Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

AS Diambang Perpecahan Jelang Pemilu, Negara Bagian Ingin Memisahkan Diri

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 29 October 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
AS Diambang Perpecahan Jelang Pemilu, Negara Bagian Ingin Memisahkan Diri

KABARBURSA.COM - Ketua Gerakan Nasionalis Texas, Daniel Miller, mengungkapkan sekitar 25 negara bagian kini siap untuk berpisah dari Amerika Serikat (AS). Sentimen pemisahan ini dipicu kembali oleh sengketa integritas pemilu 2020 yang semakin menguat menjelang Pemilu AS mendatang, terutama di tengah krisis perbatasan selatan. Gerakan Nasionalis Texas yang mendorong agar Texas berpisah dari Amerika kini semakin mendapatkan momentum.

Kolumnis Newsmax dan komentator politik konservatif AS, Michael Shannon, mengatakan pemisahan ini didorong oleh campur tangan berlebihan dari pemerintahan Biden-Harris, mulai dari upaya hukum terhadap Trump hingga propaganda transgender yang dianggapnya memecah belah. Shannon menyebut kebijakan seperti ini diikuti dengan mandat pemerintah federal agar pria yang mengidentifikasi sebagai wanita dapat bertanding dalam olahraga wanita, penangkapan terhadap pengunjuk rasa anti-aborsi, serta perburuan politik terhadap peserta kerusuhan 6 Januari yang bahkan merambah hingga ke para lansia.

“(Ini) menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi Partai Republik, kaum konservatif, dan independen yang masih menghormati hukum,” kata Shannon, dikutip dari Sputnik, Selasa, 29 Oktober 2024.

Meski Shannon memperkirakan pemisahan Texas mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat, ia tak menutup kemungkinan beberapa negara bagian berhaluan merah akan berupaya meninggalkan AS jika Kamala Harris memenangkan pemilu. “Jika perpecahan nyata terjadi, kemungkinan akan dimulai dengan Ron DeSantis di Florida yang menolak bekerjasama dengan lembaga federal,” ujarnya.

Berdasarkan jajak pendapat YouGov Februari lalu, sekitar 23 persen warga Amerika mendukung pemisahan negara bagian mereka dari AS, sementara 28 persen mendukung jika negara bagian lain berpisah. Sebanyak 51 persen warga menolak tegas pemisahan, sedangkan 27 persen sisanya belum memiliki kepastian.

Data survei lainnya menunjukkan perpecahan nasional terjadi sepanjang garis partai, dengan perbedaan yang mencolok antara pandangan Demokrat dan Republik saat ini dibandingkan satu dekade lalu. Februari lalu, anggota parlemen dari Partai Republik, Marjorie Taylor Greene, bahkan menyerukan ‘perceraian nasional’ antara negara bagian Demokrat dan Republik.

Mampukah Pemenang Pemilu Merajut Persatuan?

Profesor ilmu politik dari Universitas Florida Tengah, Aubrey Jewett, mengatakan persaingan ketat antara Trump dan Harris membuat negara hampir terbelah dua. Menurutnya, siapapun yang menang, hampir setengah dari populasi AS akan kecewa berat. “Jika Trump menang, hampir 50 persen dari negara ini, yaitu kaum Demokrat, akan sangat kecewa,” ungkap Jewett.

“Begitu juga jika Kamala Harris menang, pendukung Trump dari Partai Republik akan sangat kecewa,” imbuhnya.

Pertanyannya, kata Jewett, adalah apakah pemenang nanti akan berusaha merangkul seluruh rakyat atau justru membuat setengah dari pemilih tetap merasa terasing. Ia mencatat adanya perbedaan besar antara negara bagian Demokrat dan Republik saat ini. “Kita harus lihat bagaimana pemimpin dari kedua pihak bereaksi. Jika keduanya menunjukkan sikap sportif, mungkin perpecahan partisan takkan terlalu buruk,” katanya.

Namun sebaliknya, Jewett melanjutkan, jika pemenang justru menonjolkan kemenangan dan hanya mewakili pendukungnya saja, itu tidak baik bagi masyarakat Amerika secara keseluruhan. Ia pun memperingatkan perpecahan partisan ini berpotensi memburuk dalam jangka panjang.

Pilpres Memperburuk Polarisasi di AS

Pengamat politik konservatif Michael Shannon mengatakan kemenangan salah satu kandidat pilpres berpotensi semakin memecah belah negara. Shannon menilai ada dua faktor yang menjadi penyebabnya.

Pertama, Trump harus menang dengan selisih yang cukup besar untuk menghindari kecurangan. Koalisi Trump sudah membicarakan soal waktu 10 atau 12 hari untuk menghitung semua suara. Menurut Shannon, hal itu dilakukan jika ada upaya untuk mencuri kemenangan pada Pemilu AS.

“Faktor kedua adalah apakah kaum kiri bisa menerima kekalahan,” kata Shannon.

Menurut Shannon, Partai Demokrat telah mengambil langkah ekstrem dengan menyamakan Trump dengan Hitler dan menyebutnya sebagai ancaman bagi demokrasi. Retorika ini, menurutnya, bisa memicu ketidaktaatan sipil dan protes jika Trump menang. “Jika mereka mengerahkan perusuh dan kelompok antifa seperti yang terjadi saat kematian George Floyd, maka akan ada kerusuhan, tetapi hanya di negara bagian berhaluan biru. Bukan di negara bagian merah. Jadi, Trump harus mengambil keputusan. Apakah dia akan membiarkan negara bagian biru terbakar, atau turun tangan untuk menghentikan itu?,” ujarnya.

Shannon menambahkan, dengan tingkat ketidakpercayaan terhadap proses pemilu dan polarisasi yang semakin mendalam di masyarakat AS, kemungkinan adanya peralihan kekuasaan yang damai tetap menjadi tanda tanya besar.

Swing States Tentukan Pemenang

Pemilihan presiden Amerika Serikat tinggal menghitung hari, atau sekitar seminggu lagi. Siapa pun yang menang, baik Kamala Harris maupun Donald Trump, akan memimpin negara dengan populasi 330 juta jiwa. Namun, yang menarik, hasil Pilpres AS tahun ini bisa jadi diputuskan oleh hanya puluhan ribu pemilih di beberapa negara bagian kunci atau swing states.

Mengutip Reuters, survei publik menunjukkan hanya ada tujuh dari 50 negara bagian yang benar-benar kompetitif kali ini, sementara negara bagian lainnya sudah dikuasai oleh Partai Demokrat atau Republik. Swing states, yang sering disebut medan pertempuran suara, berperan besar dalam menentukan hasil pemilu nasional karena tidak ada partai yang mendominasi dukungan di wilayah-wilayah ini.

Tahun ini, tujuh negara bagian yang menjadi pusat perhatian adalah Arizona, Georgia, Michigan, Nevada, North Carolina, Pennsylvania, dan Wisconsin. Di antara ketujuh negara bagian ini, Pennsylvania menjadi medan pertempuran paling krusial yang bisa menentukan apakah Kamala Harris dari Demokrat atau Donald Trump dari Republik yang akan duduk di kursi presiden.

Strategi kampanye kedua kandidat menunjukkan fokus mereka pada swing states ini, dengan sebagian besar anggaran iklan dan acara kampanye terpusat di tujuh wilayah tersebut. Michigan, Pennsylvania, dan Wisconsin sebelumnya dikenal sebagai “benteng biru” Demokrat selama beberapa dekade. Namun, kemenangan tipis Trump di ketiga negara bagian itu pada 2016 mengantarnya ke Gedung Putih. Ini mengejutkan banyak pihak yang memperkirakan Hillary Clinton akan menang.

Empat tahun kemudian, Joe Biden berhasil membalik keadaan dengan merebut kembali Michigan, Wisconsin, dan Pennsylvania untuk Demokrat. Selain itu, dia juga mencetak kemenangan tak terduga di Georgia dan Arizona, yang secara tradisional menjadi basis kuat Partai Republik.

Sejumlah survei menunjukkan Kamala Harris unggul tipis dari Trump. Jajak pendapat terbaru dari Reuters/Ipsos mencatat Harris unggul tipis tiga persen, dengan 45 persen suara dibandingkan Trump yang mendapat 42 persen. Begitu juga dalam survei nasional 538/ABC News, Harris unggul dengan 49 persen, sementara Trump mengumpulkan 46 persen.(*)