KABARBURSA.COM - Setelah pemerintah memberlakukan bea masuk antidumping, muncul lagi rencana pemberian insentif bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Rencana tersebut bertujuan untuk menghidupkan lagi industri TPT yang belakangan ini banyak bertumbangan.
Rencana tersebut muncul setelah melihat besarnya tantangan yang sedang dihadapi TPT, khususnya terkait maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai perusahaan, dalam beberapa bulan terakhir. Kondisi tersebut dianggap semakin memperburuk situasi sektor manufaktur Indonesia yang juga mengalami kontraksi, seperti yang tercermin dari penurunan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur.
"Pemerintah serius menyoroti krisis di sektor TPT ini dan akan segera mengambil kebijakan strategis untuk membantu industri TPT pulih. Tujuannya, agar perusahaan-perusahaan di sektor tersebut tidak lagi melakukan PHK massal terhadap para pekerjanya," kata Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza, Selasa, 23 Oktober 2024.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap gelombang PHK di industri TPT telah mempengaruhi lebih dari 11.000 pekerja dari enam perusahaan besar. Beberapa perusahaan yang terdampak termasuk PT Dupantex di Jawa Tengah yang melakukan PHK terhadap 700 karyawan, PT Alenatex di Jawa Barat dengan 700 PHK, dan PT Kusumahadi Santosa di Jawa Tengah yang merumahkan 500 pekerjanya.
Kasus PHK terbesar terjadi di PT Sai Apparel di Jawa Tengah, yang terpaksa memutus hubungan kerja dengan lebih dari 8.000 karyawan.
Sementara itu, kontraksi di sektor manufaktur, khususnya industri tekstil, makin diperparah oleh tingginya biaya logistik dan harga bahan baku yang terus meningkat. Kondisi ini menjadi tantangan utama yang dihadapi oleh pelaku usaha, yang memaksa mereka untuk melakukan efisiensi dan restrukturisasi biaya.
Dalam menghadapi krisis ini, Faisol menegaskan bahwa Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan segera mengambil langkah konkret untuk menghidupkan kembali sektor TPT dan mencegah lebih banyak PHK. Salah satu langkah utama yang akan diambil adalah pemberian insentif bagi pelaku usaha di industri TPT.
Insentif yang diusulkan tidak hanya berupa bantuan langsung, tetapi juga fokus pada pengurangan biaya-biaya yang membebani perusahaan, seperti biaya logistik dan harga bahan baku.
Pemerintah menyadari bahwa biaya tinggi dalam proses produksi menjadi salah satu penyebab utama kesulitan di sektor ini. Oleh karena itu, menurunkan biaya logistik dan memastikan akses yang lebih terjangkau terhadap bahan baku akan menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah.
Hal ini diharapkan dapat meringankan beban finansial perusahaan, sehingga mereka dapat bertahan dan kembali bertumbuh tanpa harus melakukan PHK lebih lanjut.
Meskipun sektor TPT saat ini sedang berada di bawah tekanan berat, pemerintah optimis bahwa dengan kebijakan yang tepat industri ini dapat kembali bertumbuh. Implementasi insentif dan upaya penurunan biaya produksi diharapkan akan memberikan ruang bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan ekspansi kembali.
Lebih jauh, Faisol Riza mengungkapkan harapan bahwa industri TPT akan kembali menjadi salah satu sektor andalan perekonomian nasional. Pemerintah berencana untuk memperkenalkan berbagai inisiatif baru dalam waktu dekat yang diharapkan dapat memperkuat daya saing industri TPT domestik di pasar global dan meningkatkan kesejahteraan para pekerja.
Salah satu emiten tekstil yang masih bertahan hingga saat ini di Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sriteks, dengan kode saham SRIL. Terseok-seok kinerjanya, perusahaan saa ini tengah menghadapi gunungan utang yang pada akhirnya memaksa SRIL untuk mengambil langkah-langkah strategis, merumahkan karyawan dan melakukan restrukturisasi utang guna menjaga kelangsungan operasionalnya.
Dalam laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), per 31 Maret 2024, Sritex mencatatkan utang belum jatuh tempo sebesar USD31,67 juta, meningkat dari USD8,7 juta pada Desember 2023. Selain itu, utang yang jatuh tempo dalam 30 hari mengalami kenaikan sebesar USD630.000, sementara utang dalam periode 31–90 hari bertambah USD1,2 juta, dan dalam 91–180 hari naik USD468.000.
Tidak hanya itu, Sritex juga telah melakukan restrukturisasi surat utang jangka pendek (Medium Term Notes/MTN) yang awalnya jatuh tempo pada 18 Mei 2021 menjadi 29 Agustus 2027. Dalam keterangannya, manajemen Sritex mengajukan relaksasi pembayaran pokok dan bunga MTN karena masalah likuiditas kas.
Pada akhir tahun 2023, kewajiban jangka pendek Sritex tercatat sebesar USD113,02 juta atau setara dengan Rp1,81 triliun, di mana USD11 juta (Rp176 miliar) merupakan utang bank jangka pendek kepada Bank Central Asia (BBCA). Sementara itu, utang jangka panjang perusahaan mencapai USD1,49 miliar atau sekitar Rp23,84 triliun. Sebesar USD858,05 juta di antaranya merupakan utang bank, dengan mayoritas berasal dari sindikasi bank-bank besar seperti Citigroup, DBS, HSBC, dan Shanghai Bank, senilai USD330 juta.
Bank-bank lokal dan internasional juga menjadi kreditur utama Sritex. Selain BCA, Bank QNB Indonesia, Citibank Indonesia, Bank BJB, dan Mizuho Indonesia masing-masing memiliki piutang lebih dari USD30 juta terhadap Sritex. Secara keseluruhan, perusahaan memiliki utang kepada 19 pihak bank lainnya, yang mayoritas merupakan bank asing atau swasta milik asing.
Manajemen Sritex dalam laporan keuangan terbarunya mengungkapkan bahwa perusahaan saat ini sedang berupaya melakukan restrukturisasi utang besar-besaran dengan berbagai bank, sambil terus menyelesaikan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan mencari kesepakatan damai dengan kreditur.
Meskipun kondisi keuangan yang sulit, manajemen Sritex menegaskan bahwa mereka masih mendapat dukungan dari para pemegang saham. Dalam laporan keuangan tahunannya, disebutkan bahwa pemegang saham telah memberikan surat dukungan yang menyatakan komitmen mereka untuk terus memberikan bantuan finansial agar perusahaan dapat bertahan dan memenuhi kewajibannya.
Sritex juga mengakui adanya risiko besar terhadap kelangsungan usaha akibat tingginya beban utang dan defisiensi modal. Laporan keuangan yang diaudit oleh Kanana Puradiredja, Suhartono bahkan memberikan opini “Wajar dengan Pengecualian,” yang menandakan adanya kesalahan penyajian yang signifikan.
Dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi, perusahaan telah mengambil langkah pemotongan biaya operasional, termasuk memangkas jumlah karyawan. Pada akhir tahun 2023, Sritex mengurangi 2.232 pekerja, sehingga total karyawan menjadi 14.138 dari semula 16.370 karyawan pada akhir 2022.
Langkah-langkah efisiensi dan restrukturisasi ini diharapkan dapat membantu Sritex keluar dari krisis dan kembali menstabilkan operasional perusahaan. Meski begitu, masa depan Sritex masih penuh ketidakpastian, terutama dengan beban utang yang terus membesar dan tekanan keuangan yang semakin berat.
Saat ini, SRIL sedang menjalani suspen dari BEI.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.