Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Masalah Ekonomi Global Hantui Gen Z Job Seeker, ini Buktinya

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 26 October 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Masalah Ekonomi Global Hantui Gen Z Job Seeker, ini Buktinya

KABARBURSA.COM - Generasi Z atau Gen Z menghadapi tantangan finansial dan emosional yang kompleks, terutama terkait tanggung jawab keluarga. Banyak di antara mereka yang tertekan oleh kebutuhan untuk membantu biaya kuliah adik mereka atau menopang keluarga setelah orang tua pensiun. Hal ini menjadi tekanan internal yang cukup berat bagi generasi ini.

Bahkan, menurut Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina, Adrian Wijanarko, selain tekanan internal, Gen-Z juga dihadapkan pada tekanan eksternal, terutama setelah pandemi Covid-19.

"Dari sisi tekanan sosial/eksternal, Gen-Z apalagi setelah Covid-19, Gen-Z merasa nasib mereka ke depan menjadi sangat suram, akibat kecemasan/tekanan ekonomi, ketidakpastian ekonomi global juga menambah sumber kecemasan Gen-Z” tuturnya dalam webinar yang dikutip Sabtu, 26 Oktober 2024.

Pandemi tidak hanya memicu kecemasan baru, tetapi juga memperparah ketidakpastian ekonomi yang membuat Gen-Z khawatir akan masa depan mereka.

Adrian menggarisbawahi kondisi ketidakpastian ekonomi global menunjukan betapa sulitnya ketersediaan lapangan kerja. Yang mana hal tersebut turut memperburuk tekanan yang dirasakan oleh Gen-Z.

Hal ini diperparah oleh minimnya literasi keuangan di kalangan Gen-Z, yang menyebabkan banyak dari mereka kesulitan dalam mengelola keuangan pribadi.

"Dari sisi literasi keuangan Gen Z yang kurang baik, sehingga Gen-Z kerepotan dalam pengelolaan keuangan pribadi," kata dia.

Situasi ini semakin kompleks mengingat harga properti yang terus meroket. Ia menekankan regulasi atau kebijakan pemerintah dalam hal pengadaan perumahan bagi Gen-Z merupakan sebuah persoalan tersendiri.

"Harga rumah sudah terlalu mahal, sementara tabungan Gen Z mau tak mau kerap terpakai untuk menutupi kebutuhan keluarganya” paparnya.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan bersama Continuum menunjukkan bahwa 62 persen Gen-Z menempatkan nilai penting pada ‘pengakuan diri’ dalam pekerjaan.

Mereka cenderung memilih perusahaan yang memberikan gaji dan kompensasi yang sepadan, dan apabila budaya perusahaan atau atasan tidak sesuai dengan nilai pribadi mereka, mereka tidak ragu untuk keluar.

Kecocokan dengan rekan kerja, atasan, serta lingkungan kerja menjadi faktor penting dalam menentukan kepuasan mereka di tempat kerja.

Adrian menambahkan bahwa Gen-Z cenderung memposisikan diri sebagai job seeker yang memberi hasil cepat (short-term win) dan kompensasi langsung setelah proyek selesai. Mereka juga menginginkan fleksibilitas dalam memilih benefit seperti tunjangan kendaraan, komunikasi, dan lain-lain.

"Pola pengupahan perlu disesuaikan agar dapat memenuhi ekspektasi mereka terhadap pilihan-pilihan benefit yang sesuai kebutuhan,” tegas Adrian.

Pangsa Kerja Beralih

Dalam rentang waktu tahun 2018 hingga 2023, studi Next Policy mengungkap rata-rata pangsa pekerja miskin status sebagai karyawan, pegawai, dan buruh sebesar 31,8 persen. Sementara angka untuk kelas rentan miskin 37,6 persen, calon kelas menengah 43,7 persen, kelas menengah 54,7 persen, dan kelas atas 61,0 persen.

Sementara pada Maret 2018, Next Policy mencatat ada sebanyak 55,8 persen dari pekerja kelas menengah memiliki status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh. Sedangkan pada Maret 2023, angka tersebut anjlok menjadi 52,8 persen.

Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono menilai, kejatuhan sektor formal terjadi seiring disrupsi yang marak di industri manufaktur. Dia menuturkan, sektor formal memberikan tingkat upah yang lebih tinggi dan jaminan kerja yang lebih baik dibandingkan sektor informal.

Menurutnya, kelas menengah memiliki ketergantungan yang tinggi pada sektor formal, terutama perusahaan besar dan menengah, sebagai penyedia lapangan kerja dengan tingkat penghasilan yang tinggi.

“Kejatuhan sektor formal-modern dalam tahun-tahun terakhir, terutama industri manufaktur yang banyak mengalami disrupsi usaha, penurunan omset dan penerimaan, krisis likuiditas, hingga penutupan usaha secara permanen, telah memukul kelas menengah dengan keras,” kata Yusuf dalam studinya, dikutip Sabtu, 19 Oktober 2024.

Next Policy mengungkap, jumlah pekerja kelas menengah dengan status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh anjlok dari 16,8 juta orang pada Maret 2018 menjadi tersisa 13,8 juta orang pada Maret 2023.

Seiring kejatuhan peran sektor formal dalam menyediakan lapangan kerja ini, Yusuf menyebut penduduk kelas menengah mengalami keruntuhan. Adapun penduduk kelas menengah dengan rentang usia 18-64 tahun turun dari 30,2 juta orang pada Maret 2018 menjadi 26,1 juta orang pada Maret 2023.

Berdasarkan studinya, Yusuf menuturkan, pada Maret 2018-Maret 2023 jumlah pekerja kelas menengah dengan status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh, turun signifikan dari 16,8 juta orang menjadi 13,8 juta orang.

Di waktu yang sama, Yusuf mengungkap jumlah pekerja calon kelas menengah dengan status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh, melonjak drastis dari 24,4 juta orang menjadi 28,6 juta orang.

Meski demikian, Yusuf menilai turunnya peran sektor formal sebagai penyedia lapangan kerja yang berkualitas bagi kelas menengah tidak selalu dalam bentuk pemutusan hubungan kerja. Adapun jatuhnya peran sektor formal dan runtuhnya kelas menengah terjadi seiring anjloknya daya beli dan konsumsi kelas menengah karena beralihnya pangsa kerja.

“Jatuhnya daya beli dan konsumsi kelas menengah lebih banyak disebabkan oleh beralihnya pekerja kelas menengah ke pekerjaan baru dengan penghasilan yang lebih rendah, yang pada gilirannya membuat mereka turun kelas ke kelas ekonomi yang lebih rendah,” ungkapnya. (*)