KABARBURSA.COM - Indonesia menyatakan minatnya bergabung dengan BRICS, kelompok ekonomi utama yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Langkah ini diambil untuk memperkuat posisi negara berkembang di kancah global. Negara-negara BRICS diketahui menyumbang 35 persen output ekonomi dunia.
Menteri Luar Negeri Sugiono mengungkapkan komitmen Indonesia bergabung dengan BRICS saat pertemuan di Kazan dua hari lalu. Proses keanggotaan pun kini masih berlangsung. Sementara itu, di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Indonesia pernah mempertimbangkan masuk ke Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). OECD adalah irganisasi internasional yang di dalamnya ada 38 anggota dari negara-negara Uni Eropa.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai pemerintah harus segera menentukan sikap ihwal keanggotaan di BRICS atau OECD sebelum peluang terlewat. Pasalnya, rencana Indonesia untuk bergabung dengan kedua forum global tersebut sudah dibahas cukup lama.
“Menghabiskan waktu terlalu lama untuk memilih dan memilah akan menghasilkan skenario terburuk bagi Indonesia, yaitu bukan anggota keduanya. Kalaupun bergabung nantinya akan sangat terlambat dan tidak ikut terlibat dalam diskursus penting penyusunan garis kebijakan keduanya,” kata Samirin kepada KabarBursa.com, Sabtu, 26 Oktober 2024.
Samirin menuturkan, menjadi anggota BRICS tidak mesti diartikan menjaga jarak dengan Uni Eropa dan USA. India, UEA, Brazil dan Arab Saudi. Dia menyebut, beberapa negara anggota BRICS juga merupakan teman dekat Amerika Serikat.
Begitu juga sebaliknya, dia menyebut, menjadi anggota OECD tidak berarti menjaga jarak dengan negara-negara BRICS terutama China dan Rusia. Dia menegaskan, OECD dan BRICS bukan blok yang rigid, di mana ada keleluasaan masing-masing anggota organisasi tersebut bebas melakukan kerja sama.
“Dalam konteks ini, pertimbangan kita mestinya lebih pragmatis bukan politis, mana yang lebih memberikan keuntungan bagi Indonesia itulah yang akan dipilih,” ujarnya.
Garis Perbedaan OECD dan BRICS?
Samirin menerangkan, OECD ingin mempertahankan status quo, di mana beberapa negara Barat mendominasi ekonomi dunia termasuk perihal sistem perdagangan dunia dan sistem moneter. Dalam hal ini, US Dollar menjadi reserve currency atau mata uang cadangan dunia dengan World Trade Organization (WTO) sebagai wadahnya.
Sementara BRICS, kata Samirin, ingin melakukan terobosan dari yang paling ekstrem, yaitu berupaya melakukan dedolarisasi dengan membentuk mata uang alternatif pengganti United State Dollar atau USD sebagaimana yang dilakukan oleh Rusia dan China. Samirin mengatakan Rusia menunjukan sikap yang semakin semangat mewujudkan dedolarisasi setelah negara Barat membekukan aset-aset Rusia di luar negeri pasca-conflict Ukraina.
Dia menyebut, banyak negara yang bertanya-tanya, jika upaya dedolarisasi bisa terjadi pada Rusia, negara anggota BRICS pun akan melakukan langkah yang sama. Dengan begitu, agenda yang lebih moderat, seperti kerja sama dagang dan pembentukan sistem pembayaran alternatif menggunakan mata uang lintas negara BRICS. Adapun ide tersebut dimotori salah satunya oleh India.
Kalau pun akhirnya memutuskan bergabung dengan BRICS, kata Samirin, idealnya Indonesia menjadi bagian yang moderat untuk mendorong kerja sama dagang serta mewujudkan sistem pembayaran baru yang tidak terlalu tergantung pada USD.
“Sistem moneter saat ini, di mana USD mewakili lebih dari 90 persen reserve dan mata uang perdagangan dunia, cenderung tidak sehat. Apalagi Amerika Serikat cenderung meng-abuse posisi tersebut dengan menerbitkan utang berlebih yang kemudian dibiayai oleh banknote yang mereka terbitkan,” jelasnya.
Idealnya, ia melanjutkan, USD akan tetap menjadi mata uang penting, tetapi dunia perlu alternatif. Hal tersebut dinilai penting agar otoritas moneter dan Pemerintah Amerika Serikat lebih berhati-hati mengelola ekonominya.
Samirin menyebut bergabungnya Indonesia dengan OECD sebagai opsi penting, namun dia mengingatkan adanya tantangan dari status quo. Untuk menjadi anggota, negara harus memenuhi kriteria yang cenderung Barat-minded, dengan nilai dan parameter yang tidak selalu relevan bagi Indonesia.
Menurut Samirin, kesan adanya pihak superior dan inferior harus dihilangkan di era multipolar ini. Ia menambahkan, Indonesia harus bekerja keras untuk memenuhi syarat OECD, yang bisa jadi tidak sepenuhnya cocok dengan konteks dan kebutuhan negara.
“Pengalaman kita menunjukkan bahwa mewujudkan kerjasama ekonomi dengan negara-negara Barat juga sangat rumit. Sebagai contoh sudah hampir 10 tahun kita membahas EU-CEPA dengan EU, tetapi belum ada progres yang berarti hingga saat ini. Selalu muncul isu yang terkesan dicari-cari. Sementara diskusi EU dengan negara lain seperti India, Thailand dan Vietnam terkesan lancar-lancar saja prosesnya,” ungkap Samirin.
Hubungan dengan Amerika Serikat, kata Samirin, posisi Indonesia saat ini hanya mempunyai Preferential Trade Agreement (PTA) yang sangat terbatas. Padahal, dia menilai Indonesia perlu Free Trade Agreement (FTA) yang komprehensif sehingga produk domestik bisa masuk ke pasar Amerika Serikat, sebagaimana Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Meski begitu, Samirin menilai langkah terbaik yang perlu diambil Indonesia adalah bergabung di kedua organisasi tersebut sebagaimana yang dilakukan Thailand dan Turki mengingat tidak ada ketentuan mengikat yang tidak memungkinan dua keanggotaan tersebut dimiliki sebuah negara.
Akan tetapi, Samirin berharap paling tidak Indonesia bisa bergabung salah satu diantara OECD dan BRICS seandainya harus memilih. Menurutnya, keberpihakan negara luar atas posisi Indonesia tetap harus dipertimbangkan. Indikatornya sederhana, kata Samirin, yang paling mungkin dieksekusi dengan cepat. “Jika memilih OECD, tentunya kita perlu afirmasi bahwa berbagai perjanjian dagang yang masih menggantung akan segera dituntaskan,” kata dia.
Di sisi lain, Samirin juga mengungkap skenario terburuk bagi Indonesia, yakni dalam situasi menggantung proses keanggotaannya. Hal itu bisa saja terjadi jika pemerintah Indonesia lambat dan ragu mengambil sikap. Apalagi, kata dia, Indonesia sudah terlampau lama dalam kondisi menggantung di antara keduanya.
Ia pun menilai langkah yang diambil pemerintah saat ini perlu diapresiasi. Sebab, kata dia, pengajuan bergabung sebagai anggota BRICS merupakan langkah tegas, berani, dan decisive. “(Ini) mendongkrak profil internasional kita, serta meningkatkan posisi tawar kita dihadapan kelompok OECD maupun BRICS,” katanya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.