KABARBURSA.COM - Para pedagang obligasi China saat ini sedang harap-harap cemas menanti legislator menyetujui paket fiskal senilai triliunan yuan. Rencananya, paket fiskal ini akan menjadi pembahasan dalam pertemuan legislatif penting yang berlangsung pekan ini.
Pemerintah China, baik pusat maupun daerah, sudah mengeluarkan obligasi dalam jumlah besar sepanjang tahun ini. Mengutip perhitungan Bloomber, Jumat, 8 November 2024, antara Januari hingga Oktober 2024 rata-rata penerbitan utang mencapai sekitar 1,8 triliun yuan per bulan.
Jika ditambah lagi 1,1 triliun yuan untuk sisa tahun ini yang sudah dalam proses, maka total penerbitan obligasi tambahan yang diharapkan pada November dan Desember mencapai sekitar 2,5 triliun yuan.
Tapi, sepertinya hal ini tidak akan terjadi, karena pasar bond tidak terbiasa mengeluarkan obligasi lebih besar dari 2 triliun yuan. Jika dipaksakan, dapat menimbulkan volatilitas di pasar dan berisiko menyebabkan lonjakan imbal hasil atau yield jangka panjang yang pada akhirnya akan membuat pasar kewalahan ketika pasokan obligasi jauh lebih banyak dari permintaan.
"Jika penerbitan utang mencapai lebih dari 3 triliun yuan, pasar kemungkinan akan mengalami aksi jual yang signifikan. Tapi, rasanya stimulus fiskal yang lebih besar ini tidak akan diumumkan secepatnya, karena saat ini belum ada kepastian terkait kebijakan AS di bawah kepemimpinan (Donald) Trump," kata analis dari Socete Generale Kiyong Seong, dikutip hari ini.
Di balik kekhawatiran tentang potensi lonjakan penerbitan utang, ada optimisme yang tumbuh bahwa kebijakan fiskal China akan semakin agresif setelah pertemuan Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (NPC) yang akan berlangsung hingga hari Jumat.
Stimulus fiskal yang lebih kuat diharapkan dapat memberikan dukungan untuk pertumbuhan ekonomi China, terutama dalam menghadapi tantangan dari kebijakan perdagangan luar negeri, termasuk potensi tarif yang dapat dikenakan oleh pemerintahan Trump.
Paket stimulus ini diyakini akan mencakup lebih banyak pembelanjaan infrastruktur dan program-program lain yang dapat merangsang permintaan domestik. Langkah-langkah ini bertujuan untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi China di tengah ketidakpastian global yang meningkat.
Meski begitu, dampak jangka panjang dari kebijakan ini masih perlu diamati, terutama terkait dengan bagaimana pasar obligasi akan merespons lonjakan pasokan utang.
Obligasi negara China telah diperdagangkan relatif stabil sejak akhir September 2024, meskipun mengalami penurunan dari level tertinggi dalam hampir dua dekade setelah gelombang stimulus besar yang diluncurkan pemerintah. Imbal hasil (yield) obligasi 10 tahun China kini berada di kisaran 2,1 persen hingga 2,2 persen, sebuah level yang relatif rendah namun stabil.
Namun, ketika pemerintah meningkatkan jumlah penerbitan utang, hal ini berpotensi menyebabkan yield jangka panjang naik secara bertahap.
Menurut Frances Cheung, kepala strategi valuta asing dan suku bunga di Oversea-Chinese Banking Corp, kebijakan moneter dan fiskal China saat ini cenderung mendukung kenaikan imbal hasil jangka panjang, yang berarti kurva suku bunga obligasi China bisa semakin menanjak.
“Jika pengumuman dari NPC menunjukkan angka yang lebih tinggi dari yang diperkirakan, maka bisa memperkuat momentum kenaikan imbal hasil tersebut,” kata Cheung.
Dalam hal ini, pasar harus bersiap menghadapi kemungkinan lonjakan imbal hasil yang bisa menambah ketidakpastian.
Bagi investor, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, mereka harus mengawasi apakah pengumuman stimulus fiskal tersebut akan lebih besar dari perkiraan atau tidak. Jika pemerintah China memutuskan untuk meningkatkan penerbitan utang jauh melampaui 2 triliun yuan, hal ini bisa menyebabkan tekanan pada harga obligasi dengan imbal hasil yang lebih tinggi.
Kedua, investor juga harus mempertimbangkan dampak kebijakan moneter China, yang mendukung penguatan yield obligasi jangka panjang. Penerbitan obligasi yang lebih besar dapat menyebabkan volatilitas di pasar obligasi dalam jangka pendek, tetapi bisa membuka peluang di pasar saham jika kebijakan fiskal berhasil merangsang pertumbuhan ekonomi domestik.
Akhirnya, investor perlu tetap waspada terhadap kebijakan perdagangan internasional, terutama hubungan China dengan Amerika Serikat.
Potensi tarif dari Presiden Trump yang baru terpilih bisa menambah ketidakpastian dan berisiko memperburuk kondisi ekonomi China, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pasar obligasi secara keseluruhan.
Societe Generale SA memperkirakan ada sekitar 2 triliun yuan pasokan obligasi baru untuk sisa tahun 2024 dan 2025. Sedangkan Oversea-Chinese Banking Corp. memperkirakan jumlah penjualan obligasi tambahan yang sama untuk 12 bulan ke depan.
ANZ Bank memperkirakan penjualan utang bersih tambahan yang lebih rendah, sekitar 1,5 triliun yuan untuk sisa tahun 2024.
“Pasar akan membutuhkan lebih dari 3 triliun yuan untuk melihat aksi jual,” kata Kiyong Seong, kepala strategi makro Asia di Societe Generale di Hong Kong.
Mengingat ketidakpastian terkait perubahan kebijakan AS, dia tidak mengharapkan stimulus akan ditingkatkan segera.
Frances Cheung, kepala strategi valuta asing dan suku bunga di Oversea-Chinese Banking, mengatakan penerbitan utang baru dapat membantu meningkatkan imbal hasil jangka panjang secara bertahap. Kebijakan moneter dan fiskal saat ini mendukung kecenderungan melandai di kurva obligasi pemerintah, ujarnya.
"Jika ada angka dari NPC yang mengejutkan ke atas, itu akan menambah momentum ini," katanya.(*)