KABARBURSA.COM - Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan ekspor-impor selama 50 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Pada Juni 2024, surplus perdagangan mencapai USD2,39 miliar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan surplus tersebut terdiri dari surplus nonmigas sebesar USD4,43 miliar dan defisit migas sebesar USD2,04 miliar.
Kendati surplus berlanjut, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) belum menunjukkan penguatan signifikan. Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ariyo D. P. Irhamna, menyebut kondisi ini sebagai surplus semu.
“Surplus perdagangan kita semu. Sebab tidak mendongkrak penguatan rupiah terhadap dolar, bahkan beberapa kali nilai tukar rupiah kita mengalami pelemahan,” kata Ariyo saat dihubungi KabarBursa.com, Selasa, 12 November 2024.
Menurut Ariyo, kondisi tersebut mencerminkan banyaknya pelaku pasar yang menempatkan penerimaan ekspor dalam bentuk dolar AS, baik di dalam maupun di luar negeri. Pemerintah, kata dia, perlu mendorong pelaku pasar untuk menempatkan dana dalam bentuk rupiah. Jika tidak ada kebijakan yang tepat, Ariyo berujar, “kondisi ini (bisa) mempengaruhi perekonomian kita.”
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan dalam News Letter Ekspor Impor edisi Oktober 2024, neraca perdagangan pada September 2024 mencatat surplus sebesar USD3,26 miliar. Angka ini meningkat 17,37 persen dibandingkan surplus Agustus 2024 sebesar USD2,78 miliar. Surplus September terdiri dari defisit neraca migas sebesar USD1,36 miliar–turun 5,97 persen dari Agustus–dan surplus neraca nonmigas sebesar USD4,62 miliar, naik 9,38 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Peningkatan surplus nonmigas September 2024 didorong oleh penurunan impor nonmigas sebesar 9,55 persen menjadi USD16,30 miliar. Di sisi lain, ekspor nonmigas mencapai USD20,91 miliar, turun 5,96 persen. Secara kumulatif, surplus neraca perdagangan Januari-September 2024 mencapai USD21,98 miliar, terdiri dari surplus nonmigas USD37,03 miliar dan defisit migas sebesar USD15,05 miliar.
Namun, angka kumulatif itu menunjukkan pelemahan sebesar 20,71 persen secara tahunan. Penyebabnya adalah peningkatan defisit neraca migas sebesar 7,68 persen serta pelemahan surplus neraca nonmigas sebesar 11,20 persen.
Tren surplus sejak Mei 2020 berlanjut hingga September 2024, mencatatkan rekor 53 bulan berturut-turut. Dengan surplus terbaru sebesar USD3,26 miliar, Indonesia berhasil mempertahankan posisi positif meski nilai tukar rupiah masih belum stabil.
Meskipun Indonesia telah mencatat surplus neraca perdagangan secara konsisten sejak Mei 2020, Ariyo menilai ekspor Indonesia masih didominasi oleh sektor hulu. Sementara produk hilir Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga. Hal ini disebabkan kurangnya upaya pemerintah dalam mendorong hilirisasi yang sejalan dengan teknologi dan inovasi.
“Kita tidak menguasai teknologi inovasi sehingga masih tergantung dengan inovasi teknologi investasi luar negeri," kata Ariyo.
Ariyo merujuk pada data BPS yang mencatat kinerja ekspor Indonesia berdasarkan Kode HS. Data September 2024, misalnya, menunjukkan produk-produk dengan kode HS rendah, yang mewakili sektor hulu, masih menyumbang sebagian besar berat ekspor.
Misalnya, ikan, krustasea, dan moluska, mencatat nilai ekspor sebesar USD339,85 juta dengan berat mencapai 73,53 juta kilogram. Komoditas ini menjadi salah satu unggulan sektor hulu. Selain itu, kategori binatang hidup memberikan kontribusi nilai ekspor sebesar USD360,23 ribu dengan berat 31,06 ribu kilogram. Komoditas ini mencerminkan ciri khas produk mentah dari sektor hulu yang nilai ekonominya rendah dibandingkan dengan produk yang telah diolah lebih lanjut.
Di sisi lain, sektor hilir menunjukkan tren yang berbeda. Produk seperti alas kaki mencatat nilai ekspor yang tinggi di sektor hilir sebesar USD597,60 juta dengan berat 31,29 juta kilogram. Produk ini mencerminkan hasil manufaktur yang telah melalui berbagai tahap pengolahan untuk menghasilkan barang jadi siap pakai. Alas kaki menjadi salah satu contoh nyata keberhasilan industri hilir dalam memberikan nilai tambah yang signifikan meskipun volumenya jauh lebih kecil dibandingkan dengan sektor hulu.
Secara keseluruhan, data BPS September 2024 mencatat total nilai ekspor produk sektor hulu (termasuk barang intermediate) mencapai USD13,33 miliar (Rp211,31 triliun dengan kurs rupiah Rp15.849) dengan berat total 60,49 juta kilogram. Sementara itu, sektor hilir menyumbang nilai ekspor sebesar USD 1,35 miliar (Rp21,40 triliun), meskipun beratnya 113,93 juta kilogram.
[caption id="attachment_99449" align="alignnone" width="2492"] Data ekspor dan impor Indonesia berdasarkan kategori produk Kode HS pada September 2024. Data menunjukkan dominasi ekspor produk sektor hulu seperti ikan, krustasea, dan moluska (HS [03]) serta lemak dan minyak nabati (HS [15]). Meski surplus perdagangan terus dicapai, tantangan besar tetap ada untuk mendorong hilirisasi demi meningkatkan nilai tambah ekspor. Sumber: BPS.[/caption]Menurut Ariyo, sudah banyak hasil riset inovasi teknologi dalam negeri yang berpotensi untuk dikomersialisasikan demi mendukung hilirisasi. Tapi, hal ini masih butuh dukungan pemerintah untuk dikembangkan. Tak kalah penting, hilirisasi juga membutuhkan kepastian dalam kuantitas dan kualitas pasokan bahan baku yang memerlukan pembenahan di sektor hulu.
“Di Indonesia kondisi di hulu ini mayoritas masih dikelola secara tradisional dan kelembagaannya masih lemah sehingga kualitas dan kuantitas untuk industri hilir mengalami ketidakpastian," kata Ariyo.
Investor tak suka dengan ketidakpastian. Ariyo pun memperingatkan situasi ini bisa menimbulkan persepsi negatif investor, termasuk mereka yang sudah berinvestasi. “Sehingga hal tersebut mempengaruhi keputusan potensial investor untuk investasi atau investor existing untuk pengembangan usaha,” katanya.
Sebagai solusi, Ariyo menyarankan pemerintah untuk membangun laboratorium khusus untuk pengolahan bahan baku menjadi produk bernilai tambah tinggi. Hal ini bertujuan agar para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) maupun perguruan tinggi dapat mengembangkan riset yang mendukung hilirisasi.
Di samping itu, Ariyo mengatakan pemerintah perlu mendorong komersialisasi hasil riset dengan memberikan insentif kepada pelaku usaha untuk melakukan komersialisasi hasil riset dan teknologi dalam negeri.
Pemberian insentifnya bisa dilakukan sesuai tahap pengembangan inovasi. “Sebab proses inovasi dari ide menjadi produk yang komersil di pasar itu ada tahapan-tahapannya. Dan setiap sektor atau produk berbeda. Secara kelembagaan, harus ada lembaga yang minimal berbentuk BLU (Badan Layanan Umum) yang bertugas untuk mendorong komersialisasi hasil riset invoasi dan teknologi dalam neger," kata Ariyo.
Megacu pada data BPS, peranan dan perkembangan ekspor nonmigas Indonesia mengalami penurunan menurut sektor pada periode September 2024 dibanding Agustus 2024. Ekspor produk industri pengolahan turun 6,38 persen yang disumbang oleh penurunan ekspor minyak kelapa sawit.
Ekspor produk pertanian, kehutanan, dan perikanan naik 2,95 persen disumbang oleh peningkatan ekspor lada hitam. Sementara itu ekspor produk pertambangan dan lainnya turun 5,36 persen yang disebabkan oleh menurunnya ekspor bijih tembaga.
Selama Januari–September 2024, ekspor nonmigas Indonesia menurut sektor industri pengolahan meningkat 2,52 persen dibanding Januari–September 2023 yang disumbang oleh meningkatnya ekspor logam dasar mulia. Ekspor produk pertanian, kehutanan, dan perikanan meningkat 17,58 persen yang disebabkan oleh meningkatnya ekspor kopi, sementara itu ekspor produk pertambangan dan lainnya turun 8,79 persen yang disumbang oleh menurunnya ekspor batubara.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.