KABARBURSA.COM - Sejumlah ekonom memperkirakan, Indonesia kemungkinan akan mengalami inflasi pertamanya dalam enam bulan terakhir, pada Oktober 2024, setelah melalui tren deflasi beruntun sejak Mei 2024.
Inflasi pada bulan ini diperkirakan akan melandai pada angka 1,61 persen secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dibandingkan inflasi September 2024 yang berada di angka 1,84 persen YoY.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Center Of Reform On Economics (CORE) Mohammad Faisal, tanda terjadinya inflasi pada Oktober 2024, belum terlihat. Justru, ada kemungkinan Indonesia akan mengalami deflasi kembali.
"Kalau dari saya, sebetulnya potensi deflasi itu masih sangat mungkin terjadi di bulan Oktober ya, dibandingkan dengan inflasi. Walaupun mungkin dari angka deflasinya dibandingkan dengan September akan lebih tipis," kata Faisal kepada Kabarbursa.com, Kamis, 31 Oktober 2024.
Dia beralasan, dilihat dari pergerakan secara tahunan, memang biasanya Oktober adalah bulan-bulan yang sangat rendah terjadi inflasi dibandingkan bulan-bulan lainnya. Jadi, apabila dalam lima bulan sebelumnya terjadi deflasi, kemungkinan besar akan terjadi hal yang sama pada Oktober ini.
"Pola tahunannya seperti itu. Karena kalau tidak salah, yang September itu deflasi 0,12 ya, ini mungkin lebih tipis. Tapi tetap berpeluang terjadi deflasi," tegasnya.
Inflasi, lanjut dia, memang bisa saja terjadi asalkan ada faktor lain yang mendorong, yang di luar dari faktor kebiasaan pola tahunan. Tetapi, hal itu sangat mustahil terjadi. Inflasi justru akan muncul di bulan berikutnya, yaitu November 2024.
"Jadi, kemungkinan dari volatile food-nya ada deflasi di beberapa jenis komoditas atau beberapa jenis bahan pangan. Sementara, inflasi dari sisi administered prices itu juga belum ada yang meningkat harga-harganya sampai dengan bulan Oktober. Mungkin yang mendorong inflasi baru dari inflasi inti," tutup Faisal.
Berdasarkan proyeksi dari para ekonom, inflasi pada bulan ini diperkirakan akan melandai pada angka 1,61 persen secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dibandingkan inflasi September 2024 yang berada di angka 1,84 persen YoY.
Deflasi yang terjadi selama lima bulan terakhir menjadi perhatian utama di sektor ekonomi, terutama menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo. Kondisi ini tidak hanya mencatat tren deflasi terpanjang sejak era Krisis Moneter 1997-1998, tetapi juga memicu kekhawatiran akan melemahnya daya beli masyarakat.
Jika inflasi kembali tercatat pada Oktober 2024, hal ini dapat menjadi sinyal positif awal bagi pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto, yang resmi dilantik pada 20 Oktober 2024.
Penurunan inflasi selama beberapa bulan terakhir sebagian besar disebabkan oleh penurunan harga pangan, terutama komoditas seperti cabai merah dan cabai rawit.
Ekonom Ciptadana Sekuritas Asia, Renno Prawira, menyebutkan bahwa harga cabai merah turun sebesar 7 persen dan cabai rawit turun 11 persen secara bulanan. Penurunan harga ini berkontribusi besar dalam mengurangi tekanan inflasi di sektor pangan.
Kepala Ekonom Bank Maybank Indonesia Juniman, juga mencatat bahwa harga berbagai komoditas pangan seperti beras, bawang, kedelai, dan daging sapi mengalami tren penurunan sepanjang Oktober 2024.
Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga cabai merah turun dari Rp36.000 per kg pada 30 September menjadi Rp33.450 per kg pada 30 Oktober 2024.
Selain sektor pangan, sektor transportasi juga memberikan kontribusi positif dalam menekan inflasi. Penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi turut memperlambat laju kenaikan harga di sektor ini.
Pertamina, Shell Indonesia, BP-AKR, dan PT Vivo Energy Indonesia menurunkan harga BBM pada awal Oktober 2024. Di wilayah DKI Jakarta, harga Pertamax turun dari Rp12.950 menjadi Rp12.100 per liter, sementara Pertamax Turbo turun dari Rp14.475 menjadi Rp13.250 per liter. Penurunan harga juga tercatat pada produk Dexlite dan Pertamina DEX.
Penurunan harga BBM ini diharapkan akan menekan inflasi pada sektor transportasi, terutama setelah harga tiket pesawat turun sebesar 9,5 persen secara bulanan.
Meskipun sejumlah faktor menunjukkan adanya potensi tekanan inflasi yang mereda, tantangan masih tetap ada, terutama dari sisi nilai tukar rupiah.
Depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang mencapai 3,7 persen mtm pada Oktober 2024, dengan nilai tukar mencapai Rp15.710/USD, dapat memicu inflasi impor atau imported inflation. Depresiasi ini akan meningkatkan biaya impor barang dan bahan baku, yang pada akhirnya dapat mendorong naiknya harga barang-barang di dalam negeri.
Secara keseluruhan, meskipun inflasi diprediksi melandai secara tahunan, kembalinya inflasi bulanan pada Oktober 2024 menandakan potensi stabilisasi ekonomi setelah periode panjang deflasi.
Penurunan harga pangan dan BBM memberikan ruang bagi perekonomian untuk pulih, tetapi tantangan dari depresiasi rupiah tetap perlu diwaspadai. Jika inflasi bulan Oktober benar-benar tercatat, ini bisa menjadi langkah awal bagi pemerintahan baru dalam mengelola stabilitas ekonomi di tengah perubahan politik dan ekonomi global.(*)