KABARBURSA.COM - Jika Donald Trump menang dalam pemilihan presiden AS bulan depan, perusahaan mainan milik Mike Sagan, KidKraft, berencana mengurangi setengah dari rantai pasokan mereka di China dalam setahun. Ancaman tarif impor yang tinggi menjadi alasan utama langkah perusahaan asal Negeri Paman Sam ini.
KidKraft, yang juga memproduksi peralatan bermain luar ruangan, telah memindahkan 20 persen produksinya dari China ke Vietnam, India, dan negara lain setelah Trump memperkenalkan tarif 7,5 persen hingga 25 persen pada Juli 2018, di tengah masa jabatan pertamanya.
Kini, Trump mengancam akan menerapkan tarif menyeluruh sebesar 60 persen pada China, yang menurut Sagan adalah langkah kasar yang bisa mengubah permainan. Ia memperkirakan Kamala Harris, jika menang, akan tetap keras terhadap China dalam perdagangan, tetapi tidak seagresif Trump.
"Situasinya sudah jelas, ini akan jadi tantangan," ujar Sagan yang juga wakil presiden rantai pasokan dan operasi di KidKraft, dikutip dari Reuters, Rabu 23 Oktober 2024.
Perusahaan tersebut telah mengurangi jumlah pemasok China dari 53 menjadi 41 sejak awal tahun ini. "Pertanyaannya: apakah tantangannya akan sangat sulit atau hanya sulit?"
Ancaman tarif tersebut sudah mengguncang industri manufaktur China, yang setiap tahun menjual barang senilai lebih dari USD400 miliar ke AS dan ratusan miliar lainnya dalam bentuk komponen produk yang dibeli Amerika dari negara lain.
Dari 27 eksportir China yang setidaknya memiliki 15 persen penjualan ke AS dan diwawancarai oleh Reuters, 12 di antaranya berencana mempercepat relokasi jika Trump kembali ke Gedung Putih. Empat perusahaan lainnya, yang masih beroperasi penuh di China, menyatakan akan membuka pabrik di luar negeri jika Trump menaikkan tarif.
Sedangkan 11 perusahaan sisanya tidak memiliki rencana spesifik terkait hasil pemilu, namun sebagian besar mengkhawatirkan potensi kehilangan akses ke pasar AS.
Para produsen memperkirakan tarif yang lebih tinggi pada eksportir terbesar dunia itu akan mengganggu rantai pasokan dan semakin menekan keuntungan di China, yang berdampak pada pekerjaan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi yang sudah melambat. Perang dagang akan meningkatkan biaya produksi dan harga konsumen AS, bahkan jika pabrik dipindahkan.
Kementerian Perdagangan China tidak merespons pertanyaan Reuters tentang dampak hasil pemilu AS terhadap ekonomi, perdagangan, dan hubungan diplomatik dengan Washington.
Matt Cole, salah satu pendiri m.a.d Furniture Design pada 2010, termasuk di antara mereka yang belum memindahkan produksinya.
Studi kelayakannya di Asia Tenggara pada 2018 menunjukkan ia masih harus mengimpor 60 persen komponen furnitur dari China. Biaya logistik dan ketidakefisienan lainnya hampir sama dengan beban tarif 25 persen.
Meskipun enam tahun lalu ia melihat sedikit manfaat dari memindahkan produksi, kini ia merasa lebih rentan. Jika Trump menang, Cole berencana mengirim sebanyak mungkin produk ke AS sebelum tarif diberlakukan, memberi waktu untuk mencari basis produksi lain.
"Ada yang mengambil keputusan tepat dengan pindah ke negara ketiga. Saya yakin mereka tidak sekhawatir saya soal pemilu AS," ujar Cole. "Bisa jadi saya akan segera terbang ke Malaysia atau Vietnam."
Sagan dari KidKraft mengatakan biaya produksi di luar China sekitar 10 persen lebih tinggi dan kemungkinan akan naik. Namun, kekhawatiran utamanya adalah standar kualitas yang lebih rendah.
Jika Harris menang, relokasi akan berjalan lebih lambat dan terencana untuk mengurangi risiko tersebut. "Kualitas adalah kompromi terbesar yang terjadi di awal karena butuh waktu untuk memastikan rantai pasokan sekunder dan menemukan orang yang tepat," jelasnya.
Tarif impor yang diberlakukan pada 2018 memberi keuntungan bagi Asia Tenggara, yang muncul sebagai tempat perakitan utama produk-produk untuk pasar AS yang bergantung pada rantai pasokan dari China. Namun, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi China tergolong kecil dan tidak mengubah ketergantungan ekonomi global pada konsumsi AS dan produksi China.
Faktanya, pangsa China dalam manufaktur global justru meningkat sejak tarif diberlakukan, karena negara itu mengalihkan kredit dari sektor properti ke pabrik-pabrik, sesuai dengan kebijakan Presiden Xi Jinping untuk mendorong kekuatan produktif baru. Dampak tarif tersebut terhadap defisit perdagangan AS dengan China lebih kecil dibandingkan dampak lockdown COVID-19 di China pada 2022, yang menegaskan ketergantungan ekonomi kedua negara.
Namun, perang dagang jilid dua ala Trump bisa menjadi ancaman serius bagi banyak eksportir China, yang keuntungannya menipis di tengah tekanan deflasi akibat investasi yang diarahkan negara ke pabrik-pabrik, mengorbankan konsumsi domestik.
"Jika tarif 60 persen diterapkan, tidak ada yang bisa bertahan," ujar Zeng Zhaoliang, pimpinan Guangzhou Liangsheng, yang mengekspor 30-40 persen produk alat masak berharga rendah ke AS.
Tarif juga memicu kenaikan biaya di tempat lain, kata Lance Ericson, presiden GL Wholesale yang sudah mengimpor barang dari China selama 30 tahun dan kini mencari pemasok di India, Vietnam, serta Kamboja untuk menggantikan 40 persen bisnis yang hilang sejak masa pemerintahan Trump. "Orang-orang India sudah menaikkan harga 10 persen," katanya. "Ini akan buruk untuk China, juga buruk buat saya."
Ekspor di mana China memiliki keunggulan, seperti kendaraan listrik (EV), menghadapi tarif tinggi di AS, Eropa, dan tempat lain. Trump mengancam akan menerapkan tarif 200 persen pada produsen EV China jika mereka menjual ke AS dari Meksiko, tempat BYD (002594.SZ) merencanakan pembangunan pabrik baru.
Meski perlawanan terhadap ekspor China sebagian besar menyasar panel surya, EV, dan baterai, beberapa pasar seperti Indonesia dan India juga menaikkan tarif pada produk pakaian, keramik, dan baja buatan China.
Beberapa industri lain mulai bergerak mengantisipasi hal ini. "Kami membangun pabrik di luar negeri bukan hanya karena pasar AS, tapi untuk bersiap menghadapi perubahan lanskap global," kata Cheng Xinxian, eksekutif di Hangzhou Yongyao Technology, produsen peralatan rumah tangga.
Para ekonom memprediksi tarif 60 persen baru akan mulai berlaku pada pertengahan 2025, yang dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi China sebesar 0,4 hingga 0,7 poin persentase tahun depan melalui pengalihan investasi, pengurangan pekerjaan, dan penurunan output.
Beijing dapat mengatasi hal ini dengan lebih banyak stimulus, kontrol ekspor, dan pelemahan mata uang. Namun, langkah-langkah tersebut membawa risiko seperti pelarian modal, peningkatan utang, dan potensi konflik dagang yang lebih besar.
"Kalau Beijing berencana memberikan subsidi ke pabrik-pabrik, tarifnya bakal terus naik," ujar Larry Sloven, yang sudah mengelola rantai pasokan di Asia untuk perusahaan internasional sejak 1970-an. "Kalau Anda tidak menyebarkan risiko, Anda mati, Anda dalam bahaya besar."
Hampir semua eksportir berharap Trump melunak jika terpilih lagi. Yang Qiong, eksekutif di Chongqing Hybest Tools Group, yang memproduksi bor tangan, paku angin, dan stapler, mengatakan perusahaannya akan memperluas fasilitas di Vietnam jika Trump kembali terpilih, tetapi tetap beroperasi di China jika Harris menjadi presiden.
Mark Williams, kepala ekonom Asia di Capital Economics, menyebutkan bahwa masa jabatan kedua Trump akan merusak pertumbuhan jangka pendek China karena "tantangan terhadap tatanan ekonomi global yang membantu China makmur." Namun, hal ini juga berisiko memecah koalisi sekutu AS dari Eropa hingga Asia Timur yang semakin sejalan dengan pandangan tentang Beijing.
Jika Harris bisa menjaga aliansi, "China mungkin akan lebih tertekan secara ekonomi dalam jangka menengah," ujarnya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.