KABARBURSA.COM - Generasi Z atau Gen Z kerap dilabeli sebagai generasi yang serba instan, sulit mengikuti aturan, idealis, dan rentan stres. Namun, keunggulan mereka juga banyak, seperti kemampuan adaptasi yang cepat, rasa ingin tahu tinggi, kesadaran sosial, dan perhatian pada keseimbangan hidup. Hal ini diungkapkan oleh Director Corporate Affairs di GoTo, Nila Marita, dalam diskusi Universitas Paramadina bertajuk "Gen-Z & Work Ethic Problem," Jumat, 25 Oktober 2024.
Menurut Nila, ada enam poin penting dalam mengelola Gen-Z di tempat kerja, yaitu transparansi informasi, kesempatan untuk menunjukkan kemampuan, umpan balik yang konsisten, kepercayaan dalam menyelesaikan tugas dengan cara mereka, pentingnya membangun koneksi, serta memprioritaskan kesejahteraan mental. GoTo sendiri menyediakan pelatihan seperti engineering bootcamp dan generasi gigih untuk meningkatkan keterampilan Gen-Z.
Tia Rahmania, Psikolog dan Dosen Paramadina, menyoroti pada 2025, Gen-Z akan mencapai 27 persen dari populasi pekerja, meski 9,9 juta dari mereka masih menganggur karena ketidaksesuaian antara keterampilan dan kebutuhan pasar. “Banyak Gen-Z merasa stres karena belum bisa menghargai proses, yang membuat ekspektasi mereka tinggi,” ujar Tia, dikutip dari keterangan tertulis Universitas Paramadina, Senin, 28 Oktober 2024.
Karakteristik Gen-Z cenderung menolak lingkungan kerja toksik, berorientasi pada hasil, dan sangat mementingkan keseimbangan hidup. Mereka juga lebih suka menganggap bawahan sebagai partner, tidak terlalu melihat strata, dan disiplin dalam manajemen keuangan. Fenomena seperti You Only Live Once (YOLO), Fear of Missing Out (FOMO), dan Fear of Other People's Opinions (FOPO) juga sering muncul di generasi ini.
Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina, Adrian Wijanarko, mengatakan Gen-Z menghadapi tekanan ekonomi, baik dari dalam maupun luar. Masalah seperti mahalnya harga rumah dan minimnya lapangan pekerjaan menjadi beban tersendiri. Belum lagi, kata Adrian, kebanyakan Gen Z masih sulit mengelola keuangan pribadinya. “Literasi keuangan Gen-Z yang kurang baik membuat mereka kesulitan mengelola keuangan pribadi,” ujarnya.
Riset menunjukkan, 62 persen Gen-Z mengutamakan pengakuan atas diri mereka dalam bekerja. Jika tidak sesuai dengan nilai perusahaan, mereka cenderung keluar. Menurut Adrian, Gen-Z lebih menyukai pola kerja dengan hasil cepat serta fleksibilitas dalam memilih tunjangan sesuai kebutuhan pribadi.
Meski Gen Z dikenal sebagai generasi yang adaptif dan memiliki kesadaran sosial tinggi, tantangan yang mereka hadapi di dunia kerja semakin kompleks. Di satu sisi, mereka mengutamakan etika kerja yang inklusif dan keseimbangan hidup. Di sisi lain, realitas ekonomi menunjukkan terbatasnya lapangan kerja formal yang tersedia bagi mereka. Tren penurunan penciptaan lapangan kerja formal dalam 15 tahun terakhir semakin mempersempit kesempatan Gen Z, terutama para lulusan baru, untuk memasuki sektor formal. Tantangan ini tak hanya menguji adaptabilitas mereka tetapi juga memaksa banyak dari mereka untuk mempertimbangkan pekerjaan di sektor informal.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik atau BPS pada Februari 2009, 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan tren penurunan penciptaan lapangan kerja formal. Sektor formal ini mencakup pekerja dengan perjanjian kerja di perusahaan berbadan hukum. Selama 2009-2014, lapangan kerja formal mampu menyerap 15,6 juta orang. Namun, angka ini turun menjadi 8,5 juta pada 2014-2019 dan kembali merosot ke 2 juta pada 2019-2024. Penurunan ini membuat peluang kerja di sektor formal makin terbatas, termasuk bagi para lulusan baru.
Data juga menunjukkan Generasi Z (lahir 1997-2012) menghadapi kesulitan lebih besar dalam mencari kerja. Sakernas Agustus 2017 dan Agustus 2022 mencatat penurunan jumlah lulusan yang terserap kerja serta peningkatan waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan di semua jenjang pendidikan.
Contohnya, pada periode September 2016 hingga Agustus 2017, dari 5,8 juta lulusan, 1,2 juta atau 21,9 persen diterima di sektor formal. Sedangkan pada periode September 2021 hingga Agustus 2022, jumlah lulusan meningkat menjadi 7,1 juta, tapi yang terserap di sektor formal hanya 967.806 atau 13,6 persen.
Hal ini membuat lulusan tahun 2022, yang sebagian besar dari Gen Z, lebih sulit bersaing di sektor formal dibandingkan Generasi Y atau milenial sebelumnya.
Meski serapan pekerja formal menurun, angka pengangguran tidak mengalami lonjakan. Banyak pencari kerja yang tak terserap di sektor formal beralih ke sektor informal. Menurut Berita Resmi Statistik BPS, hingga Februari 2024, sektor informal mencakup 59,17 persen pekerja
Jumlah pekerja informal terus bertambah. Pada 2009-2014, pekerja informal sempat turun 1,9 juta, namun pada 2014-2019 naik 4,9 juta, dan melonjak 8,4 juta pada 2019-2024. Dari segi pendapatan, pekerja formal memiliki keunggulan dibanding pekerja informal. BPS dalam Statistik Indonesia 2024 melaporkan rata-rata gaji pekerja formal pada 2023 mencapai Rp3,1 juta per bulan, sedangkan pekerja informal rata-rata menerima Rp1,9 juta.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) memang menurun dalam 15 tahun terakhir, namun kecepatan penurunannya melambat. Pada 2009-2014, TPT turun 2,44 persen, sementara pada 2014-2019 hanya turun 0,72 persen, dan 2019-2024 hanya 0,16 persen. Menurut BPS, per Februari 2024 terdapat tambahan penduduk bekerja sebanyak 3,55 juta orang, terdiri dari pekerja penuh (1,11 juta), setengah pengangguran (2,52 juta), dan pekerja paruh waktu yang sedikit berkurang (-0,08 juta).(*)