Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

15 Bank Kakap Biayai Perusahaan Sawit Bermasalah, ini Daftarnya: OJK Mana?

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 01 November 2024 | Penulis: Citra Dara Vresti Trisna | Editor: Redaksi
15 Bank Kakap Biayai Perusahaan Sawit Bermasalah, ini Daftarnya: OJK Mana?

KABARBURSA.COM – Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia mengungkapkan, sejak tahun 2016 sampai periode Juni 2024, sejumlah perusahaan sawit di Indonesia terus mendapat suntikan dana jumbo dari sejumlah bank luar negeri dan dalam negeri.

Tidak tanggung-tanggung, total pinjaman bank tersebut mencapai USD11,07 miliar atau Rp157,8 triliun.

Direktur TuK Indonesia Linda Rosalina mengungkapkan bahwa besaran modal pinjaman dari sejumlah bank tersebut jumlahnya hampir 18 kali lipat dari APBD Kalimantan Tengah yang notabene menjadi tempat 6 taipan di sektor sawit menjalankan bisnisnya.

Linda menuturkan, besaran pinjaman yang masuk per tahunnya fluktuatif. Pada tahun 2016 modal yang masuk untuk sektor sawit sebesar Rp25,5 triliun dan meningkat pada tahun 2017 dengan besaran Rp28 triliun.

Berdasarkan temuan TuK, pada tahun 2017-2021 terjadi penambahan luasan kebun sawit yang cukup signifikan di Kalimantan Tengah, yakni sebear 800 ribu hektare.

“Jadi memang ada ekspansi sawit yang tinggi seiring pembiayaannya juga bertambah,” kata Linda dalam konferensi pers dan peluncuran laporan Di Balik Tragedi Berdarah Bangkal Seruyan: Di Negeri Kami Sawit Lebih Mahal dari Nyawa Manusia, di Jakarta, dikutip Kamis, 31 Oktober 2024.

Pada tahun 2018, terjadi penurunan pinjaman dari bank ke perusahaan sawit menjadi Rp19,4 triliun, pada tahun 2019 sebesar Rp16 triliun dan pada tahun 2020 sebesar Rp14,1 triliun. Berdasarkan analisa TuK, penurunan terjadi karena pinjaman yang masuk pada tahun 2016 dan 2017 sudah tinggi sehingga melampaui batas kredit.

“Makanya di tahun-tahun setelahnya itu jadi turun. Tapi kalau kita cek di 2021 ini (pinjaman) tinggi lagi. Selain itu juga sebenarnya di tahun 2020 kita mengalami Covid. Makanya, dugaan kami juga banyak uang yang tertahan belum dikasih,” jelasnya.

Ketika ekonomi kembali stabil di tahun 2021, terjadi lonjakan jumlah pinjaman, yakni sebesar Rp21,4 triliun. Kemudian jumlah pinjaman kembali turun pada tahun 2022 dan 2023 masing-masing menjadi Rp13,7 triliun dan Rp7,2 triliun. Menurutnya, besaran pinjaman pada tahun 2024 karena hitungannya hanya sampai Juni 2024.

Kreditur Sektor Sawit

Berdasarkan dari data TuK Indonesia, terdapat 15 kreditor teratas yang membiayai taipan sawit di Indonesia selama tahun 2016 sampai Juni 2024.

Dari besaran kredit yang masuk, 68 persennya atau sebesar Rp107,3 triliun berasal dari bank-bank internasional dan 32 persen atau sebesar Rp50,5 triliun sisanya dari Indonesia.

  1. Groupe BPCE (Prancis) sebesar 0,17 persen
  2. DBS (Singapura) sebesar 0,21 persen
  3. United Overseas Bank (Singapura) sebesar 0,21 persen
  4. ABN Amro (Netherlands) sebesar 0,25 persen
  5. China Development Bank (China) sebesar 0,26 persen
  6. Fubon Financial (Taiwan) sebesar 0,29 persen
  7. HSBC (United Kingdom) sebesar 0,30 persen
  8. Oversea-Chinese Banking Corporation sebesar 0,34 persen
  9. CIMB Group (Malaysia) sebesar 0,50 persen
  10. Bank Central Asia (Indonesia) sebesar 0,56 persen
  11. Rabobank (Netherlands) sebesar 0,89 persen
  12. Mitsubishi UFJ Financial (Japan) sebesar 0,97 persen
  13. Bank Negara Indonesia (Indonesia) sebesar 1,09 persen
  14. Malayan Banking (Malaysia) sebesar 1,12 persen
  15. Bank Panin (Indonesia) sebesar 1,33 persen

Linda mengaku sangat menyayangkan mengapa pinjaman kepada perusahaan perusak lingkungan terus diberikan kepada perusahaan-perusahaan sawit yang bermasalah atau tidak sustainable.

Berdasarkan temuan TuK Indonesia, dari 15 kreditur teratas tersebut BNI menjadi salah satu kreditur terbesar yang membiayai sektor sawit. Karena, Winarno Cahyadi menjadi salah satu pemilik PT Best Agro International juga merupakan salah satu pemilik saham perorangan di Bank BNI sejak 2020-2023.

Crazy rich Surabaya ini memiliki jumlah lembar saham yang terus meningkat, dari 189,707,400 lembar saham pada 2020 atau sebesar 1,02 persen dan meningkat menjadi 678,000,000 lembar saham pada tahun 2023 atau sebesar 1,82 persen. Artinya, Winarno Cahyadi menguasai lebih dari Rp4 triliun saham BNI.

Diketahui Winarno Cahyadi juga menjadi pihak yang mengendalikan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) yang berkonflik dengan warga hingga menewaskan satu petani di Desa Bangkal Seruyan akibat persoalan plasma. Perusahaan ini juga diduga terlibat bisnis keamanan, pelanggaran izin, dan melakukan pencemaran lingkungan.

Di sisi lain, perusahaan ini mengklaim telah menjadi perusahaan sawit yang sustainable karena memiliki sertifikat ISPO dan PROPER. Sementara Linda menyebut sertifikat tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia

Linda mendesak pemerintah lebih tegas kepada perusahaan yang terbukti melakukan berbagai pelanggaran. Namun, ia menyayangkan pihak Otoritas Jasa Keuangan juga berpotensi mengaburkan klasifikasi perusahaan perusak lingkungan dengan hanya memberikan dua predikat hijau dan transisi di dalam Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI).

Padahal sebelumnya, OJK punya klasifikasi yang lebih jelas terkait status perusahaan dengan menggolongkan perusahaan menjadi tiga, yakni hijau, kuning dan merah di Taksonomi Hijau Indonesia.

Ia mendesak agar OJK dapat lebih tegas dalam memberikan sanksi administrative kepada bank yang terleibat, termasuk denda atau pembatasan aktivitas tertentu. OJK juga dituntut melakukan pembinaan kepada pihak bank agar lebih memahami pentingnya menerapkan prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab sosial. OJK juga diminta meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan bank dalam memberikan pembiayaan, terutama terhadap sektor-sektor yang berisiko tinggi terhadap pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan.

Ia juga mendorong pihak OJK untuk dapat menegakkan kebijakan yang mengharuskan bank untuk melakukan due dilligence sebelum memberikan pembiayaan serta mendorong pihak bank lebih transparan dalam laporan keuangan dan dampak sosial lingkungan dari proyek yang dibiayai.

Selain itu, OJK juga diminta dapat bekerja sama dengan lembaga lain seperti KLH, Kemenhut, Kementan, BPN dan masyarakat sipil guna menangani persoalan keberlanjutan serta menyediakan sistem pengaduan yang transparan bagi masyarakat yang terkena dampak pelanggaran oleh nasabah bank.(*)