KABARBURSA.COM - BAYANGKAN pasar modal Indonesia sebagai kapal yang tengah berlayar tenang di lautan. Namun, dari kejauhan tampak badai mendekat. Badai itu datang dari Gedung Putih, membawa “Trump Effect” yang bisa menggoyahkan pasar modal kita. Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat (AS) 2024 bukan sekadar berita politik internasional, melainkan sebuah sinyal ancaman bagi stabilitas ekonomi global.
Pada periode pertama Donald Trump, kita sudah melihat bagaimana kebijakan perdagangan AS yang proteksionis mengguncang pasar dunia. Trump menaikkan tarif impor sebagai upaya mengurangi defisit perdagangan negaranya. Di era kekuasaan Trump selama 2017-2021 itu, AS menerapkan tarif impor yang bikin geger perdagangan global. Kebijakan proteksinya meliputi tarif 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium yang—walaupun enggak langsung menargetkan Indonesia—tetap berdampak ke ekspor kita.
Ditambah lagi, perang dagang dengan Tiongkok bikin tarif naik sampai 25 persen untuk berbagai produk asal China. Tekanan pajak ini memaksa banyak perusahaan AS mencari alternatif pasokan dari negara lain. Di era Trump, status Generalized System of Preferences (GSP) Indonesia juga sempat ditinjau ulang. Ini bikin eksportir deg-degan walaupun akhirnya tetap dipertahankan. Kebijakan ini memang enggak nyasar semua komoditas, tapi cukup mengacak-acak posisi ekspor Indonesia di pasar global.
Proteksionisme Trump itu bisa juga kita lihat dampaknya pada neraca perdagangan Indonesia-AS. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), selama masa kepemimpinan pertama Trump, surplus perdagangan Indonesia dengan AS cenderung stabil tetapi terbatas dalam pertumbuhannya. Pada 2017, surplus tercatat sebesar USD17,79 juta, yang kemudian naik sedikit di 2018 menjadi USD18,43 juta. Namun, angka ini menurun tipis pada 2019 ke USD17,84 juta sebelum kembali naik di tahun terakhir Trump menjabat, yaitu 2020, mencapai USD18,62 juta.
[caption id="attachment_98005" align="alignnone" width="1760"] Surplus Neraca Perdagangan Indonesia-AS di era Donald trump (2018-2020). Indonesia mencatat surplus perdagangan yang meningkat dari USD8,263 juta pada 2018 menjadi USD10,042 juta pada 2020. Foto: BPS.[/caption]
Sebagai perbandingan, di era Joe Biden (2021-2023) membawa peningkatan signifikan pada surplus perdagangan Indonesia dengan AS. Pada 2021, surplus langsung melonjak ke USD25,79 juta, jauh lebih tinggi dari puncak surplus di era Trump. Pada 2022, angka ini mencapai titik tertinggi dalam dekade terakhir, yaitu USD28,182.7 juta, sebelum sedikit menurun menjadi USD23,24 juta pada 2023. Kebijakan Biden yang lebih mendukung perdagangan bebas dan kerja sama multilateral memberi peluang yang lebih besar bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke pasar AS sehingga surplus perdagangan Indonesia lebih besar dan stabil dibandingkan era Trump.
Indonesia jadi salah satu negara yang aktif dalam rantai pasok global, terutama di sektor komoditas dan barang konsumsi. Banyak produk Indonesia, seperti tekstil, furnitur, dan bahan mentah, terlibat dalam rantai pasok yang lebih panjang. Kronologinya, Indonesia kirim bahan mentah dan produk setengah jadi dulu ke Tiongkok, yang nantinya diolah jadi barang jadi dan dikirim ke AS. Nah, kalau AS tiba-tiba naikkan tarif buat produk Tiongkok, harga barang jadi dari Tiongkok jadi ikut melambung di pasar AS.
Apa dampaknya? Permintaan AS ke Tiongkok ya bisa turun. Kalo permintaan dari Negeri Uak Sam turun, otomatis permintaan Negeri Tirai Bambu buat bahan baku dari Indonesia juga kena imbasnya. Sektor-sektor yang bergantung pada ekspor ke Tiongkok—kayak feronikel, karet, dan kayu—jadi terancam sepi order. Jangan sedih kalau emiten kayak ANTM, IFII, LSIP, dan UNSP bisa kena getahnya.
Di sisi lain, ketidakpastian rantai pasok ini bikin perusahaan-perusahaan Indonesia mesti cari pasar alternatif atau ubah strategi produksi. Ujung-ujungnya tentu bisa bikin biaya operasional naik. Buat yang main di pasar modal, ini juga bukan kabar baik. Perusahaan yang sahamnya terdaftar di bursa dan bergantung sama ekspor ke Tiongkok pasti bakal kena dampak langsung kalau permintaan dari Tiongkok turun. Laba mereka bisa tergerus dan harga sahamnya bisa ikut-ikutan loyo.
[caption id="attachment_98002" align="alignnone" width="1200"] Pemeriksaan biji feronikel milik PT Aneka Tambang (ANTM) yang siap ekspor di Pelabuhan Pomala, Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa, 8 Mei 2018. Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman.[/caption]
Belum lagi, kalau Tiongkok enggak bisa jual barangnya ke AS, bisa-bisa produk-produk murah mereka bakal dialihkan ke Asia, termasuk Indonesia. Persaingan di pasar lokal bakal makin ketat dan perusahaan lokal yang tadinya adem ayem bisa kewalahan. Buat investor di pasar modal, ini berarti mereka perlu lebih waspada di sektor-sektor yang sangat tergantung sama rantai pasok Tiongkok-AS. Tarif tinggi dari AS ini bukan cuma soal perang dagang, tapi juga soal rantai pasok yang kacau dan persaingan harga yang makin enggak ketebak.
Kondisi ini diamini oleh Kepala Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri. Baru-baru ini dia bilang pengalihan perdagangan dari Tiongkok ke Asia ini bisa berpotensi menekan industri lokal Indonesia. “Ekspor Indonesia ke negara-negara lain bisa terganggu karena ada potensi pengalihan perdagangan dari Tiongkok. Tiongkok yang mengalami overcapacity mungkin akan menurunkan harga barangnya atau bahkan melakukan dumping ke negara lain, termasuk Indonesia,” kata dia.
Hal yang sama juga dikatakan Lynn Song, Kepala Ekonom ING Bank untuk Tiongkok Raya. Kata Song, kalau target pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang lima persen itu masih jauh dari kenyataan. Harga properti dan saham yang jatuh, upah yang stagnan, dan kekhawatiran soal PHK bikin warga China lebih pilih belanja untuk kebutuhan sehari-hari, kayak makan, minum, dan hiburan, daripada barang mahal. Akibatnya, makin banyak barang “Made in China” yang dilempar ke pasar global.
Masalahnya, kalau AS mulai menerapkan tarif tinggi, negara-negara berkembang di Asia bisa ikut kena imbasnya. Misalnya, tarif tinggi untuk mobil listrik atau baja dari Tiongkok di AS dan Eropa bisa bikin kelebihan produk Tiongkok dialihkan ke Asia. Menurut Asosiasi Mobil Penumpang Tiongkok, pada April 2024, Tiongkok ekspor 312.000 mobil listrik ke Asia, lebih banyak dari ekspor ke Eropa yang sebesar 266.000 unit.
“Ketika AS dan UE mengenakan tarif impor pada mobil listrik Cina atau tarif baru yang dikenakan pada baja Cina di Amerika Latin, kelebihan kapasitas produksi akan dialihkan ke Asia,” kata Song, dikutip dari Deutsche Welle, Kamis, 7 November 2024.
Dengan kondisi seperti ini, investor di pasar modal harus mewaspadai perusahaan-perusahaan ekspor Indonesia yang mungkin terkena dampak langsung dari perubahan rantai pasok global. Tadi baru soal mobil listrik. Apa jadinya kalau kondisi serupa menimpa komoditas ekspor unggulan di Indonesia?
Ingat, Indonesia punya andalan ekspor ke China yang nilainya gede banget, namanya feronikel. Menurut BPS, sepanjang 2023 ekspor feronikel RI ke China mencapai USD14,95 miliar atau sekitar 23 persen dari total ekspor kita ke Negeri Tirai Bambu. Feronikel ini bahan mentah yang bakal diolah jadi baja tahan karat (stainless steel), yang dipakai buat bikin berbagai barang, mulai dari alat rumah tangga, komponen otomotif, sampai peralatan industri.
Nah, masalahnya, AS punya tarif tinggi buat produk baja dari China. Gara-gara kebijakan Trump di 2018 lalu, AS memberlakukan tarif 25 persen buat impor baja dari berbagai negara, termasuk China. Tujuannya? Ngelindungin produsen baja lokal mereka. Jadi, produk baja dari China yang mengandung feronikel Indonesia jadi kurang kompetitif di pasar AS karena kena tarif mahal. Kita tahu hal yang sama akan terulang, bahkan lebih lagi di periode kedua Trump.
"Jika Anda menyerang Taiwan, saya minta maaf harus melakukan ini, saya akan mengenakan pajak sebesar 150 persen hingga 200 persen pada Anda (China)," kata Trump dalam wawancara dengan Wall Street Journal, pada Jumat, 18 Oktober 2024, lalu.
You know-kan perbedaan tarif 25 persen dengan 200 persen itu sejauh mana? 🥲
Dengan tarif tinggi ini, barang-barang berbasis baja dari China susah bersaing di AS. Alhasil, produk baja murah dari China mungkin bakal nyari pasar lain di Asia, termasuk Indonesia. Kalau itu kejadian, produsen baja lokal di Indonesia bisa ketiban beban persaingan ketat dari produk China yang harganya jauh lebih rendah. Pasar baja Indonesia bisa kena dumping. Dumping adalah praktik di mana sebuah negara atau perusahaan mengekspor produk dengan harga yang jauh lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar domestik mereka. Tujuannya biasanya untuk menguasai pasar dengan cara membuat produk lokal sulit bersaing karena perbedaan harga yang bagaikan bumi dan langit.
Sementara itu, kalau menurut prediksi analis pasar modal dari NH Korindo Sekuritas, Ezaridho Ibnutama, kebijakan proteksionis Trump bisa memukul ekspor Indonesia ke AS. Menurutnya, “Ada potensi Trump akan naikin tarif untuk impor Indonesia sebesar 20 persen. Di September 2024, ekspor Indonesia kedua terbanyak adalah ke Amerika Serikat. Ada kemungkinan ekspor dari Indonesia akan turun ke AS.”
Selain tarif impor, pendekatan ekonomi Trump yang lebih fokus ke dalam negeri berpotensi mengubah aliran investasi asing (FDI). Di masa Biden, kata Ezaridho, AS cenderung mendukung perdagangan bebas dengan negara-negara berkembang (emerging markets) sehingga investasi asing ke Indonesia relatif tinggi. Namun, jika Trump kembali berkuasa, kebijakan “America First” diprediksi akan mengutamakan investasi dalam negeri AS, yang akhirnya membuat Indonesia harus lebih kompetitif untuk menarik FDI dari negara-negara lain.
[caption id="attachment_97999" align="alignnone" width="1136"] Pemilihan Presiden AS tahun 2024 menampilkan dua kandidat utama dengan pendekatan kebijakan ekonomi yang sangat berbeda. Kamala Harris berfokus pada kebijakan yang mendukung kesejahteraan masyarakat, dengan rencana peningkatan Child Tax Credit hingga USD6,000, peningkatan pajak untuk korporasi dan individu berpenghasilan tinggi, pembangunan perumahan terjangkau, serta penurunan emisi karbon hingga 40 persen pada 2030. Donald Trump, di sisi lain, berkomitmen pada pemotongan pajak untuk semua kalangan, deregulasi sektor infrastruktur, serta pengenaan tarif impor 10 persen untuk produk luar dan tarif hingga 60 persen untuk produk Tiongkok. Trump juga berencana membatasi regulasi ESG serta melanjutkan bantuan luar negeri ke Israel. Foto: Dok. NH Korindo.[/caption]
Menurut analis Stocknow.id, Hendra Wardana dan Sinta Dwi Untari, Trump yang terkenal sebagai pebisnis berpengalaman berpotensi menerapkan kebijakan ekonomi yang bikin dolar AS makin perkasa. Ini bisa mengurangi daya tarik komoditas seperti emas dan minyak sebagai aset lindung nilai. Jadi, harga komoditas berpotensi turun karena Trump diyakini akan fokus pada kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi untuk stabilitas negaranya..
Di pasar saham Indonesia, khususnya sektor perbankan, dampaknya bakal terasa cukup keras. Investor asing mungkin bakal cabut (outflow) karena khawatir dengan kebijakan ekonomi Trump yang lebih proteksionis. Saham-saham bank besar kayak BBRI, BMRI, dan BBCA mungkin bakal kena tekanan jual. "Para investor asing cenderung melakukan aksi jual (outflow) di tengah kekhawatiran akan kebijakan ekonomi Trump yang lebih proteksionis," kata Hendra dan Sinta kepada KabarBursa.com, Kamis, 7 November 2024.
Tapi, kata Hendra dan Sinta, ada satu pihak di Indonesia yang bisa dapat "durian runtuh" dengan melenggangnya Trump ke Gedung Putih, yaitu grup bisnis Hary Tanoesoedibjo (HT). Kedekatan HT dan Trump yang udah terbukti dalam berbagai proyek, kayak properti dan investasi, bisa jadi modal bagus buat Grup MNC untuk dapat akses atau dukungan proyek baru.
“Saham-saham di bawah Grup MNC, seperti KPIG dan MNCN mungkin berpotensi untuk merespons secara positif kemenangan Trump, terutama jika ekspektasi akan proyek-proyek strategis atau kerja sama baru meningkat,” kata mereka.
Jadi, kemenangan Trump bakal jadi pedang bermata dua buat pasar modal Indonesia. Di satu sisi, sektor perbankan dan komoditas mungkin tertekan. Tapi, di sisi lain, Grup MNC bisa diuntungkan berkat relasi dekat dengan Trump yang mungkin membuka peluang-peluang baru bagi bisnis mereka.
Selama masa pemerintahan Biden, AS cenderung mendukung perdagangan bebas dan bekerja sama dengan negara-negara berkembang melalui pendekatan multilateral. Kebijakan Trump yang cenderung mendukung investasi domestik AS mempengaruhi Foreign Direct Investment (FDI) atau inveastasi asing ke Indonesia. Menurut laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), aliran investasi asing langsung dari AS ke Indonesia pada masa Trump pertama tumbuh lambat dibandingkan era Biden. Jika Trump kembali fokus pada pengembangan ekonomi domestik, Indonesia mungkin kehilangan aliran FDI dari AS dan perlu mencari sumber investasi lain, seperti dari negara-negara Asia Timur.
Data dari Kementerian Investasi/BKPM mengungkapkan investasi asing langsung (PMA) dari Amerika Serikat ke Indonesia selama era Trump (2017-2020) cenderung merosot tiap tahunnya. Pada 2017, PMA dari AS tercatat sebesar USD1.992,8 juta, tapi jumlahnya terus menurun ke USD 1.217,6 juta di 2018, USD989,3 juta di 2019, dan akhirnya hanya USD749,7 juta di 2020. Total PMA AS selama empat tahun Trump memimpin ini hanya USD4.949,5 juta.
Bandingkan dengan masa Barack Obama (2013-2016), di mana PMA AS mencapai USD 5.790,3 juta—sekitar 17 persen lebih tinggi dari era Trump. Di bawah Joe Biden, investasi ini melonjak drastis. Dari 2021 hingga September 2024 saja, PMA AS ke Indonesia sudah mencapai USD 9.686,5 juta, naik sekitar 95,71 persen dibandingkan masa Trump. Angka-angka ini seakan jadi bukti bahwa era Trump membawa kebijakan yang lebih irit untuk investasi AS di Indonesia, sementara kebijakan Obama-Biden yang notabene dari Partai Demokrat lebih terbuka berhasil mendongkrak aliran modal secara signifikan ke Tanah Air.
Dengan adanya ancaman proteksionisme dari Trump, apa langkah yang harus diambil investor Indonesia? Pertama, Indonesia perlu meningkatkan daya saing untuk menarik FDI dari negara-negara lain. Menurut data BKPM, investasi dari AS ke Indonesia lebih tinggi di era Biden. Jika kebijakan Trump kembali memprioritaskan investasi domestik, Indonesia perlu mencari alternatif untuk menjaga arus FDI.
Menurut Yose Rizal Damuri, Trump punya pandangan yang kurang ramah terhadap perdagangan, terutama kalau surplus perdagangan dianggap merugikan AS. Indonesia sendiri pernah masuk dalam watch list pemerintahan Trump di periode pertamanya karena surplus perdagangan kita dianggap “mengancam.” Namun, berkat diplomasi yang apik, Indonesia berhasil lolos dari potensi sanksi AS pada masa itu.
Yose menegaskan sekarang adalah waktunya Indonesia memperkuat diplomasi lagi dan fokus membangun industri dalam negeri. Ia mewanti-wanti Indonesia jangan hanya nyaman dengan kondisi perdagangan RI-AS yang sudah berjalan selama ini. Dengan ketegangan perdagangan yang masih tinggi antara AS dan Tiongkok, ada peluang besar buat kita memanfaatkan limpahan permintaan yang tadinya mengalir ke Tiongkok untuk dialihkan ke Indonesia. Beberapa negara seperti Vietnam dan Meksiko, kata Yose, telah berhasil memanfaatkan kondisi ini di masa lalu.
“Studi menunjukkan bahwa ada peningkatan perdagangan ekspor dari negara-negara mitra Amerika Serikat diluar Tiongkok karena adanya perang dagang (AS) dengan Tiongkok,” kata Yose.
Bagi investor pasar modal, memilih sektor yang lebih stabil seperti infrastruktur dan energi domestik bisa menjadi strategi yang lebih aman. Sektor-sektor ini cenderung tidak terlalu terpengaruh oleh dinamika kebijakan perdagangan AS dan bisa menjadi pilihan investasi jangka panjang yang stabil. Trump Effect mungkin menjadi badai bagi pasar modal Indonesia, tetapi seperti badai lainnya, ini juga menghadirkan peluang bagi investor yang cerdas dan siap menghadapi ketidakpastian.(*)
Andi Hidayat, reporter KabarBursa.com berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.