KABARBURSA.COM - Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya mengeluhkan harga jual hunian vertikal yang ditetapkan pemerintah. Menurut Bambang, harga jual yang terlalu rendah tak sebanding dengan biaya konstruksi, yang menyebabkan pengembang kesulitan untuk memenuhi biaya pembangunan.
“Masalahnya, harga jual rumah vertikal yang sudah diatur pemerintah itu lebih rendah dibandingkan dengan biaya konstruksinya. Jadi, tidak mungkin harga jual itu lebih rendah dari biaya konstruksi,” kata Bambang kepada Kabar Bursa, Jumat, 8 November 2024.
Lalu, Bambang menyinggung soal harga patokan pemerintah ini belum pernah direvisi dalam lima tahun terakhir. Padahal, harga bahan bakar minyak (BBM) yang berpengaruh langsung pada biaya konstruksi telah mengalami kenaikan beberapa kali selama periode tersebut.
“Dari lima tahun yang lalu, harga patokan pemerintah itu tidak pernah di-review. Padahal, sejak itu sampai sekarang, BBM sudah naik dua hingga tiga kali,” ujarnya.
Menurut Bambang, hunian vertikal merupakan solusi yang lebih realistis untuk memenuhi kebutuhan 3 juta unit perumahan yang menjadi target pembangunan pemerintah. Ia menjelaskan, pembangunan rumah tapak (landed houses) tidak akan mencukupi, mengingat terbatasnya lahan di perkotaan.
“Kebutuhan perumahan 3 juta itu tidak mungkin dipenuhi hanya dengan membangun rumah tapak. Saat ini, kita harus beralih ke hunian vertikal karena keterbatasan lahan, pengaturannya, dan kemudahan aksesnya,” jelas Bambang.
Namun, dia menegaskan, pengembangan hunian vertikal harus diimbangi dengan penyediaan infrastruktur yang memadai, terutama akses transportasi dan fasilitas umum.
Ia memperingatkan bahwa meskipun rumah dapat dibangun dalam jumlah besar, jika lokasinya jauh dari transportasi publik dan infrastruktur tidak memadai, itu akan menjadi masalah besar.
“Sekalipun rumah dibangun dalam jumlah besar, jika lokasinya jauh dari transportasi dan infrastrukturnya belum tersedia, itu akan menjadi masalah. Pembangunannya tidak bisa terpisah-pisah,” terangnya.
Konsep TOD Dapat Meningkatkan Kualitas Pembangunan
Sebenarnya, lanjut Bambang, pemerintah telah memiliki konsep Transit Oriented Development (TOD), yang mengintegrasikan pembangunan hunian vertikal dengan transportasi umum, area bisnis, dan fasilitas rekreasi. Menurutnya, konsep ini akan sangat membantu para pengembang dalam membangun perumahan vertikal yang lebih efisien.
“Konsep TOD ini memang sudah ada dan tentu akan dijalankan oleh pemerintah, karena itu adalah wilayah mereka,” kata Bambang.
Dengan adanya konsep TOD, pengembang memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pembangunan hunian vertikal yang lebih terintegrasi dan mendukung keberlanjutan kota.
Bambang menekankan pentingnya kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta dalam mengembangkan perumahan vertikal. Katanya, agar pembangunan ini berjalan efektif, pengembang membutuhkan keuntungan yang wajar. Untuk itu, revisi harga jual yang sesuai dengan biaya konstruksi sangat diperlukan.
“Kalau memang itu harus dibantu oleh swasta, tentu harus ada win-win solution. Artinya, kita membangun karena kita swasta, pasti harus ada profit,” ujarnya.
Dalam upaya memenuhi target pembangunan 3 juta rumah, Bambang mengungkapkan bahwa keterlibatan pihak swasta sangat penting, terutama untuk mendukung skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), yang memberikan KPR bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun, ia mencatat, alokasi KPR bersubsidi melalui FLPP yang saat ini hanya mencakup sekitar 200.000 rumah masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat.
“Tahun ini saja, hanya 166.000 rumah yang diberikan KPR bersubsidi FLPP, dan kemudian dinaikkan menjadi 200.000. Tetapi, 200.000 itu masih kurang,” kata Bambang.
Oleh karena itu, Bambang berharap peran serta swasta dapat diperluas melalui tambahan dana dan dukungan dalam skema FLPP, sehingga target pembangunan 3 juta rumah dapat lebih efektif tercapai.
Terlepas dari jumlah unit yang dibangun, Bambang menekankan perlunya perluasan pembangunan hunian vertikal harus dilakukan dengan mempertimbangkan infrastruktur yang memadai. Akses transportasi dan fasilitas umum yang lengkap akan menjadi faktor penting dalam keberhasilan pembangunan perumahan.
“Walaupun mungkin ada sekian juta rumah yang dibangun, jika lokasinya terlalu jauh dari transportasi dan infrastruktur belum tersedia, itu akan menjadi masalah. Pembangunannya harus holistik dan terintegrasi, tidak bisa sepotong-sepotong,” pungkasnya.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan bahwa dirinya akan mendorong skema pembiayaan untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan memperpanjang tenor pinjaman dari yang sebelumnya 15 tahun menjadi 30 tahun.
Langkah ini, kata Erick, diharapkan dapat mempermudah akses masyarakat untuk membeli rumah, terutama bagi mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah.
“Kita akan mendorong skema pembiayaan di mana KPR yang sebelumnya hanya 15 tahun, bisa diperpanjang menjadi 30 tahun,” kata Erick Thohir usai pertemuannya dengan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis malam, 7 November 2024.
Erick menjelaskan bahwa perpanjangan tenor KPR bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan tertentu agar lebih mudah memiliki rumah. Dengan cicilan yang lebih rendah, diharapkan semakin banyak masyarakat yang dapat membeli hunian.
“Ini bukan hanya untuk rumah rakyat, tetapi juga untuk semua kalangan, baik menengah maupun kelas lainnya,” ujar Erick.
Melalui skema pembiayaan ini, Erick berharap dapat meningkatkan daya beli masyarakat terhadap properti. Perpanjangan tenor KPR, yang berarti cicilan bulanan yang lebih ringan, diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk lebih mampu memenuhi kebutuhan dasar, terutama tempat tinggal.
“Dengan efisiensi yang kita dorong, masyarakat akan semakin mampu menaikkan daya belinya, terutama untuk cicilan rumah yang kini bisa diperpanjang,” tandasnya.
Scheme financing atau skema pembiayaan adalah sistem yang dirancang untuk mempermudah akses masyarakat terhadap pembiayaan, seperti untuk membeli rumah atau kendaraan. Skema ini memberikan fleksibilitas lebih pada syarat-syarat kredit, termasuk jangka waktu pinjaman yang lebih panjang, yang pada gilirannya membuat cicilan menjadi lebih ringan.
Sebagai ilustrasi, jika saat ini seseorang dengan penghasilan sekitar Rp5 juta per bulan ingin membeli rumah seharga Rp300 juta dengan skema KPR 15 tahun, cicilan bulanan yang harus dibayar bisa mencapai sekitar Rp2,8 juta, belum termasuk bunga dan biaya lainnya. Namun, dengan perpanjangan tenor KPR menjadi 30 tahun, cicilan bulanan bisa turun menjadi sekitar Rp 1,6 juta, sehingga lebih terjangkau.
Skema pembiayaan dengan tenor lebih panjang ini diharapkan tidak hanya menguntungkan masyarakat dengan penghasilan rendah, tetapi juga memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat kelas menengah untuk memiliki rumah. (*)