Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Celios: Ada Keraguan Pemerintah untuk Gabung BRICS

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 26 October 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Celios: Ada Keraguan Pemerintah untuk Gabung BRICS

KABARBURSA.COM - Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur China-Indonesia Desk di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menegaskan bahwa saat ini belum ada urgensi bagi Indonesia untuk bergabung dengan BRICS.

Ia khawatir keberadaan China dalam kelompok tersebut dapat mempengaruhi independensi Indonesia dalam menanggapi isu-isu krusial, terutama terkait dengan manuver China di Laut China Selatan.

“Hingga saat ini, keinginan untuk bergabung dengan BRICS tidak menunjukkan urgensi yang jelas bagi Indonesia,” ujar Zulfikar di Jakarta, Sabtu, 26 Oktober 2024.

Peneliti CELIOS, Yeta Purnama, juga menyoroti kebimbangan pemerintah Indonesia dalam bersikap. Ia mengingatkan bahwa baru-baru ini, saat Indonesia merayakan pelantikan presiden, kapal China memasuki wilayah yuridiksi di Natuna Utara.

"Belum ada tanggapan langsung dari Presiden Indonesia terkait isu tersebut. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tengah ragu dalam bersikap di tengah keinginan untuk bergabung dengan BRICS," jelas Yeta.

Di sisi lain, konflik yang intens antara anggota BRICS, seperti China dan India, di tiga wilayah perbatasan Himachal Pradesh, Uttarakhand, dan Arunachal Pradesh dinilai dapat mengganggu stabilitas hubungan antara kedua negara. Menurut Zulfikar, ketegangan ini dapat memengaruhi kemitraan dalam aliansi BRICS secara keseluruhan.

Selain itu, keputusan bergabungnya Indonesia ke BRICS juga dapat berdampak negatif terhadap peluang Indonesia untuk bergabung dengan Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

“Peluang Indonesia untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan melalui kemitraan dengan OECD jauh lebih signifikan dibandingkan dengan BRICS,” tambah Yeta.

Ia menekankan bahwa dengan lebih banyak anggota dalam OECD, Indonesia perlu mendiversifikasi mitra ekonomi di luar China.

"Energi dan fokus pemerintahan baru untuk terlibat dalam banyak kerjasama multilateral akan memerlukan biaya yang tinggi, termasuk biaya keanggotaan. Oleh karena itu, lebih efektif untuk fokus pada kemitraan yang sudah ada,” tutup Yeta.

Ambil Kesempatan Emas di BRICS

Indonesia perlu segera menentukan pilihan untuk bergabung dengan salah satu organisasi antarpemerintah dunia, yaitu BRICS atau OECD. Menurut Wijayanto Samirin, ekonomi senior Universitas Paramadina, keputusan ini memiliki urgensi.

Pertama, kata Wijayanto, Indonesia dapat menyambut peluang berpartisipasi aktif dalam organisasi tersebut karena jumlah anggota yang masih sedikit. Ini berkaitan dengan hal yang kedua yakni peran dalam menentukan kebijakan utama dalam kelompok-kelompok tersebut.

“Jika (Indonesia) terlalu lama memilih, skenario terburuk bisa terjadi: Indonesia tidak tergabung dalam keduanya. Kalaupun bergabung nanti, bisa saja kita sudah terlambat dan tidak terlibat dalam diskursus penting penyusunan garis kebijakan,” ujar Wijayanto kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 26 Oktober 2024.

Dosen Universitas Paramadina itu menjelaskan, bergabungnya Indonesia dalam blok ekonomi yang dipimpin duet Rusia-China itu bukan berarti menjauh dari mitra lama antara lain Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Contohnya India, Uni Emirat Arab (UEA), Brasil, dan Arab Saudi yang masih bermitra tanpa menjaga jarak dengan Barat. Di sisi lain, jika Indonesia masuk OECD maka tidak membatasi gerak dengan negara-negara BRICS.

“OECD dan BRICS bukanlah blok ekonomi yang rigid (kaku). Setiap anggotanya tetap bebas menjalin kerja sama bilateral atau multilateral sesuai kebutuhan mereka,” jelas Wijayanto.

Lebih lanjut, bagi Wijayanto, Indonesia lebih tepat mengambil keputusan berdasarkan manfaat pragmatis daripada perimbangan politis.

“Mana yang lebih menguntungkan bagi Indonesia, itulah yang semestinya dipilih,” tegasnya.

Adapun, negara-negara Barat yang mempertahankan status quo ekonomi global saat ini mendominasi komposisi OECD. Dominasi ini tampak dari peran AS lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan peredaran dolar sebagai mata uang cadangan dunia.

Sementara BRICS, ujar dia, dipandang sebagai kekuatan ekonomi baru dengan ambisi untuk menciptakan sistem yang lebih independen dari dolar AS.

“BRICS memiliki agenda ekstrem seperti dedolarisasi, yang diinisiasi oleh Rusia dan China. Ini terjadi terutama setelah aset-aset Rusia di luar negeri dibekukan oleh negara Barat pasca-konflik Ukraina. Banyak negara kini bertanya-tanya apakah aset mereka juga bisa dibekukan jika berada dalam situasi yang sama,” ungkapnya.

Menemukan Posisi Moderat dalam Keanggotaan BRICS

Jika Indonesia memutuskan bergabung dengan BRICS, Wijayanto menyarankan agar posisi yang diambil tetap moderat.

Indonesia, menurutnya, dapat berperan dalam mendorong kerja sama perdagangan yang lebih erat serta mendukung sistem pembayaran alternatif yang mengurangi ketergantungan pada dolar, namun tetap seimbang.

“Bergabung dengan BRICS tidak harus berarti meninggalkan dolar sepenuhnya, tetapi lebih pada mencari keseimbangan melalui sistem pembayaran lintas negara. Ini memberikan alternatif bagi Indonesia dan negara lain tanpa harus berada dalam posisi ekstrem,” tutup Wijayanto. (*)