Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Prabowo bakal Genjot Penerimaan Negara dari Tiga Sektor ini

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 23 October 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Prabowo bakal Genjot Penerimaan Negara dari Tiga Sektor ini

KABARBURSA.COM - Presiden Prabowo Subianto ditargetkan menyetor penerimaan negara di tahun 2025 sebesar Rp3.005 triliun, tepatnya Rp3.005.127.683.257.000.

Target tersebut tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 62 tahun 2024 tentang APBN 2025.

Undang-undang tersebut disusun jelang masa jabatan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) akhir. Beleid itu pun masih diteken oleh Jokowi pada 17 Oktober 2024.

“Anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 2025 direncanakan sebesar Rp3.005.127.683.257.000," bunyi Pasal 3 beleid tersebut, dikutip Rabu, 23 Oktober 2024.

Penerimaan negara ini akan diperoleh dari tiga sumber, yaitu penerimaan perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan hibah.

Penerimaan dari sektor pajak yaitu sebesar Rp2.490 triliun, atau tepatnya Rp2.490.911.571.145.000. Terdiri dari pendapatan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.

Dari dalam negeri pendapatan pajak didapatkan dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang dan jasa, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya. Totalnya, ditargetkan penerimaan sebesar Rp2.433.505.588.870.000.

Sementara itu dari pajak perdagangan internasional ditargetkan penerimaan sebesar Rp57.405.982.275.000. Terdiri dari pendapatan bea masuk dan bea keluar untuk perdagangan ekspor dan impor.

Khusus untuk PNBP ditargetkan penerimaan senilai Rp513 triliun atau tepatnya Rp513.635.052.112.000. penerimaan PNBP didapatkan dari empat pos.

“Terdiri atas a. pendapatan sumber daya alam, b. pendapatan dari Kekayaan Negara Dipisahkan, c. pendapatan PNBP lainnya, dan d. pendapatan Badan Layanan Umum,” tulis pada pasal 5 beleid tersebut.

Terakhir, dalam 6 Undang-Undang Nomor 62 tahun 2024 pasal dari penerimaan hibah direncanakan negara akan mendapatkan Rp581 miliar atau tepatnya Rp581.060.000.000.

Soal Kenaikan PPN 12 Persen, Ditej Pajak Tunggu Perintah Prabowo

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan bahwa keputusan untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen sepenuhnya berada di tangan Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti mengatakan, meski kenaikan ini telah diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan batas waktu penerapan pada 1 Januari 2025, realisasinya masih bergantung pada keputusan dari pemerintahan baru.

“Meski secara aturan kenaikan ini wajib diterapkan, arah kebijakan fiskal tersebut tetap akan disesuaikan dengan keputusan yang dibuat oleh pemerintahan (Prabowo Subianto) mendatang,” kata Dwi, Selasa, 15 Oktober 2024.

Menurut dia, pemerintah baru akan memberikan panduan lebih lanjut terkait kebijakan ini.

Dengan begitu, hingga saat ini belum ada kepastian mengenai penerapan tarif PPN 12 persen. Meskipun batas waktu penerapan sudah ditetapkan dalam UU HPP, implementasinya bisa saja ditunda atau dibatalkan, tergantung pada keputusan Prabowo begitu resmi menjabat sebagai Presiden RI pada 20 Oktober mendatang.

Namun, jika pemerintahan Prabowo memutuskan untuk tidak menaikkan PPN sesuai jadwal, maka akan ada konsekuensi hukum.

Wakil Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo-Gibran, Anggawira menyatakan bahwa penundaan atau pembatalan kenaikan PPN ini akan memerlukan revisi terhadap Undang-undang HPP.

“Kalau kenaikan PPN tidak dilaksanakan pada tahun depan, tentu perlu dilakukan revisi pada Undang-Undang HPP,” kata Anggawira, 14 Oktober 2024.

Dia menekankan bahwa meskipun kenaikan PPN telah diatur dalam Pasal 7, ayat (1), huruf b UU HPP, yang mengharuskan penerapan tarif PPN sebesar 12 persen selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025, keputusan akhir tetap membutuhkan proses politik yang melibatkan DPR.

“Ini keputusan politik, bukan hanya kehendak pemerintah. Harus ada dialog dengan DPR RI,” tegasnya.

Menurut Anggawira, perubahan dalam undang-undang adalah hal yang mungkin jika pemerintahan Prabowo memutuskan untuk tidak mengikuti kenaikan PPN yang telah direncanakan. Proses tersebut tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga memerlukan persetujuan dari DPR sebagai bagian dari penyesuaian kebijakan fiskal di masa depan.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen merupakan salah satu langkah yang dirancang dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sesuai dengan tujuan dari UU HPP yang mulai berlaku pada tahun 2021.

Peningkatan PPN ini diharapkan dapat membantu menutupi defisit anggaran dan memperkuat keuangan negara, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi global yang kian kompleks.

Namun, di sisi lain, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Beberapa pihak menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN dapat memberatkan masyarakat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Selain itu, kelompok pelaku usaha juga mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai dampak kenaikan PPN terhadap daya beli konsumen dan keberlangsungan bisnis, khususnya di sektor yang sensitif terhadap harga, seperti ritel dan konsumsi.

Menanggapi itu, Anggawira mengakui bahwa penyesuaian kebijakan pajak, termasuk kenaikan PPN, harus dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan sosial yang ada. Oleh karena itu, keputusan ini tidak bisa hanya datang dari satu pihak, melainkan harus melalui dialog antara pemerintah dan DPR untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan dapat diterima oleh semua pihak dan tidak membebani masyarakat secara berlebihan.

Keputusan terkait kebijakan pajak ini diharapkan akan segera diumumkan setelah Prabowo dilantik menjadi Presiden RI.

Pemerintahan Prabowo akan memiliki tanggung jawab untuk menyeimbangkan kebutuhan peningkatan pendapatan negara dengan upaya menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai bagian dari kebijakan fiskal yang lebih luas, kenaikan PPN ini juga akan terkait erat dengan program-program pemerintah baru yang mungkin memerlukan tambahan dana untuk pembiayaan pembangunan dan investasi di berbagai sektor.

Di bawah kepemimpinan Prabowo, arah kebijakan perpajakan di Indonesia dapat berubah, tergantung pada prioritas dan visi Prabowo Subianto dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Secara keseluruhan, isu kenaikan PPN menjadi salah satu topik penting yang harus ditangani oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Masyarakat dan pelaku usaha kini menunggu langkah-langkah konkret yang akan diambil oleh tim ekonomi Prabowo dalam menjawab tantangan ini.

Keputusan akhir terkait kenaikan PPN dipastikan akan menjadi salah satu kebijakan strategis yang akan berdampak pada kehidupan ekonomi Indonesia ke depan, baik dari sisi penerimaan negara maupun pengaruhnya terhadap masyarakat dan dunia usaha. (*)