Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Tim Ekonomi Trump yang Baru: Dari Wall Street ke Wild Street

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 12 November 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Tim Ekonomi Trump yang Baru: Dari Wall Street ke Wild Street

KABARBURSA.COM - Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menghimpun tim penasihat ekonomi baru. Kali ini, pengusaha dengan kekayaan Rp125,7 triliun itu menggaet para penasihat ekonominya dari kalangan investor Silicon Valley dan beberapa tokoh Wall Street yang lebih “liar” dan tak konvensional. Jika pada periode pertamanya Trump mengandalkan sosok-sosok konservatif khas Wall Street, seperti Steven Mnuchin, Gary Cohn, dan menantunya Jared Kushner, yang fokus pada pemotongan pajak korporasi dan deregulasi, kini Trump justru beralih ke pendekatan baru.

Trump kini memilih figur-figur “Wild Street”—istilah yang menggambarkan gaya penasihat yang lebih berisiko dan berani dibanding tim konvensional dari Wall Street. Di antara tokoh utama tim ini adalah Howard Lutnick, CEO dari Cantor Fitzgerald, sebuah bank investasi kelas menengah. Lutnick membawa gagasan kontroversial: menggantikan pajak penghasilan dengan tarif impor barang dari China yang diyakini bisa mengisi kas Amerika Serikat hingga USD400 miliar. “Jangan bebani rakyat kita, tarifkan saja China,” katanya dalam sebuah wawancara podcast, dikutip dari New York Times, Selasa, 12 November 2024.

Selain Lutnick, Trump juga merekrut Scott Bessent, mantan pengelola dana untuk George Soros, yang menyarankan Trump mempertimbangkan penggantian dini Ketua Federal Reserve, Jerome Powell. Langkah ini sangat tak lazim dan berisiko mengganggu independensi bank sentral serta stabilitas pasar keuangan, namun dianggap mampu memberi Trump kendali lebih atas kebijakan moneter.

[caption id="attachment_98917" align="alignnone" width="808"] Presiden terpilih AS Donald Trump naik panggung untuk menyampaikan pidato di hadapan para pendukungnya di Palm Beach County Convention Center di West Palm Beach, Florida, AS, pada hari Rabu, 6 November. Foto: Brian Snyder/Reuters.[/caption]

Di kalangan investor Wall Street, kebijakan tarif impor tinggi hingga 60 persen yang diwacanakan Trump mendapat respons skeptis. Banyak yang berpendapat, tarif sebesar itu akan memicu kenaikan harga barang konsumsi dan menimbulkan reaksi balasan dari negara-negara lain. Analis di Barclays memperkirakan jika Trump bersikeras menerapkan tarif-tarif tersebut, dampaknya baru akan terasa paling tidak setahun ke depan. Untuk saat ini, sebagian besar berharap Trump akan mengesampingkan langkah radikal tersebut.

Trump mungkin masih Trump, tetapi tim ekonominya jelas telah berubah arah. Dari Wall Street ke “Wild Street,” kebijakan-kebijakan yang muncul kali ini tidak lagi sekadar konvensional, tetapi penuh risiko dan ketidakpastian bagi ekonomi Amerika dan pasar global.

Tak Mau Dibilang “Seperti Prancis”

Scott Bessent, penasihat Trump yang dekat dengan George Soros, ingin memangkas subsidi pemerintah untuk industri seperti kendaraan listrik. Dalam wawancaranya di Fox Business September lalu, ia menyebut langkah ini bagian dari upaya untuk “mereprivatisasi ekonomi AS.” Dengan tambahan sindiran ringan, ia menegaskan, “Kita bukan Prancis.”

Baik Bessent, Howard Lutnick, maupun tim transisi Trump tidak merespons permintaan wawancara New York Times untuk menanggapi pernyataan ini. Namun, Trump tetap mendapat dukungan publik dari beberapa tokoh besar, termasuk pendiri Blackstone Group, Stephen Schwarzman, yang baru-baru ini menyebut Trump berpotensi lebih efisien dan efektif di periode keduanya.

Di antara penasihat Trump, sosok yang paling “old school” dan bergaya Partai Republik sejati adalah John Paulson, miliarder yang terkenal sejak 2007 berkat taruhan beraninya terhadap pasar subprime housing sebelum akhirnya runtuh. Kali ini, Paulson mendukung kebijakan pemangkasan regulasi, pajak, dan pengeluaran pemerintah. Belakangan, Paulson juga gencar mendorong investasi emas, karena menurutnya nilai dolar AS sedang dalam penurunan jangka panjang. Rabu pekan lalu, juru bicara Paulson menyebut setelah kemenangan Trump, Paulson berencana mundur dari sorotan. “Ia terlibat untuk membantu kemenangan Presiden Trump, dan sekarang setelah tercapai, ia memilih langkah mundur,” ujar sang juru bicara.

Meski arah kebijakan Trump sering kali tak terduga karena banyaknya pergantian penasihat yang kerap terjadi di periode sebelumnya, beberapa pihak di dunia keuangan yang awalnya menentang Trump kini justru optimis terhadap dampaknya bagi ekonomi dan bisnis. Sentimen ini tercermin pada bursa saham AS yang menguat.

Para investor dan eksekutif berharap Trump akan mengganti sejumlah pejabat pemerintah yang keras dalam isu-isu antimonopoli, seperti Lina Khan, Ketua Federal Trade Commission (FTC), yang kerap memblokir merger dan akuisisi yang menjadi nadi ekonomi Wall Street. Scott Barshay, mitra di firma hukum korporasi Paul Weiss, mengatakan penunjukan “pemimpin yang lebih moderat” di FTC akan memberi dorongan pada transaksi korporasi yang lesu dalam beberapa tahun terakhir.

Elon Musk, salah satu kritikus Khan yang paling vokal, terlihat berbincang akrab dengan Trump di Mar-a-Lago pada Selasa malam pekan lalu di meja makan yang dihiasi bunga mawar merah. Di mata Wall Street dan Silicon Valley, kedekatan Musk dengan Trump adalah angin segar. Musk, yang menyumbang puluhan juta dolar untuk kampanye Trump, dipandang mampu membuka jalan bagi para pengusaha dan inovator. “Ke depannya, proses bagi para founder dan builder akan lebih mudah,” ujar Paul Hudson, pendiri Glade Brook Capital Partners, yang juga hadir di Mar-a-Lago.

Di orbit Trump yang selalu berputar cepat, para penasihat lama tak pernah benar-benar tersingkir. Jay Clayton, mantan direktur Securities and Exchange Commission (SEC) di periode pertama Trump, bahkan disebut-sebut tertarik kembali dalam posisi setingkat kabinet. Gary Cohn, mantan eksekutif Goldman yang mundur pada 2018 setelah perselisihan dengan Trump, kini dilaporkan kembali menghubungkan para CEO dengan presiden terpilih.(*)