KABARBURSA.COM - Pemilihan Presiden Amerika Serikat atau Pilpres AS, tidak hanya berdampak pada perpolitikan dan ekonomi lokal, tetapi juga global. China, salah satunya, akan sangat berdampak pada hasil pilpres tersebut.
Pada awal November 2024, para pembuat kebijakan terkemuka di China berkumpul dalam pertemuan Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (NPC) untuk membahas langkah-langkah penting guna menyelamatkan ekonomi yang sedang tertekan.
Salah satu agenda utama dalam pertemuan tersebut adalah membahas paket stimulus besar yang dinilai oleh banyak analis sebagai kunci penting untuk mendorong pemulihan ekonomi China.
Namun, besarnya stimulus ini sangat mungkin dipengaruhi oleh hasil pemilihan presiden di Amerika Serikat, di mana mantan presiden Donald Trump dan Kamala Harris sedang bersaing ketat untuk memenangkan kursi kepresidenan.
Selama beberapa bulan terakhir, China telah merespons desakan untuk meningkatkan dukungan terhadap perekonomian setelah bertahun-tahun lambat bertindak. Pemerintah telah mengambil beberapa langkah signifikan, seperti pemangkasan suku bunga dan pelonggaran aturan pembelian properti.
Meski demikian, Beijing belum secara resmi mengumumkan besaran stimulus yang telah lama ditunggu-tunggu oleh para investor. Kondisi ini sempat memicu kekecewaan di pasar setelah reli yang dipicu oleh spekulasi stimulus besar terhenti akibat kurangnya kejelasan dari pemerintah.
Namun, harapan besar muncul dari pertemuan Komite Tetap NPC kali ini. Para ekonom dari Nomura memperkirakan bahwa pemerintah China kemungkinan akan menyetujui dana stimulus tambahan sebesar satu triliun yuan (sekitar USD140 miliar).
Stimulus ini diharapkan akan diumumkan pada akhir pekan ini, tepat pada waktunya ketika China dapat mengevaluasi hasil pemilihan presiden di AS yang tentunya akan berpengaruh pada kebijakan luar negeri dan perdagangan.
Siapa Menguntungkan, Trump atau Harris?
Hasil pemilihan presiden AS diperkirakan akan memiliki dampak signifikan terhadap arah kebijakan ekonomi China. Kedua kandidat, baik Trump maupun Harris, sama-sama berjanji untuk bersikap lebih tegas terhadap China, dengan Trump berencana menerapkan tarif sebesar 60 persen untuk semua barang China yang masuk ke AS.
Dalam skenario kemenangan Trump, para analis memperkirakan Beijing mungkin perlu merespons dengan meningkatkan besaran paket stimulus untuk memperkuat perekonomian domestik.
Kepala ekonom China di Nomura Ting Lu, mencatat bahwa ukuran stimulus fiskal China kemungkinan akan 10 hingga 20 persen lebih besar jika Trump memenangkan pemilu, dibandingkan dengan skenario kemenangan Harris.
Hal ini disebabkan oleh potensi ketegangan perdagangan yang lebih tinggi di bawah pemerintahan Trump, yang memaksa Beijing untuk menyeimbangkan kembali ekonomi domestiknya di tengah tekanan eksternal.
Namun, terlepas dari pengaruh eksternal seperti pemilu AS, tantangan terbesar bagi perekonomian China datang dari dalam negeri. Salah satu sektor yang paling bermasalah adalah sektor properti. Sektor ini yang pernah menjadi pilar pertumbuhan ekonomi, kini terbebani oleh utang yang menumpuk dan proyek-proyek perumahan yang belum selesai.
Survei dari China Index Academy menunjukkan harga properti residensial baru di 100 kota mengalami sedikit kenaikan pada bulan lalu. Namun, kota-kota dan provinsi di China masih menghadapi tantangan besar dengan banyaknya unit perumahan yang belum terjual, yang diperkirakan bisa menelan biaya hingga 3,3 triliun yuan jika harus dibeli kembali oleh pemerintah.
Masalah properti ini turut mempengaruhi daya beli konsumen.
Heron Lim dari Moody’s Analytics, menjelaskan bahwa konsumen China yang memiliki hipotek tidak merasa bahwa kekayaan mereka bertambah, sehingga tingkat konsumsi tetap lemah. Masalah ini diperparah dengan pengelolaan utang pemerintah daerah, yang menjadi sorotan dalam pertemuan NPC minggu ini.
Selain itu, terdapat kekhawatiran lebih lanjut mengenai alokasi dana yang salah arah dalam kebijakan industri China.
Alicia Garcia Herrero dari Natixis, menyoroti bahwa banyak dari stimulus yang direncanakan kemungkinan akan digunakan untuk menutupi kerugian daripada mendorong pertumbuhan baru.
Ini berarti, sebagian besar dana hanya akan dipakai untuk menambal kerusakan dari kebijakan ekonomi masa lalu, bukan untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan.
Sebelumnya diberitakan, pejabat pemerintah China baru saja mengumumkan langkah-langkah baru yang memungkinkan individu asing untuk memberikan modal pada perusahaan publik sebagai investor strategis.
Ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang China untuk lebih membuka ekonominya dan mendiversifikasi sumber pendanaan di pasar modal.
Sayangnya, langkah ini muncul hanya beberapa hari sebelum pemilihan presiden AS, sehingga memunculkan kekhawatiran terkait dampak dari potensi terpilihnya kembali Trump terhadap ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Kebijakan perdagangan Trump yang keras terhadap China selama masa jabatan pertamanya, membuat banyak investor waspada terhadap hubungan kedua negara jika ia kembali menjabat. Di sisi lain, kemenangan Harris mungkin akan menciptakan hubungan yang lebih stabil, yang dipandang positif bagi ekonomi global.
Selain itu, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional China juga akan mengadakan pertemuan sepanjang pekan ini. Para investor akan mengamati apakah ada stimulus fiskal yang disetujui untuk mendorong pemulihan ekonomi yang saat ini mulai melambat.
Dengan banyaknya faktor yang memengaruhi pasar global minggu ini — mulai dari pemilu presiden AS hingga keputusan kebijakan moneter di beberapa negara utama — volatilitas diperkirakan akan tetap tinggi.
Pelemahan dolar AS, kenaikan harga minyak, dan penguatan peso Meksiko adalah refleksi dari ketidakpastian yang terjadi. Bagaimana hasil pemilu AS dan keputusan bank sentral memengaruhi pasar keuangan akan sangat tergantung pada perkembangan beberapa hari ke depan.
Investor harus siap menghadapi fluktuasi harga yang signifikan di berbagai kelas aset.
Pertemuan Komite Tetap NPC minggu ini menjadi momen penting dalam menentukan arah kebijakan ekonomi China ke depan. Di tengah ketidakpastian global akibat pemilu AS, Beijing harus menghadapi tantangan internal yang tak kalah serius, terutama di sektor properti dan pengelolaan utang.
Paket stimulus yang akan diumumkan diharapkan mampu menjadi dorongan bagi perekonomian, tetapi pertanyaannya adalah seberapa efektif stimulus ini dalam mendorong pemulihan jangka panjang.
Dengan tekanan dari luar, seperti potensi kebijakan keras dari Trump jika ia terpilih kembali, serta masalah internal yang melibatkan utang dan properti, Beijing memiliki pekerjaan besar untuk menjaga stabilitas ekonomi di tahun-tahun mendatang.
Stimulus besar mungkin diperlukan, tetapi reformasi yang mendalam di sektor-sektor vital ekonomi tampaknya menjadi hal yang tak terelakkan jika China ingin menghindari krisis yang lebih besar di masa depan.(*)