KABARBURSA.COM - Terungkap, dua hari sebelum lengser dari jabatan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 132 Tahun 2024 tentang Badan Pengelolaan Dana Perkebunan.
“Badan Pengelola Dana Perkebunan yang selanjutnya disebut Badan Pengelola Dana adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menghimpun, mengadimistrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan dana,” bunyi Pasal 1 Nomor 7 aturan tersebut yang dikutip, Rabu, 23 Oktober 2024.
Adapun dana yang dihimpul Badan Pengelola Dana Perkebunan ini berasal dari pelaku usaha perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lainnya yang sah.
Pada Pasal 2 Nomor 3 disebutkan, badan ini akan mengelola atau mengatur sejumlah komoditas seperti kelapa sawit, kakao, dan kelapa.
“(3) Perkebunan dan komoditas Perkebunan yang diatur dalam Peraturan Presiden ini meliputi: a. kelapa sawit; b. kakao; dan c. kelapa," jelas di pasal tersebut.
Dana yang dihimpun juga akan dipergunakan untuk perkebunan dalam negeri. Dalam pasal 11 sejumlah penggunaan dana perkebunan telah diatur, mulai dari untuk pengembangan, penelitian, peremajaan, hingga untuk pemenuhan pembuatan bahan bakar nabati dan hilirisasi.
“(1) Dana yang dihimpun digunakan untuk kepentingan, a. pengembangan sumber daya manusia Perkebunan; b. penelitian dan pengembangan Perkebunan; c. promosi Perkebunan; d. peremajaan Perkebunan; dan e. sarana dan prasarana Perkebunan. (2) Penggunaan Dana yang dihimpun untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk dalam rangka pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati, dan hilirisasi industri Perkebunan," terang di aturan tersebut.
Sebelumnya, Indonesia hanya memiliki Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Badan Pengelolaan Dana Perkebunan itu kini menjadi bentuk baru dari BPDPKS.
Dikutip dari laman resmi BPDPKS, badan itu bertugas untuk melaksanakan pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan Komite Pengarah dengan memperhatikan program pemerintah.
Komite Pengarah yang dimaksud terdiri dari delapan kementerian, yakni Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua, dengan anggota Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menanggapi rencana Presiden Prabowo Subianto yang ingin mendorong pengembangan biodiesel, khususnya bahan bakar minyak yang dicampur dengan sawit.
Dalam pernyataannya, Prabowo mengungkapkan bahwa tidak hanya program B35 yang akan dilanjutkan, tetapi juga akan dikembangkan hingga mencapai B50 dan B60.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengatakan bahwa rencana tersebut membuka peluang untuk mengoptimalkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Namun, ia menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam pelaksanaan program biodiesel, terutama jika produksi sawit masih stagnan.
Eddy menegaskan keyakinannya bahwa pemerintah tidak akan terburu-buru dalam menerapkan B50 jika produksi tidak memadai.
“Pemerintah pasti tidak akan gegabah dalam mengimplementasikan B50 selama produksi sawit stagnan,” kata Eddy dalam konferensi pers di Kantor Pusat Gapki, Jakarta, Selasa, 22 Oktober 2024,
Ia mewanti-wanti, jika tidak dihitung dengan tepat, program biodiesel berpotensi mengganggu ekspor sawit Indonesia, yang pada gilirannya dapat menurunkan devisa negara.
Eddy merinci bahwa jika B50 diterapkan dalam kondisi industri sawit saat ini, diperkirakan ekspor akan turun sekitar 6 juta ton. Sementara itu, jika B60 diterapkan, penurunan ekspor bisa mencapai 10 juta ton.
“Dengan B40 saja, jika diimplementasikan, ekspor kita bisa turun 2 juta ton. Jika kita memaksakan B50, kita berisiko kehilangan 6 juta ton dari rata-rata ekspor yang mencapai 30 juta ton,” jelasnya.
Salah satu dampak yang perlu diperhatikan adalah potensi inflasi yang dapat terjadi akibat berkurangnya pasokan ekspor sawit ke pasar global. Eddy menekankan bahwa Indonesia akan merasakan dampak tersebut, terutama dalam harga produk yang berbahan dasar sawit.
“Jika pasokan kita berkurang, harga minyak nabati di dunia akan naik, dan pada akhirnya akan berdampak pada inflasi domestik, mengingat mahalnya produk sawit,” tambah Eddy.
Produksi Crude Palm Oil (CPO) pada bulan Agustus 2024 tercatat mencapai 3.986 ribu ton, meningkat 10,2 persen dibandingkan dengan bulan Juli yang hanya mencapai 3.617 ribu ton. Selain itu, produksi Palm Kernel Oil (PKO) juga mengalami kenaikan, menjadi 391 ribu ton dari sebelumnya 344 ribu ton pada bulan Juli.
Namun, secara keseluruhan, produksi tahun 2024 hingga Agustus menunjukkan penurunan 4,86 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yaitu dari 36.287 ribu ton menjadi 34.522 ribu ton. Total konsumsi dalam negeri juga meningkat, meskipun angka tersebut masih perlu ditelaah lebih dalam.
Konsumsi dalam negeri pada bulan Agustus 2024 tercatat naik menjadi 2.060 ribu ton, naik 30 ribu ton dari bulan sebelumnya. Kenaikan ini didorong oleh konsumsi pangan yang meningkat sebesar 88 ribu ton, meskipun konsumsi oleokimia mengalami penurunan sebanyak 2 ribu ton dan biodiesel turun 56 ribu ton dari 1.035 ribu ton menjadi 979 ribu ton.
Secara tahunan, konsumsi dalam negeri pada tahun 2024 mencapai 15.571 ribu ton, lebih tinggi 1,94 persen dibandingkan tahun 2023 yang hanya 15.274 ribu ton. Untuk konsumsi pangan, tercatat sebesar 6.665 ribu ton, turun 4,51 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai 6.980 ribu ton. Sementara itu, konsumsi oleokimia juga menunjukkan penurunan sebesar 1,85 persen dari 1.512 ribu ton menjadi 1.484 ribu ton. Namun, biodiesel justru menunjukkan pertumbuhan dengan mencapai 7.421 ribu ton, naik 9,42 persen dari tahun sebelumnya.
Dari sisi ekspor, terdapat kenaikan signifikan dari 2.241 ribu ton pada bulan Juli menjadi 2.384 ribu ton pada bulan Agustus, atau meningkat sebesar 6,35 persen. Kenaikan tersebut terutama berasal dari produk olahan CPO yang naik sebesar 79 ribu ton menjadi 1.668 ribu ton. CPO mentah juga mengalami peningkatan sebesar 48 ribu ton, menjadi 222 ribu ton, sedangkan produk oleokimia naik 41 ribu ton menjadi 440 ribu ton.
Secara keseluruhan, GAPKI menegaskan bahwa penting untuk memastikan keseimbangan antara kebutuhan dalam negeri dan potensi ekspor agar program biodiesel tidak merugikan industri sawit Indonesia. Melalui perencanaan yang matang, diharapkan sektor ini dapat terus berkembang tanpa mengorbankan kestabilan ekonomi. (*)