KABARBURSA.COM - Masih berdiri tembok penghalang di hadapan Indonesia yang telah menatap kemandirian industri sehingga menghambat kemajuan nasional. Dinding ini timbul dan bertahan di balik potensi besar sumber daya alam (SDA) Tanah Air.
Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng melihat sebuah mitos tentang Indonesia hanya menjadi penyedia bahan baku mentah untuk negara lain. Dengan begini, anggapan Indonesia tidak mungkin menjadi negara industri menjadi sebuah dogma yang telah tertanam sejak lama.
"Paradigma ini menciptakan pola pikir bahwa tidak perlu ada upaya industrialisasi di sini, semua SDA seakan-akan hanya perlu dikeruk dan diekspor," kata Salamuddin dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 1 November 2024.
Apalagi, pemikiran bahwa Indonesia akan mengganggu negara industri maju seperti China, Jepang, dan Amerika Serikat. Ini terjadi ketika negara mengolah bahan mentah menjadi produk jadi.
“Jika kita mulai produksi sendiri, katanya negara lain bisa rusuh karena banyak pengangguran. Ini mitos yang diyakini oleh sebagian pengurus ekonomi kita,” ujar Salamuddin.
Salamuddin menyoroti, Indonesia sebenarnya memiliki sejarah industri yang cukup panjang. Dari sektor tembakau yang diperkenalkan pada abad ke-17 hingga menjadi salah satu pemain utama dunia saat ini, hingga industri minyak yang berkembang sejak tahun 1871.
“Indonesia menjadi pionir di sektor minyak dengan berdirinya Bataafsche Petroleum Maatschappij di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara pada akhir abad ke-19,” jelasnya.
Industri manufaktur di Indonesia pada masa kolonial juga berjalan bersamaan dengan perkembangan industri di Barat. Sejarah panjang tersebut membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan yang mumpuni dalam pengelolaan industri, namun sering kali terganjal oleh kepentingan luar serta kebijakan internal yang menghambat.
Ketergantungan Indonesia pada impor bahan bakar dan produk manufaktur menunjukkan betapa lemahnya struktur industri dalam negeri. Berdasarkan data terbaru, impor terbesar Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar seperti petroleum refining dan crude petroleum yang mencapai nilai miliaran dolar.
Ketergantungan ini, menurut Salamuddin, semakin memperkuat mitos bahwa Indonesia tidak bisa mandiri dalam sektor industri.
“Industri kita didesain sedemikian rupa untuk terus berada dalam jalur deindustrialisasi. Pemikiran-pemikiran yang mendorong industrialisasi seakan terus dibisukan oleh para pengurus negara melalui program-program yang tidak konsisten,” tegasnya.
Salamuddin Daeng melihat ada harapan dari upaya yang dilakukan dalam sektor industri kendaraan taktis, seperti Maung yang diluncurkan oleh PT Pindad. Kendaraan ini menjadi simbol keyakinan bahwa Indonesia mampu membangun produk industri secara mandiri.
“Maung ini bukan sekadar mobil. Ini adalah bukti kapasitas kita sebagai bangsa. Ini adalah simbol bangkitnya keyakinan Indonesia, bahwa kita tidak harus terus bergantung pada negara lain. Ini adalah bentuk kesadaran baru bahwa kita memiliki potensi industri,” pungkas Salamuddin.
Di sisi lain, Indonesia menghadapi sejumlah persoalan dalam upaya mendorong industrialisasi, di antaranya adalah keterbatasan infrastruktur, masalah logistik, serta pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Ketua Pengembangan Industri Logam dan Alat Transportasi Apindo I Made Dana Tangkas mengatakan masih ada sekitar 40 persen wilayah Indonesia yang mengalami kekurangan akses terhadap infrastruktur dasar.
“Ini merupakan tantangan besar dalam mendorong industrialisasi, terutama dalam hal infrastruktur dan logistik,” kata I Made Dana dalam Seminar Nasional bertema ‘Urgensi Industrialisasi untuk Mencapai Pertumbuhan 8 persen’, Rabu, 16 Oktober 2024.
Menurut laporan dari World Economic Forum, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 141 negara terkait kesiapan teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global.
Made juga menyinggung soal proses industrialisasi di Indonesia yang terhambat dikarenakan adanya regulasi yang tumpang tindih. “Ini perlu diubah untuk memperbaiki situasi ke depan,” ujarnya.
Selain itu, ketidakpastian ekonomi global juga menjadi faktor penghambat, memengaruhi rantai pasokan dan menambah tekanan untuk mengurangi emisi karbon sambil tetap meningkatkan kapasitas industri.
Menurut Made, semua faktor tersebut berdampak signifikan terhadap efisiensi produksi serta daya saing industri Indonesia.
Namun, meskipun menghadapi tantangan, Indonesia memiliki potensi besar yang berasal dari bonus demografi. Diperkirakan pada tahun 2030, sekitar 70 persen populasi Indonesia akan berada di usia produktif.
Potensi ini bisa dimanfaatkan jika didukung oleh investasi yang tepat dalam pengembangan SDM. Selain itu, transformasi digital dan adopsi Industri 4.0 diharapkan dapat membuka peluang baru dalam pengembangan industri di Tanah Air.
Dalam konteks ini, Ekonom Senior dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini, menegaskan pentingnya penguatan industri manufaktur di masa depan.
“Industri manufaktur berfungsi sebagai penggerak, atau jangkarnya. Sektor-sektor industri lainnya pasti akan mengikuti dan berkembang,” tuturnya.
Oleh karena itu, langkah-langkah strategis harus diambil untuk mengatasi berbagai tantangan ini. Penguatan infrastruktur dan sistem logistik harus menjadi prioritas, mengingat keduanya adalah fondasi penting untuk kelancaran proses industrialisasi.
Dengan perbaikan infrastruktur, diharapkan akses ke pasar dapat lebih baik, sehingga memfasilitasi pertumbuhan industri yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Selain itu, regulasi yang lebih transparan dan tidak tumpang tindih sangat diperlukan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif. Dengan demikian, pelaku industri akan lebih terdorong untuk berinvestasi dan berinovasi.
Lebih jauh lagi, peningkatan keterampilan SDM juga menjadi kunci. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan yang relevan akan mempersiapkan tenaga kerja untuk menghadapi tantangan era industri 4.0. Pelatihan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri akan memastikan bahwa SDM Indonesia mampu bersaing di pasar global.
Digitalisasi juga menawarkan peluang besar. Dengan adopsi teknologi canggih, perusahaan dapat meningkatkan efisiensi operasional dan daya saing produk. Transformasi digital tidak hanya akan membantu dalam meningkatkan produktivitas, tetapi juga memungkinkan perusahaan untuk menjangkau pasar yang lebih luas. (*)