Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Wisatawan Sedikit Lakukan Kunjungan, Paradigma ini Disorot Pengamat Pariwisata

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 24 October 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Wisatawan Sedikit Lakukan Kunjungan, Paradigma ini Disorot Pengamat Pariwisata

KABARBURSA.COM – Wisawatan nusantara (wisnus) lebih sedikit melakukan kunjungan pada Agustus 2024 dibandingkan dengan Juli 2024 (month to month/mtm). Masing-masing pada bulan tersebut mencatatkan 75,88 juta perjalanan dan 77,28 juta perjalanan sehingga terjadi penurunan 1,77 persen.

Sementara Jumlah perjalanan wisatawan nasional (wisnas) pada Agustus 2024 mencapai 648,11 ribu perjalanan. Jumlah tersebut turun sebesar 29,38 persen bila dibandingkan dengan Juli 2024 (mtm).

Melihat kondisi tersebut, pengamat kebijakan publik pariwisata Azril Azhari mengatakan bahwa kesalahan paradigma yang selama ini dianut oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menyebabkan dampak ini. Pemerintah, menurutnya, masih terjebak dalam cara berpikir lama.

Lebih lanjut, Azril membedah cara berpikir lawas tersebut adalah menargetkan fokus pada peningkatan jumlah pelancong. Padahal meningkatkan nilai ekonomi dari setiap kunjungan wisata jauh lebih penting.

"Penurunan (jumlah wisatawan) ini adalah kebodohan dari kementerian pariwisata. Mereka masih mengukur keberhasilan pariwisata dari jumlah wisatawan, padahal paradigma itu sudah tidak relevan lagi di dunia internasional," ujar Azril kepada Kabarbursa.com, Kamis, 24 Oktober 2024.

Azril menjelaskan bahwa indikator keberhasilan pariwisata seharusnya tidak lagi berfokus pada jumlah kunjungan wisatawan, tetapi pada berapa lama wisatawan tinggal dan berapa banyak uang yang mereka belanjakan selama berwisata.

"Yang seharusnya diukur adalah length of stay dan spend of money. Berapa lama wisatawan tinggal dan seberapa besar pengeluaran mereka yang berkontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB)," jelasnya.

Ia mencontohkan bahwa meskipun banyak negara sudah beralih pada pengukuran ini, Indonesia masih tertinggal dalam hal pendekatan. "Di luar negeri, sudah tidak lagi fokus pada jumlah wisatawan. Yang dihitung adalah dampak ekonominya terhadap PDB, bukan sekadar menghitung kunjungan." tambahnya.

Tak hanya itu, Azril juga menyoroti peran Badan Pusat Statistik (BPS) yang belum secara resmi mengakui pariwisata sebagai sektor unggulan. Menurutnya, hal ini membuat sektor pariwisata sulit diukur dan diakui secara tepat.

"BPS tidak mengakui pariwisata sebagai sektor sendiri. Mereka hanya mengambil sebagian dari sektor restoran, transportasi, dan perdagangan eceran, lalu mengumpulkannya menjadi pariwisata. Jadi, secara resmi, pariwisata tidak ada sebagai sektor," tegas Azril.

Ia menegaskan bahwa ketidakpahaman ini tidak hanya terjadi di Kementerian Pariwisata, tetapi juga di BPS. "Bagaimana kita bisa menyebut pariwisata sebagai sektor unggulan jika dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), sektor pariwisata tidak ada? Ini menunjukkan ketidakpahaman terhadap ilmu pariwisata yang sebenarnya," tambahnya.

Azril menilai bahwa tantangan bagi kementerian yang baru nantinya adalah memperbaiki pendekatan dan paradigma dalam mengelola pariwisata.

Ia berharap kementerian ke depan dapat beralih dari fokus kuantitatif ke fokus kualitatif, dengan menitikberatkan pada peningkatan kualitas pengalaman wisatawan dan dampaknya terhadap ekonomi.

"Kementerian yang baru harus memahami bahwa pariwisata bukan sekadar soal jumlah, tapi soal kualitas. Kalau paradigma ini tidak diubah, penurunan jumlah wisatawan akan terus terjadi, dan dampak ekonominya akan stagnan," pungkasnya.

Tantangan Tumpang Tindih Kebijakan

Pemisahan Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif dinilai berpotensi menimbulkan kebijakan yang tumpang tindih di masa mendatang. 

Menurut Profesor Azril Azhari, pakar kebijakan publik pariwisata, perpecahan ini akan memperumit koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di kedua bidang tersebut.

Azril menjelaskan bahwa beberapa sektor, seperti makanan dan minuman (food and beverages), hiburan, serta wisata belanja, dapat mengalami kebingungan dalam pelaksanaan kebijakannya. 

“Makanan dan minuman secara konsep berada di sektor pariwisata melalui restoran, tetapi kuliner nanti akan dikelola oleh Ekonomi Kreatif. Begitu pula dengan hiburan, yang secara konsep di bawah pariwisata, namun akan dituntut oleh Ekonomi Kreatif,” ujar Azril kepada Kabarbursa.com, Rabu, 23 Oktober 2024.

Ia juga menyoroti potensi ketidakharmonisan dalam pengelolaan wisata belanja. “Wisata belanja secara konsep adalah wisata minat khusus yang berada di sektor pariwisata, tetapi nanti akan berada di bawah Ekonomi Kreatif,” tambahnya. 

Menurut Azril, jika saat kedua bidang ini berada di satu kementerian saja sudah terjadi ketidakselarasan, maka pemisahan ini hanya akan memperburuk situasi.

Lebih lanjut, Azril mengungkapkan bahwa selain tumpang tindih kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan program pariwisata dan ekonomi kreatif akan semakin sulit. Menurutnya, pergeseran paradigma dalam industri pariwisata juga belum sepenuhnya dipahami oleh para pengambil kebijakan.

Ia menekankan bahwa saat ini telah terjadi perubahan dari pariwisata massal menuju pariwisata yang lebih berkualitas dan personal. 

“Sebelum tahun 1980, pariwisata bersifat massal, namun sejak 2000-2020, kita beralih ke pariwisata berkualitas. Setelah 2023, pariwisata bergerak menuju bentuk yang lebih ‘customized‘, di mana perilaku pengunjung lebih menekankan pada minat khusus, personalizedlocalized, dan small in size,” jelas Azril.

Dengan adanya perubahan ini, ia khawatir jika pemisahan kementerian tidak dikelola dengan baik, kebijakan yang dihasilkan tidak akan sesuai dengan perkembangan tren dan kebutuhan industri pariwisata modern. (*)