Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

KSPI Sebut Proses Pengupahan yang Berjalan Belum Sesuai Putusan MK

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 05 November 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
KSPI Sebut Proses Pengupahan yang Berjalan Belum Sesuai Putusan MK

KABARBURSA.COM - Presiden Partai Buruh sekaligus pimpinan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, buka suara ihwal rencana pemerintah dalam penyusunan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang pengupahan.

Dia menegaskan, pemerintah perlu memastikan kebijakan pengupahan selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan tetap mengedepankan keadilan bagi buruh. Saat ini, kata Said, proses penyusunan Permenaker terindikasi belum sepenuhnya memuat amanat dari putusan MK.

"Ada indikasi kuat bahwa proses tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah mencabut pasal-pasal terkait pengupahan dalam Omnibus Law atau UU Cipta Kerja," kata Said dalam keterangannya, Selasa, 5 November 2024.

Diketahui, putusan MK sebelumnya menyatakan beberapa norma hukum terkait pengupahan tidak sesuai dengan konstitusi dan harus dicabut. Berdasarkan keputusan itu, Said pun mendesak agar setiap aturan turunan, termasuk PP Nomor 51 Tahun 2023 untuk tidak lagi diberlakukan.

KSPI memandang, kata Said, pemerintah wajib mematuhi keputusan MK terkait pencabutan 21 norma hukum, termasuk ketentuan pengupahan yang diatur dalam pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku. "Putusan MK tidak dapat ditafsirkan secara sepihak; segala aturan yang didasarkan pada norma yang telah dicabut harus dihentikan," tegasnya.

Said juga menyoroti metode penyusunan Permenaker yang dinilai tidak memberikan ruang diskusi yang substansial bagi perwakilan buruh. Pertemuan yang digelar secara daring selama ini, dinilai hanya memberikan kesempatan buruh untuk mendengarkan tanpa ruang negosiasi.

"Proses penyusunan kebijakan ketenagakerjaan harus melibatkan dialog substansial antara pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh sesuai prinsip tripartit yang ideal,” ujar Iqbal.

Begitu juga dengan formula perhitungan upah minimum yang disebut menggunakan batas atas dan batas bawah dengan indeks tertentu. Menurut Said, formula tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Karenanya dia menolak penggunaan formula alpha atau indeks tertentu dalam perhitungan upah minimum lantaran tidak memiliki dasar undang-undang.

Said pun meminta Badan Pusat Statistik (BPS) tidak terlibat dalam pembuatan formula upah yang dapat mengurangi daya beli buruh. Selain itu, dia juga menyoroti perubahan metode penentuan kebutuhan hidup layak (KHL) yang kini menggunakan Survei Biaya Hidup (SBH) oleh BPS.

Menurutnya, metode SBH seharusnya tidak menggantikan KHL dalam menentukan upah minimum karena SBH lebih relevan untuk kebutuhan perusahaan, bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar buruh. Said menekankan pentingnya upah minimum sektoral yang lebih tinggi daripada upah minimum regional (provinsi atau kabupaten/kota).

“Penetapan upah sektoral harus dilakukan di tingkat daerah oleh Dewan Pengupahan Daerah, bukan di pusat, agar mencerminkan kondisi sektor-sektor spesifik di setiap wilayah,” jelasnya.

Said pun menuntut para gubernur untuk tidak lagi memiliki wewenang membatalkan rekomendasi kenaikan upah minimum yang diajukan bupati atau wali kota. Apalagi, kata dia, keputusan MK jelas meminta agar Dewan Pengupahan Daerah wajib dilibatkan tanpa boleh dibatalkan gubernur.

Said meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung memantau secara ketat proses penyusunan Permenaker perihal upah minimum. "Kami khawatir ada praktik kolusi dan korupsi dalam proses ini, terutama dengan hadirnya APINDO yang diduga memiliki pengaruh besar terhadap keputusan Menko Perekonomian,” katanya.

Janji Taat pada MK

Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, sebelumnya mengaku patuh dan taat pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal uji materiil Undang-Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

"Yang pasti pemerintah taat dan patuh terhadap putusan MK, karena itu kita akan melakukan sesuai dengan putusan MK," kata Supratman kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 4 November 2024.

Supratman mengaku sudah membahas putusan MK tersebut dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Dia pun mengaku akan menghadap Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan langkah dalam menindaklanjuti putusan tersebut.

"Kami sudah bahas dengan Menko Perkonomian, kalau enggak salah nanti jam setengah lima kita lapor ke Pak Presiden, terkait dengan langkah-langkah yang harus diambil," ungkapnya.

Kendati MK meminta DPR untuk segera membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru, Supratman menyebut sektor tenaga kerja tidak dalam kondisi kekosongan hukum. Pasalnya, kata dia, putusan MK jelas memberi batas waktu dua tahun untuk pembentukan UU baru tentang ketenagakerjaan.

"Sesungguhnya tidak ada kekosongan hukum karena di dalam putusan MK sudah jelas, bahwa ada perintah MK dalam waktu dua tahun disusun sebuah undang-undang dan mengeluarkan klaster ketenagakerjaan menjadi undang-undang sendiri, yakni UU Ketenagakerjaan," jelasnya.

Kendati begitu, Supratman mengaku akan berupaya secepatnya untuk menindaklanjuti putusan tersebut. Dari 21 pasal yang dibatalkan MK, kata dia, hanya tentang penetapan upah minimum provinsi (UMP) yang mendesak untuk segera ditetapkan. "Karena itu harus ditetapkan, dan nanti Pak Menko Perkonomian yang akan lebih menjelaskan soal itu, karena beliau mengkoordinasikan soal itu," kata politikus Partai Gerindra ini.(*)