Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Efek Domino Runtuhnya Sritex Berpotensi Bawa Ekonomi RI Anjlok

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 01 November 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Efek Domino Runtuhnya Sritex Berpotensi Bawa Ekonomi RI Anjlok

KABARBURSA.COM - Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Charles Meikyansah, mendukung upaya pemerintah dalam menyusun kebijakan perlindungan bagi industri tekstil. Hal itu dia ungkap menyusul nasib pahit PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang dinyatakan pailit.

Diketahui, Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang atas gugatan yang diajukan PT Indo Bharat Rayon (IBR). Sritex dinilai lalai terhadap utang kepada IBR sehingga persoalan berujung panjang dan berdampak fatal bagi perusahaan.

Meski pabrik masih beroperasional seiring manajemen mengajukan kasasi di Mahkamah Agung (MA) untuk membatalkan putusan PN Niaga Semarang, status pailit terhadap Sritex bisa berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Apalagi dengan adanya potensi massal badai pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap puluhan ribu karyawan Sritex.

“Kita mendukung upaya Pemerintah yang sekarang tengah berjibaku berusaha memberi penyelamatan untuk Sritex. Karena kalau Sritex sampai bangkrut, pastinya bisa berpengaruh terhadap perekonomian nasional,” kata Charles dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 1 November 2024.

Untuk itu, Charles menyebut DPR siap bekerja sama dengan Pemerintah untuk menyelamatkan Sritex yang merupakan perusahan tekstil terbesar se-Asia Tenggara itu. “Kita tidak bisa tinggal diam saat nasib puluhan ribu rakyat menjadi taruhannya. Negara perlu membantu Sritex dengan tujuan agar tidak ada PHK massal kepada para karyawannya. Dan tentunya juga agar industri tekstil kita tidak terdampak,” tuturnya.

Charles pun mendukung upaya Pemerintah yang menyiapkan berbagai langkah penyelamatan untuk Sritex. Mulai dari kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau safeguard. Dia menilai, kebijakan tersebut tidak hanya menyelamatkan Sritex, melainkan juga industri tekstil secara keseluruhan.

Di sisi lain, Charles juga mendorong Pemerintah untuk menciptakan terobosan agar industri tekstil dalam negeri kembali lagi pada masa kejayaannya. “Karena kita tahu beberapa waktu belakangan banyak perusahaan tekstil dan garmen yang kesulitan karena beberapa faktor,” jelasnya.

Salah satu faktor yang membuat industri tekstil Indonesia lesu, tutur Charles, karena membanjirnya barang impor dengan harga kompetitif atau murah. Dia menyebut, industri tekstil lokal menjadi kalah saing hingga membuat beberapa perusahaan gulung tikar atau melakukan efisiensi dengan pengurangan karyawan sehingga terjadi badai PHK di industri tekstil serta garmen.

Komisi XI DPR yang membidangi urusan keuangan negara dan perencanaan pembangunan nasional itu pun berharap Pemerintah memberi kebijakan stimulus bagi para pelaku usaha tekstil. Sebab, kata Charles, industri tekstil juga banyak menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

“Industri tekstil ini kan industri padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja dan berkontribusi besar terhadap PDB (produk domestik bruto). Termasuk perusahaan besar seperti Sritex yang banyak mengekspor produknya ke luar negeri, itu kan menjadi kontribusi pemasukan buat negara,” paparnya.

Charles menyatakan, DPR siap mengawal kebijakan-kebijakan yang mendukung daya saing industri domestik seperti industri tekstil ini. Misalnya dengan pengetatan impor dan insentif bagi produksi lokal.

Terkait hal ini, pengusaha menilai salah satu penyebab banjirnya barang impor adalah karena ada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan pengaturan impor. Pihak pengusaha berharap Pemerintah bisa merevisi aturan ini.

“Pada intinya kita ingin agar industri di dalam negeri, termasuk industri tekstil dapat dijaga dari persaingan tidak sehat. Jadi memang harus ada intervensi yang mendukung dan menjaga iklim industri di Indonesia,” tutup Charles.

Jalan Terjal Sritex Jadi Raksasa

Menurut informasi dari situs resmi perusahaan, Sritex didirikan oleh HM Lukminto pada 1966 sebagai usaha perdagangan di Pasar Klewer, Solo. Pada 1968, Sritex membuka pabrik cetak kain pertama di Solo, memproduksi kain putih dan berwarna. Pada 1978, perusahaan terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan dan mendirikan pabrik tenun pada 1982.

Bisnis Sritex terus berkembang hingga pada 1992, pabrik diperluas di Sukoharjo dengan empat lini produksi dalam satu atap, yakni pemintalan, tenun, sentuhan akhir, dan garmen. Pada 1994, Sritex mulai mengekspor produknya, termasuk menjadi pemasok seragam militer untuk NATO dan angkatan bersenjata Jerman.

Sritex memasok seragam militer untuk 33 negara, dan produknya digunakan oleh merek mode global seperti Guess dan H&M. Di tengah krisis moneter 1997-1998, Sritex tetap bertahan dan mencatatkan pertumbuhan delapan kali lipat pada 2001 dibandingkan 1992. Pada 2013, Sritex mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode SRIL, namun perdagangannya dihentikan sementara sejak 18 Mei 2021.

Hingga Maret 2022, utang Sritex mencapai USD1,62 miliar (sekitar Rp25 triliun). Corporate Secretary Welly Salam menyebut pihaknya tengah melakukan restrukturisasi utang dengan kreditur. Masalah utang Sritex bukan pertama kali terjadi. Pada 1994, Bank Indonesia menginstruksikan bank-bank kreditur untuk melakukan restrukturisasi terhadap kredit yang diberikan kepada perusahaan ini.

Masalah kredit Sritex terungkap dalam rapat kerja antara BI dan Komisi APBN DPR RI pada 3 November 1994, dengan nilai kredit macet disebut mencapai lebih dari Rp1 triliun. Namun, Presiden Direktur Sritex, Muhammad Lukminto, membantah keras angka tersebut dan menyatakan kredit perusahaan jauh di bawah Rp1 triliun.

Di tengah tantangan besar yang dihadapi Sritex kali ini, harapan akan solusi terbaik semakin penting, terutama bagi sekitar 50.000 karyawan yang bergantung pada keberlangsungan perusahaan ini.(*)