Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Alarm Bahaya bagi Perekonomian Indonesia, Angka Pernikahan Menurun

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 01 November 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Alarm Bahaya bagi Perekonomian Indonesia, Angka Pernikahan Menurun

KABARBURSA.COM - Fenomena meningkatnya jumlah penduduk yang memilih tidak menikah merupakan alarm bahaya bagi perekonomian Indonesia.

Sebenarnya, naiknya jumlah penduduk yang tidak ingin menikah tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tapi sudah menjadi tren global.

Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri mengatakan, permasalahan serupa bahkan lebih parah terjadi di negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan (Korsel). Di dua negara ini, tingkat pernikahan dan fertilitas semakin rendah, dipicu oleh stagnasi ekonomi dan rendahnya upah bagi generasi muda.

"Jadi persoalan ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tapi di seluruh dunia," kata Andri kepada Kabar Bursa, Jumat, 1 November 2024.

Khusus di Indonesia, Andri berpandangan, pertumbuhan ekonominya yang masih berada di kisaran 5 persen seharusnya dapat memberikan situasi yang lebih kondusif bagi kelompok muda.

Akan tetapi, jika menelisik lebih dalam ternyata fakta pertumbuhan ekonom Indonesia saat ini sangat bergantung pada sektor-sektor yang kurang menyentuh kehidupan mayoritas pekerja di perkotaan.

"Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sedikit menyentuh kelas pekerja yang sekarang hidup di perkotaan," jelas Andri.

Padahal, lanjut Andri, PDB Indonesia saat ini sebagian besar ditopang oleh konsumsi masyarakat kelas pekerja. "Mereka adalah tulang punggung ekonomi nasional melalui daya beli yang menggerakkan roda konsumsi," ujarnya.

"Sayangnya, kebijakan investasi yang digagas untuk 5-10 tahun ke depan sebagai alternatif penopang perekonomian Indonesia justru malah banyak dialihkan ke sektor-sektor yang minim menyerap tenaga kerja," sambung Andri.

Akibatnya, generasi muda kini menghadapi kondisi ketatnya persaingan di pasar kerja dengan upah yang stagnan dan tidak memadai.

"Ternyata, investasi yang diharapkan tidak memberikan dampak signifikan, bahkan bisa dikatakan tidak dirasakan masyarakat," ungkap Andri.

Kondisi ini semakin diperburuk dengan adanya bonus demografi, yang justru menambah persaingan di pasar tenaga kerja. Andri menilai bahwa rendahnya daya tawar (bargaining power) pekerja mengakibatkan banyaknya generasi muda yang terjebak dalam pekerjaan dengan upah rendah. Gal ini yang juga berimbas pada rendahnya daya beli yang pada akhirnya akan menghambat konsumsi.

"Jumlah mereka sangat banyak sebenarnya. Dalam kondisi seperti ini seharusnya kebijakan pemerintah memfokuskan diri yaitu bagaimana menyejahterakan generasi baru yang jumlahnya sangat banyak ini," tuturnya.

Andri mewanti-wanti, jika tren ini terus berlanjut, maka Indonesia bisa terperangkap dalam kondisi serupa yang dialami negara-negara maju, di mana ekonomi tumbuh stagnan dan rendahnya tingkat pernikahan serta fertilitas menjadi ancaman jangka panjang.

Gejala yang seharusnya hanya terjadi di negara maju, seperti penurunan tingkat pernikahan dan kelahiran, kini menghantui Indonesia yang masih berstatus sebagai negara berkembang.

"Jadi kita sebagai negara yang masih berkembang kok sudah merasakan gejala yang sangat ditakutkan oleh negara-negara maju," kata Andri.

Dia juga menyoroti ketimpangan yang semakin lebar antara kelas atas dan kelas pekerja yang mengakibatkan kenaikan biaya hidup, terutama di sektor properti.

Menurutnya, ketimpangan ini mengancam kesejahteraan generasi muda, yang pada akhirnya berdampak negatif pada perekonomian jangka panjang.

Andri memperingatkan, jika kebijakan ekonomi tidak segera disesuaikan untuk menyejahterakan generasi muda, maka Indonesia bisa saja menyongsong masa depan ekonomi yang melemah. Artinya keinginan membangun keluarga nantinya akan hanya semakin menjadi angan-angan bagi banyak anak muda di tengah beratnya beban hidup.

Empat dari 10 Orang Indonesia tidak ingin Menikah

Diberitakan sebelumnnya, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar empat dari sepuluh warga Indonesia lebih memilih tetap melajang daripada menikah. Ini menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam cara pandang generasi muda terhadap kehidupan pernikahan dan komitmen jangka panjang.

Perubahan ini dipicu oleh berbagai faktor yang mencakup harapan akan kualitas hidup yang lebih baik, baik dari segi kebahagiaan, kesehatan, maupun pendidikan.

Salah satu penyebab utama yang mendorong tren ini adalah tingginya ekspektasi individu terhadap standar kebahagiaan pribadi dan kemandirian.

Bagi banyak orang, kemandirian kini dipandang sebagai salah satu pilar penting untuk mencapai kestabilan ekonomi. Dalam konteks ini, banyak perempuan yang memilih untuk hidup mandiri, sementara sebagian pria merasa kesulitan dalam mencapai kestabilan finansial yang dianggap ideal sebelum memulai sebuah keluarga.

Menurut Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri fenomena meningkatnya jumlah individu yang memilih untuk melajang juga berkaitan erat dengan urbanisasi, yaitu pergeseran masyarakat dari pedesaan ke kota-kota besar.

Urbanisasi, menurutnya, merupakan suatu keniscayaan bagi negara berkembang yang ingin maju. Namun, Andri juga memperingatkan bahwa urbanisasi yang bersamaan dengan bonus demografi bisa membawa dampak besar bagi struktur ekonomi dan pola hidup masyarakat perkotaan.

“Urbanisasi adalah langkah penting bagi negara yang ingin bergerak maju. Namun, ketika proses ini terjadi bersamaan dengan bonus demografi yang dialami Indonesia sejak tahun 2012 dan diperkirakan berlanjut hingga 2030, masyarakat di perkotaan harus berhadapan dengan standar hidup yang lebih tinggi dibanding sebelumnya,” jelas Andri kepada Kabar Bursa, Kamis, 31 Oktober 2024.

Andri menegaskan bahwa generasi baru yang besar dan terkonsentrasi di perkotaan membutuhkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya untuk memenuhi standar hidup yang semakin meningkat.

Tingginya biaya hidup di perkotaan, seperti biaya properti, transportasi, serta kebutuhan pendidikan dan kesehatan, membuat masyarakat perkotaan, terutama generasi muda, merasa tertekan dan lebih memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan tetap melajang.

Andri juga menyoroti bahwa tantangan hidup di perkotaan diperparah oleh inflasi yang terus meningkat dan terbatasnya sumber daya di kota besar. Inflasi tidak hanya berdampak pada harga barang dan jasa, tetapi juga menekan daya beli masyarakat, terutama di sektor properti.

Harga properti di perkotaan terus meroket, jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Sebagai contoh, di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, kenaikan harga properti mencapai 10-20 persen per tahun, jauh melebihi pertumbuhan pendapatan rata-rata masyarakat.

“Dampak dari terbatasnya sumber daya di perkotaan, seperti harga properti yang sangat tinggi, sangat memengaruhi keputusan generasi muda dalam hal pernikahan. Harga rumah yang semakin mahal membuat mereka berpikir ulang tentang kemampuan finansial mereka untuk memulai sebuah keluarga,” ungkap Andri.

Kondisi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa pendapatan masyarakat perkotaan, meskipun meningkat, tidak cukup untuk mengimbangi kenaikan biaya hidup, terutama di kawasan Jabodetabek. Bahkan, untuk dapat mencicil rumah di kawasan tersebut, seseorang harus memiliki pendapatan setidaknya empat hingga enam kali lipat dari Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta.

Andri mencatat bahwa sekitar 25 tahun yang lalu, gaji rata-rata pekerja masih memungkinkan mereka mencicil rumah di perkotaan, namun sekarang situasinya berubah drastis.

“Saat ini, dengan pendapatan bulanan yang ada, tidak cukup bagi banyak orang untuk mencicil rumah di Jabodetabek. Dibandingkan dua dekade lalu, kondisi ini jauh lebih menantang,” ujarnya.

Lebih lanjut, banyak pekerja di kota besar yang masih digaji di bawah UMR, sementara biaya hidup semakin meningkat. Kondisi ini membuat mereka harus mengeluarkan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan sehari-hari seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan kebutuhan rumah tangga. Akibatnya, generasi muda di kota besar merasa lebih sulit untuk mencapai kestabilan finansial yang mereka impikan sebelum memulai kehidupan berkeluarga.

Tantangan ekonomi ini menyebabkan perbedaan signifikan antara kehidupan di perkotaan dan di pedesaan. Di desa, biaya hidup lebih rendah, sehingga satu kepala keluarga masih memungkinkan untuk menafkahi keluarganya secara realistis. Hal ini jauh berbeda dengan perkotaan, di mana dua orang yang bekerja pun sering kali masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

“Di perdesaan, meskipun dari segi pendapatan lebih rendah, biaya hidup masih dapat diatur sedemikian rupa agar kebutuhan keluarga tercukupi. Namun, di kota besar, tekanan biaya hidup jauh lebih tinggi, sehingga banyak orang yang enggan untuk menikah dan memiliki anak dalam kondisi keuangan yang belum mapan,” jelas Andri.

Selain itu, Andri menegaskan bahwa urbanisasi yang mendorong banyak masyarakat untuk menetap di kota-kota besar telah menciptakan ketimpangan antara pertumbuhan pendapatan dan kenaikan biaya hidup. Kondisi ini membuat banyak orang berpikir ulang untuk menikah atau memulai keluarga di kota besar, terutama bagi mereka yang belum memiliki kestabilan ekonomi.

“Jadi, jika kita melihat urbanisasi sebagai faktor utama, maka ketimpangan antara pertumbuhan pendapatan dengan kenaikan biaya hidup di perkotaan ini benar-benar terasa, terutama bagi generasi muda yang berusaha untuk mandiri secara finansial,” terang Andri.

Selain tekanan ekonomi, muncul juga perubahan budaya dan cara pandang terhadap konsep kebahagiaan dan kesuksesan hidup. Banyak anak muda yang kini memandang kesuksesan hidup tidak hanya dari status pernikahan, tetapi juga dari pencapaian personal, seperti keberhasilan dalam karier, pendidikan yang tinggi, dan kemampuan untuk hidup mandiri tanpa bergantung pada pasangan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain. Dengan meningkatnya akses informasi dan terjadinya globalisasi, generasi muda semakin terpapar dengan budaya dan gaya hidup yang lebih individualistik. Mereka menyaksikan bagaimana kehidupan mandiri dapat membawa kebahagiaan yang sama, atau bahkan lebih, dibandingkan hidup berkeluarga.

Secara keseluruhan, tren melajang ini mencerminkan perubahan sosial yang kompleks di Indonesia. Tekanan ekonomi, urbanisasi, serta perubahan cara pandang terhadap kehidupan dan kebahagiaan menjadi faktor yang mendorong keputusan banyak orang untuk tetap melajang.

Meski bagi sebagian orang, pilihan ini mungkin tampak tidak biasa, tetapi bagi banyak generasi muda, melajang kini dianggap sebagai pilihan hidup yang valid dan bisa memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan diri secara optimal sebelum memasuki fase kehidupan yang lebih berkomitmen. (*)