Survei yang mencakup lebih dari 400 perusahaan asing pada kuartal ketiga 2024 ini juga mengungkapkan bahwa sekitar 50 persen responden menilai pasar China semakin menarik, ungkap Juru Bicara Dewan China untuk Promosi Perdagangan Internasional (China Council for the Promotion of International Trade/CCPIT), Sun Xiao.
Sun menyebut lebih dari 60 persen perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yang disurvei melihat peningkatan daya tarik pasar China bagi investasi asing, dengan kenaikan sebesar 15,26 poin persentase secara kuartalan (quarter on quarter).
Ia juga menyatakan bahwa sekitar 20 persen perusahaan asing yang disurvei berencana menambah investasi di China, mengalami peningkatan sebesar 2,07 poin persentase secara kuartalan.
Sebanyak 54,76 persen perusahaan asing yang disurvei berupaya memperluas investasi mereka di China dengan memperluas lini produksi atau mengejar transformasi digital.
Sejak awal 2023, perusahaan-perusahaan China telah menggelontorkan lebih dari USD100 miliar dalam proyek investasi teknologi energi bersih di luar negeri. Menurut laporan dari Climate Energy Finance (CEF), lembaga riset asal Australia, langkah ini dilakukan untuk menghindari tarif dari Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.
China saat ini menjadi produsen dan pengekspor terbesar dunia untuk produk-produk seperti panel surya, baterai lithium, dan kendaraan listrik. Kapasitas investasi, inovasi, dan manufaktur negara tersebut memimpin dengan selisih yang mencengangkan, demikian yang disampaikan CEF dalam laporan risetnya.
Negara ini menyumbang 32,5 persen ekspor kendaraan listrik dunia, 24,1 persen baterai lithium, dan 78,1 persen panel surya. Namun, dominasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa China menggunakan surplus kapasitas besar-besaran untuk membanjiri pasar, menekan harga, dan melemahkan para pesaingnya.
Amerika Serikat dan Kanada sudah menerapkan tarif 100 persen untuk kendaraan listrik buatan China, sementara Uni Eropa akan memutuskan isu tersebut pekan ini. Impor panel surya dan baterai lithium dari China ke AS juga dikenakan tarif sebesar 50 persen dan 25 persen.
“Investasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan swasta China sebagian besar didorong oleh kebutuhan untuk menghindari hambatan perdagangan,” kata Analis CEF sekaligus salah satu penulis laporan tersebut, Xuyang Dong, dikutip dari Reuters, Rabu, 2 Oktober 2024.
Xuyang menambahkan, BYD, produsen kendaraan listrik terkemuka di China, sedang membangun pabrik senilai USD 1 miliar di Turki untuk menghindari tarif hampir 40 persen yang diusulkan Uni Eropa. Selain itu, produsen baterai CATL juga merencanakan pembangunan pabrik di Jerman, Hungaria, dan beberapa negara lainnya.
Menurut studi terpisah yang diterbitkan oleh Grantham Institute di Inggris tahun ini, dua pertiga dari kapasitas energi bersih China akan menjadi surplus dari kebutuhan domestik pada tahun 2030, dan akan mencari pasar ekspor. Produksi panel surya China diperkirakan mencapai kapasitas total 860 gigawatt pada tahun tersebut.
China menentang keras kenaikan tarif ini, dengan menyatakan bahwa pembatasan impor murah dari China akan menghambat upaya global untuk memerangi perubahan iklim. Utusan iklim senior China, Liu Zhenmin, pada Maret lalu memperingatkan bahwa pemisahan dari manufaktur China bisa meningkatkan biaya transisi energi global hingga 20 persen.
11 Reaktor Nuklir
Selain menyalurkan investasi besar ke proyek energi bersih di luar negeri, China juga terus memperkuat langkah-langkah domestiknya dalam transisi menuju energi hijau. Tidak hanya berfokus pada ekspor panel surya dan kendaraan listrik, negara ini kini kembali mengakselerasi proyek energi nuklir sebagai bagian dari upaya mengurangi emisi karbon secara signifikan. Pada Agustus 2024, Beijing mengumumkan rencana pembangunan reaktor nuklir dalam skala besar.
Negara itu menyetujui pembangunan 11 reaktor nuklir di lima wilayah berbeda pada Senin, 20 Agustus 2024, lalu. Ini merupakan jumlah izin baru terbanyak yang pernah dikeluarkan, sejalan dengan ambisi negara ini untuk semakin mengandalkan energi atom dalam menekan emisi karbon.
Pembangunan reaktor tersebut akan tersebar di provinsi Jiangsu, Shandong, Guangdong, Zhejiang, hingga Guangxi, sebagaimana dilaporkan oleh China Energy News. Investasi yang dikucurkan mencapai 220 miliar yuan, dengan estimasi konstruksi memakan waktu lima tahun, menurut laporan dari Jiemian, sebuah media keuangan terkemuka.
Pembangunan Reaktor Nuklir
China saat ini memimpin dunia dalam pembangunan reaktor nuklir, dengan lebih banyak unit yang tengah dikerjakan dibandingkan negara lain. Hanya dalam dua tahun terakhir, China telah mengesahkan pembangunan 10 reaktor baru, menjadikannya salah satu negara dengan pertumbuhan energi nuklir paling cepat.
CGN Power Co, anak perusahaan dari China General Nuclear Power Corp, mengumumkan melalui pengajuan di bursa saham Hong Kong bahwa mereka telah mendapat persetujuan untuk membangun enam reaktor di tiga lokasi berbeda.
Sementara itu, China National Nuclear Power Co mengonfirmasi melalui akun resmi WeChat bahwa mereka akan membangun tiga reaktor tambahan. Tak ketinggalan, State Power Investment Corp juga menerima lampu hijau untuk dua unit reaktor baru.
Percepatan pembangunan pembangkit tenaga nuklir ini semakin mempertegas komitmen China untuk menjadikan energi atom sebagai salah satu pilar utama dalam transisi menuju energi bersih dan keberlanjutan lingkungan.
Padahal 2021 lalu, Pemerintah Cina mengakui adanya kerusakan pada batang bahan bakar di salah satu pembangkit listrik tenaga nuklirnya di selatan negeri itu. Meski begitu, mereka menegaskan bahwa tidak ada kebocoran radioaktivitas yang membahayakan.
Kementerian Ekologi dan Lingkungan Tiongkok menyatakan bahwa masalah ini lazim terjadi dan tidak perlu menjadi sumber kekhawatiran publik. Pengakuan ini muncul setelah laporan CNN yang menyebutkan bahwa pemerintah Amerika Serikat tengah mengevaluasi dugaan kebocoran di fasilitas tersebut. Perusahaan energi asal Prancis, yang turut membantu pengoperasian pembangkit di Guangdong, sebelumnya telah melaporkan adanya masalah dalam kinerja.
Pada hari Senin, juru bicara EDF menjelaskan bahwa kerusakan pada batang bahan bakar telah mengakibatkan penumpukan gas yang kemudian dilepaskan ke atmosfer.
Perusahaan tersebut telah memperingatkan pemerintah AS mengenai langkah regulator nuklir Cina yang diduga meningkatkan ambang batas radiasi yang diizinkan di sekitar pembangkit demi menghindari penutupan.(*)