Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pemanfaatan Lahan HGB di Program 3 Juta Rumah Menuai Polemik

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 07 November 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Pemanfaatan Lahan HGB di Program 3 Juta Rumah Menuai Polemik

KABARBURSA.COM - Pemanfaatan lahan berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) untuk pembangunan Program 3 Juta Rumah menuai polemik. Pasalnya, hak kepemilikan terhadap rumah tersebut diragukan.

Muncul pertanyaan, apakah HGB tersebut dapat diubah menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) oleh masyarakat yang akan menempati rumah di lahan tersebut?

Sebelumnya, lahan berstatus HGB ini digunakan untuk berbagai aktivitas seperti tempat usaha, dan kini masa berlakunya telah habis.

Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sedang mengindentifikasi untuk dijadikan lokasi pembangunan Program 3 Juta Rumah.

Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya mengatakan, perbedaan utama antara HGB dengan SHM terletak pada kepemilikan dan masa berlaku.

Dijelaskannya, SHM merupakan level tertinggi dalam kepemilikan tanah di Indonesia, dan hanya dapat dimiliki oleh individu, bukan oleh perusahaan.

“Antara HGB dengan hak milik (SHM) itu yang membedakan adalah, kalau perusahaan tidak akan pernah bisa mendapatkan hak milik, karena hak milik itu hanya bisa dimiliki oleh pribadi,” kata Bambang kepada Kabar Bursa, Kamis 7 November 2024.

Namun, bagi masyarakat yang membeli properti di atas lahan HGB memiliki opsi untuk meningkatkan status kepemilikan setelah proses pembeliannya selesai.

“Jadi sepanjang kepemilikannya itu jelas, lalu alasnya HGB setelah dibeli oleh konsumen, dalam hal ini pembeli properti setelah lunas, maka konsumen bisa mengubah menjadi sertifikat setelah mungkin dijaminkan ke bank,” terangnya.

Bambang pun menjelaskan bahwa dalam konteks kepemilikan hak atas tanah, terdapat beberapa tingkatan, mulai dari yang tertinggi yaitu Sertifikat Hak Milik (SHM), diikuti oleh Hak Guna Bangunan (HGB), lalu Hak Guna Usaha (HGU), dan terakhir Hak Pakai.

“Sebenarnya kalau kita bicara hak ada empat atau lima layer, tertinggi tentu SHM, Sertifikat Hak Milik. Satu tingkat di bawahnya HGB, di bawahnya lagi itu ada HGU, dan terendah Hak Pakai,” papar Bambang.

Namun, jika sebuah lahan yang berstatus HGB berada di atas status Hak Pakai, maka tidak bisa diubah menjadi SHM.

“Karena Hak Pakai adalah hak yang paling rendah dalam hierarki kepemilikan tanah. Jadi, jika HGB berada di atasnya maka tidak dapat ditingkatkan statusnya menjadi hak milik,” terang Bambang.

Meski begitu, jika status HGB tidak dapat ditingkatkan menjadi SHM karena berada di atas lahan Hak Pakai, kepemilikan atas HGB tersebut tetap sah dan tidak akan hilang.

“Selama proses pembeliannya dilakukan secara sah, status HGB akan tetap berlaku, dan pemiliknya memiliki hak untuk menggunakan lahan tersebut sesuai dengan ketentuan, meski tidak memiliki hak penuh,” jelasnya.

Dengan kata lain, selama prosedur legalitasnya dipenuhi, pemilik lahan dengan status HGB tetap memiliki hak atas properti tersebut tanpa ada perubahan kepemilikan yang mengganggu.

Karena itu, menurut Bambang, status HGB bukanlah isu utama, asalkan kepemilikan tanah tersebut sah dan jelas.

“HGB akan tetap menjadi HGB dan kepemilikannya tidak akan hilang selama dibeli secara sah. Jadi, ini bukan masalah besar,” pungkas Bambang.

Penjelasan dari Menteri ATR

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengatakan status HGB rumah tersebut tidak bisa dirubah menjadi SHM.

Awalnya, Nusron Wahid mengatakan dirinya sudah diminta oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait terkait lahan terlantar.

Katanya, lahan-lahan itu akan dibangun perumahan guna mencapai target pencapaian 3 juta rumah dalam satu tahun.

“Beliau (Maruarar Sirait) datang ke sini untuk menanyakan, ‘kamu ada enggak tanah-tanah terlantar yang bisa dipakai untuk membangun perumahan’. Ya sudah saya cariin, Insya Allah ada setelah kita identifikasi,” kata Nusron Wahid saat ditemui Kabar Bursa di kantor Kementerian ATR/BPN, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa, 5 November 2024.

Nusron menyebutkan, setidaknya dibutuhkan sekitar 1,3 juta hektare lahan terlantar yang bisa dimanfaatkan dalam lima tahun ke depan. Meski demikian, diakuinya, belum semua lahan-lahan tersebut terindentifikasi cocok untuk dibangun perumahan.

“Kita belum tahu apakah dari 1,3 juta hektare ini berapa yang sesuai untuk perumahan. Yang jelas, tanah itu akan dicari di lokasi yang bagus dan layak untuk tempat tinggal,” jelas Nusron.

Dia menegaskan, lahan-lahan terlantar itu merupakan aset negara. Nantinya, negara akan memberikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada Bank Tanah yang kemudian bisa dibangun perumahan dengan menggunakan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL.

Mengenai kepastian hak milik rumah tersebut, Nusron menjelaskan, lahan milik negara itu tidak dapat diubah statusnya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).

“Namanya tanah negara, nanti dapatnya HGB,” jelasnya.

Dia memastikan, skema tersebut tidak berlaku untuk tanah sitaan kasus korupsi yang proses pengalihannya ada di bawah kewenangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Sebaliknya, lahan yang akan dimanfaatkan adalah bekas HGB atau HGU (Hak Guna Usaha) yang sudah selesai masa penggunaannya.

Nusron menguraikan, dalam Undang-undang Agraria, masa penggunaan HGU maksimal adalah 35 tahun dan bisa diperpanjang 25 tahun lagi, serta diperbarui hingga 30 tahun.

Sedangkan untuk HGB, masa berlakunya hanya 30 tahun, dengan perpanjangan 20 tahun, dan tambahan 30 tahun.

Setelah masa tersebut, penggunaan lahan dianggap tidak fungsional atau tidak memiliki nilai ekonomi yang layak, maka statusnya akan berubah menjadi tanah terlantar dan bisa diberikan kepada pihak yang membutuhkan.

“Untuk legalisasinya, jika sudah masuk kategori tanah terlantar, maka tanah tersebut menjadi milik negara. Negara akan memberikan HPL kepada Bank Tanah, dan pembangunan rumahnya menggunakan HGB di atas HPL,” terangnya.

Sebelumnya, Menteri PKP Maruarar Sirait mengungkapkan pihaknya sedang mempersiapkan peta jalan yang lebih jelas untuk mencapai target pembangunan tiga juta rumah per tahun.

Selain memanfaatkan tanah terlantar, kata Maruarar, opsi pemanfaatan rumah susun (rusun) yang masih kosong, seperti Rusun Pasar Rumput, Setiabudi, Jakarta Selatan, yang memiliki 1.984 unit tetapi baru terisi sekitar 400 unit.

Upaya lain mencakup pemanfaatan aset sitaan dari kasus korupsi untuk dialihfungsikan sebagai perumahan rakyat, termasuk bagi ASN dan anggota TNI-Polri. (*)