Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Di Balik Aksi Peternak Buang Susu: Impor dan Regulasi yang Acakadut

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 11 November 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Di Balik Aksi Peternak Buang Susu: Impor dan Regulasi yang Acakadut

KABARBURSA.COM - Video para peternak sapi membuang susu hasil panennya beredar di media sosial. Aksi itu dilakukan para peternak sapi di Pasuruan dan Boyolali akibat pembatasan kuota oleh industri pengolahan susu. Industri dikabarkan lebih memilih susu impor ketimbang produk lokal.

Dewan Pakar Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf, mengungkapkan masalah ini berkaitan erat dengan kualitas. Ia menyebut industri pengolahan sapi atau IPS menolak susu para peternak lokal karena kualitasnya dianggap tidak sesuai kontrak.

“Faktanya di lapangan yang sampai beritanya ke kami, pembuangan susu itu, latar belakangnya oleh kandungan atau kualitas susu yang tidak sesuai. Jadi terjadi penolakan karena kuota mereka terbatas,” ungkap Rochadi kepada KabarBursa.com, Senin, 11 November 2024.

Namun, Rochadi menemukan fakta lain. Ia mengatakan produk susu peternak lokal yang ditolak oleh satu IPS masih diterima oleh perusahaan lain. Menurutnya, kondisi ini seharusnya tidak menjadi masalah yang memicu gejolak bagi peternak sapi lokal.

“Kalau lihat dari daya serap, produksi dalam negeri baru 18 persen, impor 80 persen lebih. Sehingga itu bukan alasan. Tapi alasan yang jelas bahwa kalau (menurut) saya, bisnis itu kaitannya dengan harga impor maupun dibanding dengan harga lokalnya,” kelas Rochadi.

Aksi Serupa di Tahun 80-an

Rochadi mengungkapkan aksi membuang hasil panen susu yang dilakukan peternak lokal bukan hal yang baru terjadi di Indonesia. Protes serupa juga sempat dilakukan peternak sekitar tahun 1980-an. Aksi ini dilakukan dengan alasan yang sama: harga susu sapi segar kalah saing dengan produk impor yang membandrol harga lebih murah.

Kala itu, Rochadi menyebut pemerintahan Orde Baru berinisiatif membuat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 1985. Beleid ini mewajibkan IPS menyerap susu sapi peternak lokal dengan melampirkan bukti serap produk.

“IPS diwajibkan menyerap susu dengan bukti serap lokal. Misalnya kalau dia (IPS) mau impor satu bagian, maka sekian bagian itu diserap dari dalam negeri. Oleh sebab itu, waktu itu aman dengan tentunya kualitas tergantung kepada harga,” ungkap Rochadi.

[caption id="attachment_98764" align="alignnone" width="1280"] Peternak sapi perah di Pasuruan membuang susu hasil panen mereka akibat pembatasan kuota oleh industri pengolahan susu yang lebih memilih susu impor daripada produksi lokal. Foto: Istimewa.[/caption]

Akan tetapi, kondisi berubah saat Indonesia mengalami krisis moneter pada 1997. Soeharto menandatangani surat kesediaan menerima bantuan dari International Monetary Fund (IMF) yang berdampak pada terbukanya perdagangan bebas.

“Menandatangani bahwa Indonesia sudah masuk, meratifikasi kebijakan WTO (World Trade Organization) untuk pasar bebas. Jadi tidak lagi ada proteksi. Nah sejak 98 itu sampai sekarang tidak ada proteksi terhadap peternak. Jadi industri pengolah susu bebas, peternak rakyat juga bebas. Nah akibatnya apa? Ya sekarang ini. Jadi tidak ada perlindungan hukum dari pemerintah terhadap pengembangan peternakan rakyat,” beber Rochadi. 

Regulasi Persusuan Mandek

Pada 2016, pemerintah berencana membentuk Peraturan Presiden (Perpres) khusus untuk membenahi tata kelola persusuan. Rochadi mengatakan dirinya terlibat dalam perumusan Perpres tersebut. Namun, aturan ini jauh panggang dari api. ”Mandek, enggak jalan-jalan itu,” ujarnya. 

Gagalnya penyusunan Perpres tersebut akhirnya membawa peternak sapi perah seperti sekarang. Rochadi menyebut selisih paham tentang kualitas susu masih terus terjadi. Belum lag, kebijakan persusuan di dalam negeri terlalu semrawut. “Semrawut kalau menurut saya. Jadi enggak ada yang ngatur gitu. Nah itu kondisi yang terjadi sekarang,” katanya.

[caption id="attachment_98779" align="alignnone" width="1179"] Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf. Foto: Instagram @rochadi.tawaf.[/caption]

Rochadi mengatakan pemerintah perlu kembali mengaktifkan Tim Persusuan yang diisi oleh beberapa kementerian teknis terkait. Ada tiga kementerian yang mengatur ihwal persusuan, yakni Kementerian Koperasi, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian. Tim Persusuan ini, kata Rochadi, berguna untuk memberikan kepastian hukum.

“Tiga kementerian ini harus membuat kayak dulu, ada tim persusuhan yang menampung segala persoalan kemitraan, PUSP, Panca Usaha Sapi Perah, masalah kredit, masalah-masalah kaitannya dengan susu, itu ada forumnya. Sekarang enggak ada,” kata Rochadi.

“Jadi kalau misalnya sekarang, dinas atau Kementerian Pertanian membuat kemitraan dengan koperasi, koperasinya ngaco, enggak bisa apa-apa karena ada di luar Kementerian Pertanian,” tambahnya.

Melalui forum itu, para asosiasi peternak susu juga akan merumuskan sekaligus juga mengevaluasi persusuan secara berkala. Tim tersebut nantinya akan menjadi semacam forum Ad-hoc bagi para peternak susu lokal.

“Bekerja misalnya sebulan sekali mengevaluasi penerimaan susu, mengevaluasi kualitas, mengawasi kemitraan. Saling mengisi. Kalau sekarang kan tiga kementerian itu masing-masing kerja, jadi susah,” katanya.

Jauh Jarak Produksi dan Konsumsi

Berdasarkan data impor susu Badan Pusat Statistik (BPS) dan proyeksi produksi susu Kementerian Pertanian (Kementan), terlihat Indonesia menghadapi kesenjangan yang signifikan antara produksi lokal dan kebutuhan konsumsi nasional. Pada periode Januari hingga Agustus 2024, BPS melaporkan Indonesia mengimpor susu senilai USD 605,05 juta, dengan kenaikan sebesar 21,19 persen pada Agustus 2024 dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan peningkatan ketergantungan terhadap impor di tengah lonjakan kebutuhan susu di dalam negeri.

Berdasarkan laporan Kementan perihal Outlook Komoditas Peternakan Susu Tahun 2022, volume produksi susu sapi nasional pada 2024 diperkirakan berada dalam kisaran 916 ribu hingga 949 ribu ton. Sementara itu, konsumsi susu nasional diprediksi mencapai 989 ribu hingga 1,07 juta ton per tahun selama periode 2022-2026. Dengan demikian, bahkan pada batas tertinggi perkiraan produksi yang sebesar 949 ribu ton itu, Indonesia masih berpotensi mengalami defisit susu antara 40 hingga 121 ribu ton pada 2024. Defisit ini diproyeksikan akan terus terjadi hingga 2026 jika tidak ada peningkatan signifikan dalam produksi nasional.

[caption id="attachment_98747" align="alignnone" width="1200"] Proyeksi volume produksi dan konsumsi susu sapi di Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan antara produksi lokal dan kebutuhan nasional. Konsumsi susu diprediksi terus meningkat hingga 2026, sementara produksi dalam negeri hanya tumbuh tipis. Ketimpangan ini mengindikasikan potensi defisit yang perlu diatasi melalui kebijakan impor atau peningkatan produksi lokal. Sumber: Kementerian Pertanian via Databoks.[/caption]

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (Pusdatin) Kementan mencatat laju pertumbuhan produksi susu secara nasional hanya 0,65 persen per tahun, jauh di bawah laju pertumbuhan konsumsi yang diproyeksikan sebesar 2,07 persen per tahun. Ketimpangan ini memperbesar kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan domestik, yang pada akhirnya memperkuat ketergantungan Indonesia terhadap impor.

Beberapa kendala yang menghambat peningkatan produksi susu dalam negeri, seperti yang dicatat oleh Pusdatin Kementan, antara lain sulitnya akses pakan hijauan, harga bahan baku pakan yang mahal, penurunan kualitas genetik sapi perah, dan manajemen peternakan yang belum optimal. Faktor-faktor ini membuat produksi dalam negeri sulit berkembang sehingga pemenuhan kebutuhan susu harus dicukupi melalui impor dari negara-negara langganan Indonesia, seperti Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Eropa.

Implikasinya, ketergantungan impor ini membuat industri susu rentan terhadap fluktuasi harga global dan kebijakan perdagangan internasional. Peningkatan harga impor atau kebijakan restriktif dari negara pengekspor dapat mengganggu pasokan dan menyebabkan kenaikan harga susu di pasar domestik, yang pada akhirnya berdampak pada daya beli konsumen.

Dengan kondisi saat ini, benar seperti yang disebutkan Rochadi, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang mendukung peningkatan produksi lokal melalui regulasi yang ajek, bukan mandek. Hal ini dapat mencakup subsidi atau insentif untuk pakan dan perbaikan genetik, serta pelatihan dan dukungan manajemen peternakan bagi peternak lokal. Langkah ini penting untuk mengurangi defisit dan ketergantungan pada impor, serta untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional di sektor susu sapi.

Regulasi Kemitraan

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menyayangkan terjadinya aksi pembuangan hasil panen peternak sapi perah.m di wilayah dengan penghasil susu terbesar di Indonesia. Padahal, pemerintah sendiri telah membentuk regulasi kemitraan antara industri dan peternak lokal.

Akan tetapi, aksi pembuangan susu sapi dinilai terjadi karena penegakan hukum atas regulasi tidak digalakkan. “Sayangnya tidak ada penegakan hukum yang tegas kepada perusahaan yang tidak patuh pada regulasi tersebut. Mestinya dipertegas dan ditegakkan skema reward and punishment,” ungkap Eliza kepada KabarBursa.com, Sabtu, 9 November 2024.

Eliza menjelaskan pemerintah telah menyediakan regulasi yang mengatur bekerjasama antara industri susu dengan koperasi peternak rakyat. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 33/PERMENTAN/PK.450/7/2018E7 Tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.

Dalam peraturan tersebut, pelaku usaha pengolahan susu diwajibkan untuk bermitra dengan peternak lokal. Namun, Eliza menilai fakta yang terjadi di lapangan justru sebaliknya.

“Perusahaan yang menjalin kemitraan dengan peternak lokal tidak sampai 20 persen dari total jumlah pelaku usaha pengolahan susu. Artinya pemerintah tidak betul-betul mengawasi kemitraan ini,” katanya.

Aksi Buang Susu Lokal

Dikutip dari akun sosial media X, @NenkMonica, yang mengunggah video amatir sejumlah peternak sapi perah lokal membuang hasil panennya. Dalam keterangan unggahannya, akun tersebut menyebut para peternak sapi alas Pasuruan itu terdampak pembatasan jumlah pengiriman susu ke industri.

Industri disebut lebih memilih menggunakan produk susu sapi perah impor ketimbang produksi para peternak lokal. “Susu yang ada di dalam negeri terbuang percuma. Peternak sapi di Pasuruan membuang susu karena adanya pembatasan jumlah pengiriman susu ke industri pengolahan susu. Industri juga lebih memilih menggunakan susu impor dari pada susu dalam negeri,” tulis @NenkMonica di akun X, dikutip Sabtu, 9 November 2024.

Di Boyolali, Jawa Tengah, para peternak bahkan sampai menggelar aksi mandi susu di Tugu Susu Tumpah pada Sabtu, 9 November 2024. Peternak lokal terpaksa membuang hasil perahan mereka karena pabrik pengolahan susu setempat membatasi kuota pembelian. Akibatnya, stok susu menumpuk tanpa tujuan. Bahkan, pada 8 November 2024, beberapa peternak memilih untuk membagi-bagikan susu secara cuma-cuma kepada masyarakat karena pabrik tak mampu menampung lebih banyak.

[caption id="attachment_98761" align="alignnone" width="650"] Aksi mandi susu oleh para peternak dan pengepul yang membuang 50 ribu liter susu sapi di Boyolali. Foto: ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho.[/caption]

Ketua Koperasi Peternakan dan Susu Merapi (KSPM) Seruni, Sugianto, mengatakan pembatasan ini sudah berlaku sejak September 2024. Ia menduga, pembatasan kuota terjadi karena pemerintah kembali membuka keran impor susu. Dampaknya, sekitar 33 ton atau 33 ribu liter susu terbuang sia-sia dalam dua minggu terakhir yang mengakibatkan kerugian hingga ratusan juta rupiah.

Padahal, kata Sugianto, mereka sudah siap memasok susu untuk memenuhi kebutuhan nasional, kendati memang masih kurang. “Kasihan peternak kalau kami hari ini setop untuk masuk cooling, otomatis kalau dari peternak kami setop, lalu peternak mau jual susu ke mana?,” keluhnya.(*)