KABARBURA.COM - Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI), Mulyanto, mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan pengelolaan riset dan teknologi (ristek) seperti yang diterapkan pada masa kepemimpinan Presiden ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie.
Mulyanto, yang juga mantan anggota DPR Komisi VII, menilai ristek perlu mendapat perhatian lebih agar dapat berkembang dan memberi kontribusi nyata bagi masyarakat. Ia menyoroti kondisi pengelolaan ristek selama satu dekade terakhir yang dianggapnya carut-marut.
Menurut Mulyanto, penggabungan berbagai lembaga riset ke dalam satu badan telah menimbulkan banyak masalah yang hingga kini belum terselesaikan. Pada titik tertentu, kata dia, tata kelola yang buruk ini menghambat aktivitas riset dan membuat manfaatnya bagi masyarakat menjadi minim.
Sejalan dengan amanat Undang-Undang Ketenaganukliran dan Undang-Undang Keantariksaan, Mulyanto menegaskan, pemerintah perlu memisahkan kembali Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang sebelumnya dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Sejak dilebur ke dalam BRIN, selain menyalahi undang-undang, kedua lembaga ini relatif mati suri dan merosot kinerjanya. Termasuk juga Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sejak dilebur kedalam BRIN praktis tidak ada kinerja yang mencolok. Berbagai program strategis nasional yang sebelumnya sukses dipreteli satu-per satu," kata Mulyanto dalam keterangannya, Kamis, 24 Oktober 2024.
Mulyanto mengaku prihatin melihat program pengembangan perekayasaan dan pengkajian teknologi, termasuk layanan teknologi yang mandek. Dia menilai riset yang dilakukan hanya diarahkan terutama untuk memproduksi paper ilmiah di jurnal internasional.
Sebab itu, Mulyanto menilai, Prabowo perlu membuat langkah desentralisasi kelembagaan ristek. Menurutnya, hal tersebut perlu agar lembaga-lembaga riset kembali menjadi lincah dan berkinerja tinggi, ketimbang mempertahankan lembaga superbody yang sentralistik.
“Untuk mendorong kinerja industri dan hilirisasi sumber daya alam yang bernilai tambah tinggi dibutuhkan dukungan kelembagaan Ristek yang kokoh. Jadi sebaiknya Presiden Prabowo segera menata ulang kelembagaan riset dan teknologi nasional pada Pemerintahannya. Syukur-syukur saintek kita bisa kembali jaya seperti pada masa Pak Habibie dulu," katanya.
Diketahui LAPAN, LIPI, BATAN, dan BPPT resmi dilebur dalam satu badan, yakni BRIN. Adapun peleburan badan riset tersebut dilakukan pemerintah pada tahun 2021 silam. Adapun organisasi riset di BRIN tercatat sebanyak 12 badan, diantaranya;
1. Pendekatan Kebijakan dan Tata Kelola Lembaga Riset
Pada era BJ Habibie, baik saat menjabat sebagai Menristek maupun setelah menjadi presiden, pendekatan pengelolaan riset dan teknologi di Indonesia sangat terstruktur dengan fokus pada desentralisasi dan spesialisasi. Habibie membentuk beberapa lembaga riset mandiri, seperti BPPT, BATAN, LAPAN, dan IPTN, yang bergerak sesuai bidang masing-masing tanpa adanya penggabungan. Setiap lembaga ini memiliki wewenang penuh untuk menjalankan riset yang langsung diaplikasikan ke sektor industri, dari pertahanan hingga transportasi.
Sebaliknya, pada era Presiden Joko Widodo, kebijakan riset mengalami perubahan besar dengan pembentukan BRIN pada 2019. BRIN mengintegrasikan beberapa lembaga riset besar, termasuk BPPT, BATAN, LAPAN, dan LIPI, menjadi satu badan yang bersifat sentralistik. Penggabungan ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi dan sinergi, tetapi langkah tersebut mendapat kritik, termasuk dari Mulyanto, karena dianggap mempersulit tata kelola dan meminimalkan otonomi riset.
2. Fokus dan Terobosan Riset
BJ Habibie dikenal karena kebijakan yang memprioritaskan hilirisasi teknologi dan kemandirian industri nasional. Di bawah kepemimpinannya, proyek besar seperti pengembangan pesawat N-250 oleh IPTN dan senjata laras panjang PT Pindad menjadi contoh bagaimana riset diarahkan untuk menghasilkan produk nyata yang bisa dikomersialisasi. Habibie juga mendorong kerja sama internasional di bidang teknologi tinggi, termasuk di sektor nuklir dan penerbangan. Selain itu, fokusnya pada lima prioritas riset nasional, dari pangan hingga pertahanan, berlandaskan pada prinsip Pancasila.
Di era Presiden Jokowi, pendekatan riset lebih difokuskan pada integrasi dan inovasi kolaboratif. Kemenristek/BRIN mencoba menyinergikan penelitian yang tersebar dan memprioritaskan pengembangan inovasi, terutama yang berkaitan dengan isu-isu kontemporer seperti penanganan Covid-19. Jokowi juga memberikan perhatian besar pada pendidikan tinggi, memperluas akses beasiswa, serta menginisiasi program riset dan pengembangan di bidang energi terbarukan, kesehatan, dan industri 4.0. Namun, kebijakan peleburan lembaga riset ke dalam BRIN justru mengundang kritik karena dianggap meminimalkan fokus dan otonomi riset di masing-masing bidang.
3. Desentralisasi vs Sentralisasi Riset
Mulyanto dalam kritiknya mencatat kebijakan Habibie sangat menekankan desentralisasi, dengan memberi keleluasaan pada lembaga riset untuk berkembang secara spesifik di bidangnya. Ini memungkinkan lembaga-lembaga seperti BPPT dan LAPAN untuk bekerja lebih lincah dan efisien, serta menghasilkan terobosan yang langsung diterapkan di industri.
Sebaliknya, kebijakan di era Jokowi terkesan lebih sentralistik, terutama dengan pembentukan BRIN yang menggabungkan berbagai lembaga riset ke dalam satu badan. Mulyanto menganggap pendekatan ini justru menghambat inovasi karena tata kelola yang terpusat sering kali lambat dan kurang responsif terhadap perkembangan kebutuhan industri dan teknologi. Hal ini terlihat dalam kritiknya yang menyebutkan bahwa banyak program strategis yang sebelumnya sukses justru terhenti atau dipreteli.
4. Peran Industri dan Hilirisasi Teknologi
Era BJ Habibie sangat dikenal dengan terobosannya dalam menghubungkan riset dengan industri langsung, terutama di sektor kedirgantaraan, pertahanan, dan komunikasi digital. Inovasi seperti Sistem Telepon Digital Indonesia (STDI), pengembangan pesawat N-250, dan kerjasama internasional dalam teknologi nuklir menunjukkan bahwa riset di era Habibie bukan hanya tentang publikasi, tetapi juga menghasilkan produk nyata yang bisa dipasarkan.
Di era Jokowi, hilirisasi teknologi tetap menjadi agenda, tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Jokowi berupaya mengarahkan riset ke penelitian terapan yang bisa mendukung perkembangan industri, seperti sektor kesehatan selama pandemi Covid-19. Namun, Mulyanto mengkritik bahwa riset di bawah BRIN terlalu fokus pada produksi publikasi ilmiah di jurnal internasional, ketimbang menciptakan produk teknologi yang langsung bermanfaat bagi masyarakat dan industri.
5. Strategi Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Pendidikan
Pada masa Habibie, pengembangan sumber daya manusia menjadi prioritas dengan menyediakan beasiswa, pelatihan, dan kerjasama internasional untuk membangun tenaga ahli yang siap berkontribusi dalam proyek strategis nasional. Pendidikan teknologi dan vokasi juga diperkuat agar bisa menyuplai kebutuhan tenaga kerja berkompetensi tinggi untuk sektor teknologi dan industri.
Di era Jokowi, peningkatan pendidikan vokasi juga menjadi agenda penting dengan program-program seperti pengembangan teaching industry dan open distance learning. Upaya ini bertujuan menyesuaikan pendidikan tinggi dengan kebutuhan industri 4.0. Namun, integrasi antara riset dan pendidikan di bawah BRIN dan Kemendikbud-Ristek dinilai belum berjalan optimal karena adanya kendala dalam tata kelola dan alokasi sumber daya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.