasi ini memicu kekhawatiran akan meningkatnya tekanan harga yang bisa mengganggu stabilitas pasar dan menekan daya beli konsumen serta profitabilitas perusahaan.
Di Korea Selatan, pasar juga berada di bawah tekanan berat. Indeks Kospi merosot tajam 2,64 persen ke level 2.417,08, sementara Kosdaq, yang didominasi saham teknologi dan perusahaan kecil, turun lebih dalam 2,94 persen ke 689,65.
Ketidakpastian global dan arah kebijakan ekonomi AS di bawah Trump yang belum jelas membuat investor berhati-hati. Kekhawatiran akan hubungan dagang yang tegang antara AS dan mitra-mitra dagang utama, termasuk China, menambah beban bagi pasar saham di Korea Selatan, yang sangat bergantung pada ekspor teknologi dan elektronik.
Bursa saham di Australia juga mengalami penurunan, dengan indeks S&P/ASX 200 melemah 0,75 persen, berakhir di level 8.193,4. Pelemahan ini dipicu oleh kekhawatiran atas ketidakpastian global dan potensi dampak kebijakan proteksionis AS terhadap ekonomi Australia yang juga bergantung pada perdagangan internasional.
Sementara itu, di Hong Kong, indeks Hang Seng turun 0,45 persen pada penutupan perdagangan. Pasar Hong Kong masih menghadapi volatilitas tinggi di tengah ketidakpastian ekonomi global dan dampak lanjutan dari kebijakan moneter di AS.
Berbeda dari kebanyakan bursa Asia lainnya, pasar saham di Tiongkok justru mencatatkan kinerja positif. Indeks CSI300, yang terdiri dari saham-saham perusahaan besar di bursa Shanghai dan Shenzhen, menguat 0,62 persen ke level 4.110,89. Selain itu, indeks Shanghai juga naik 0,51 persen ke level 3.439,28.
Penguatan ini didukung oleh stimulus yang digelontorkan pemerintah Beijing yang bertujuan untuk memperkuat sektor korporasi lokal. Langkah ini memberikan sedikit harapan di tengah ketidakpastian global, terutama bagi investor yang melihat peluang pertumbuhan domestik di China.
Hal yang sama terjadi pada indeks STI Singapura, yang menunjukkan kinerja positif dengan kenaikan 0,24 persen ke level 3.720,34.
Pasar Singapura mendapatkan dorongan dari stabilitas ekonomi dalam negeri serta harapan bahwa kebijakan ekonomi global tidak akan terlalu membebani kawasan Asia Tenggara.(*)