Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pailitnya Sritex dan Potret Ketimpangan Upah Buruh Tekstil RI di Panggung Dunia

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 28 October 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Pailitnya Sritex dan Potret Ketimpangan Upah Buruh Tekstil RI di Panggung Dunia

KABARBURSA.COM - Berita pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, perusahaan tekstil raksasa asal Sukoharjo, Jawa Tengah, menyedot perhatian publik. Kasus ini tak hanya menyoroti persoalan internal perusahaan, tetapi juga membuka tabir ketimpangan upah buruh di Indonesia dibandingkan negara lain. Dengan upah minimum yang relatif rendah, nasib para pekerja tekstil di Indonesia kini terancam semakin rentan di tengah krisis yang melanda industri ini.

Upah Minimum Indonesia di Tengah Persaingan Global

Berdasarkan data yang dihimpun dari minimum-wage.org, perbandingan upah minimum pekerja tekstil di berbagai negara menunjukkan kesenjangan yang mencolok. Pada 2019, buruh tekstil di Belgia menerima upah tertinggi sebesar USD1.764 per bulan. Sementara itu, di Amerika Serikat, upah minimum mencapai USD1.160, diikuti Jepang sebesar USD1.203, dan Korea Selatan sebesar USD1.518.

Di sisi lain, Indonesia hanya berada pada level USD181 per bulan, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara maju tersebut. Angka ini pun menempatkan Indonesia berada pada urutan 28 secara global. Bahkan di Asia, upah buruh tekstil Indonesia kalah dari negara seperti Filipina (USD200) dan China (USD217). Situasi ini menunjukkan meskipun Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan biaya tenaga kerja murah, ternyata sejalan dengan upah buruh tekstilnya yang berada di posisi terbawah secara global.

[caption id="attachment_95452" align="alignnone" width="680"] Data menunjukkan perbedaan signifikan dalam upah minimum pekerja tekstil di seluruh dunia. Sementara Belgia memimpin dengan upah USD1.764 per bulan, Indonesia berada di posisi lebih rendah dengan upah hanya USD181 per bulan, jauh di bawah rata-rata global USD470. Kesenjangan ini menyoroti tantangan yang dihadapi buruh tekstil Indonesia dalam menghadapi standar hidup yang layak di tengah persaingan global.[/caption]

Selain itu, beberapa negara yang juga mengandalkan industri tekstil sebagai salah satu sektor utama memiliki upah yang lebih tinggi dari Indonesia. Thailand, misalnya, memberikan upah sebesar USD310 per bulan, sedangkan Turki di level USD352 dan Kolombia di angka USD275. Data ini menggambarkan bagaimana pekerja tekstil di Indonesia menerima upah jauh di bawah standar internasional, meskipun sektor ini menjadi tulang punggung ekspor negara.

Rasio Upah Minimum terhadap Upah Layak: Indonesia yang Tertinggi

Menariknya, meski upah buruh Indonesia nominalnya tergolong rendah, persentasenya terhadap upah layak justru yang tertinggi di dunia. Berdasarkan data dari International Labour Organization (ILO), upah buruh Indonesia mencapai 174 persen dari upah layak yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar di dalam negeri. Hal ini membuat upah minimum di Indonesia terlihat “tinggi” jika dilihat dari sudut pandang daya beli lokal.

Namun, kondisi ini justru menjadi ironi. Meski persentasenya terhadap upah layak tinggi, nominal upah tetap rendah dan tidak cukup untuk menciptakan kesejahteraan bagi para buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyoroti rendahnya upah minimum di Indonesia menempatkan pekerja tekstil dalam situasi yang rentan. "Upah buruh di Sritex bahkan merupakan yang terendah di dunia," tegasnya dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com, Ahad, 27 Oktober 2024.

[caption id="attachment_95453" align="alignnone" width="680"] Indonesia menempati posisi teratas dengan upah minimum pekerja tekstik yang mencapai 174 persen dari upah layak lokal, menunjukkan bahwa meski nominal upahnya rendah, persentasenya tertinggi terhadap standar hidup layak. Hal ini kontras dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, di mana upah minimum hanya sekitar 70 persen dari upah layak, dan Ethiopia yang terendah di 19 persen. Data ini menggarisbawahi ketimpangan yang ada dan tantangan dalam mencapai kesejahteraan buruh tekstil di berbagai negara.[/caption]

Iqbal juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak memadai dalam mendukung industri tekstil nasional. Ia menilai daya beli masyarakat yang menurun turut berkontribusi pada penurunan kinerja sektor ini. Menurutnya, daya beli yang terus menurun akibat kebijakan upah yang tidak memadai selama tiga tahun terakhir, terutama sejak pemberlakuan Omnibus Law, menjadi salah satu faktor utama runtuhnya industri tekstil.

Belajar dari Kasus Sritex

Ketimpangan upah ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan buruh, tetapi juga pada stabilitas industri tekstil itu sendiri. Kasus pailitnya Sritex menjadi bukti bahwa kebijakan upah rendah tidak menjamin keberlanjutan industri dalam jangka panjang. Dalam situasi ini, Sritex yang pernah menjadi salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia terpaksa merumahkan pekerja sebagai langkah efisiensi di tengah utang yang semakin menumpuk.

Menurut Iqbal, penyebab utama pailitnya Sritex bukanlah kenaikan upah, melainkan lemahnya kebijakan proteksi terhadap industri dalam negeri. Kebijakan impor yang tidak terkendali telah memukul telak industri tekstil lokal sehingga tidak mampu bersaing dengan produk asing. “Runtuhnya industri tekstil di Indonesia bukan disebabkan oleh kenaikan upah minimum, melainkan oleh turunnya daya beli dan impor produk dari China,” ungkapnya.

Selain itu, krisis yang dialami Sritex juga memperlihatkan biaya upah murah bukan satu-satunya solusi untuk meningkatkan daya saing. Negara seperti Vietnam, yang menjadi pemasok utama tekstil ke pasar Amerika Serikat, memiliki upah yang sedikit lebih tinggi dari Indonesia, yakni USD151 per bulan, namun didukung dengan infrastruktur dan kebijakan yang lebih matang. Hal ini memungkinkan Vietnam untuk bersaing di pasar internasional meski upah pekerjanya tidak terlalu rendah.

Seruan untuk Kebijakan yang Adil

Melihat kondisi ini, KSPI mendesak pemerintah untuk melakukan intervensi dalam menyelamatkan industri tekstil dan melindungi hak-hak pekerja. Mereka mendesak Dinas Tenaga Kerja Sukoharjo dan dinas lainnya untuk menolak PHK yang diajukan oleh Sritex. Selain itu, KSPI juga meminta agar buruh yang dirumahkan tetap mendapat upah sesuai aturan yang berlaku.

Dalam upaya advokasi ini, KSPI telah mendirikan Posko Orange di Sukoharjo dan Semarang untuk membantu para buruh Sritex yang terdampak. Organisasi ini menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan ini, termasuk dengan memberikan dana talangan untuk menyelamatkan Sritex dari pailit.

Iqbal juga menegaskan langkah pemerintah dalam menjaga stabilitas industri tekstil sangat penting untuk menghindari krisis serupa di masa depan. “Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan, KSPI dan Partai Buruh siap terjun langsung membantu karyawan Sritex,” tegasnya.

Kasus Sritex ini menjadi refleksi dari ketimpangan upah buruh tekstil Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Meskipun upah buruh tekstil di Indonesia secara nominal sangat rendah, rasio terhadap upah layak tergolong tinggi, menimbulkan paradoks tersendiri dalam konteks kesejahteraan buruh. Di sisi lain, rendahnya upah bukan jaminan keberlanjutan industri. Kebutuhan akan kebijakan yang lebih protektif, seperti kontrol impor dan peningkatan daya beli masyarakat, menjadi semakin mendesak untuk menjaga stabilitas sektor tekstil nasional.

Tanpa reformasi kebijakan yang memadai, industri tekstil Indonesia akan terus berada di bawah bayang-bayang ketidakpastian, dengan buruh yang menanggung beban terbesar. Kasus Sritex hanyalah satu dari sekian banyak tanda bahwa strategi upah murah semata tidak lagi relevan di tengah persaingan global yang semakin ketat.(*)