Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Banyak Wakil Menteri Keuangan, Penerimaan Negara Masih Diragukan

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 22 October 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Banyak Wakil Menteri Keuangan, Penerimaan Negara Masih Diragukan

KABARBURSA.COM - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Fadhil Hasan, pesimis delapan program Astacita Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang mencakup 17 program prioritas, dapat tercapai. Beberapa program yang disambut pesimis antara lain Makan Bergizi Gratis (MBG), kesehatan, peningkatan produktivitas lahan pertanian, pendidikan, kartu kesejahteraan, kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), infrastruktur desa, pembentukan badan penerimaan negara, hingga upaya meningkatkan rasio penerimaan pajak menjadi 23 persen.

Fadhil menyebut program-program tersebut memerlukan anggaran besar yang diharapkan dapat ditopang oleh dana yang dihimpun melalui peningkatan tax ratio. Namun, rencana pembentukan badan penerimaan negara batal setelah Sri Mulyani kembali ditunjuk sebagai Menteri Keuangan.

Fadhil lantas menilai belum ada track record yang membuktikan keberhasilan peningkatan rasio pajak atau tax ratio selama Sri Mulyani menjabat Menteri Keuangan 2019-2024. Dia menilai dipilihnya mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu semacam kontradiksi dengan potensi peningkatan tax ratio sebesar 23 persen.

“Belum ada track record SMI (Sri Mulyani Indrawati) dalam peningkatan tax ratio. Jadi ada semacam kontradiksi antara spending yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan ke-7 program di atas dengan potensi peningkatan tax ratio 23 persen via pembentukan badan penerimaan negara,” kata Fadhil dalam acara diskusi publik bertajuk “Ekonomi Politik Kabinet Prabowo-Gibran”, Selasa, 22 Oktober 2024.

Fadhil menilai Kabinet Merah Putih yang dilantik Prabowo terlalu gemuk. Menurutnya, kondisi seperti itu akan menimbulkan masalah koordinasi sebagaimana yang terjadi pada masa-masa kepemimpinan presiden sebelumnya.

Koordinasi menjadi persoalan pokok dalam menjalankan berbagai kebijakan dan program. Dengan kabinet super gemuk, kata Fadhil, plus berbagai menteri koordinator dan badan, koordinasi kemungkinan besar sulit. 

“Siapa bertanggungjawab? Dan satu dengan lainnya timbul overlapping (tumpang tindih)” ungkapnya.

Selain itu, Fadhil menilai adanya kemungkinan timbul masalah kewenangan, di mana terjadi kegagalan koordinasi antara Kementerian Koordinator atau Kemenko Bidang Pangan yang dinilai akan overlap dengan Kemenko Bidang perekonomian yang juga beririsan dengan persoalan pangan.

“Bagaimana kewenangan itu akan dibagi? akan timbul soal ini di antara para menteri,” kritiknya.

Fadhil mengatakan janji Prabowo yang hendak membentuk Zaken Kabinet mestinya ditampilkan dalam formasi kabinet sekarang. Akan tetapi, kata dia, kabinet yang dilantiknya lebih banyak mengakomodasi unsur politik dibanding warna dari Zaken Kabinet. 

“Maka dari itu kabinet akan seperti lame duck’, kelumpuhan seperti bebek duduk karena soal koordinasi, kewenangan, dan lain-lain,” katanya.

Tiga Wamen untuk Apa?

Hal senada juga diungkap Ekonom Senior INDEF, Nawir Messi yang menyebut, susunan Kabinet Merah Putih, khususnya Menteri Keuangan yang memiliki tiga orang Wakil Menteri (Wamen) Keuangan. Menurutnya, banyaknya Wamen Keuangan tidak cukup untuk mendongkrak penerimaan negara.

“Dengan skema yang seperti ini, Apakah cukup Wakil Menteri (Keuangan) yang menangani isu penerimaan negara akan menangani masalah perpajakan di masa lalu? Ini dapat diselesaikan atau tidak?” tanya Nawir.

Nawir enggan berpikir buruk ihwal kompetensi para Wamen Keuangan saat ini. Tapi, dia mengaku akan menanti langkah yang dilakukan Kementerian Keuangan dalam memacu penerimaan negara.

“Konon katanya yang mengurusi penerimaan ini adalah orang-orang yang garang dan sangat-sangat preman. Sedikit ada keraguan karena bukan orang-orang seperti itu yang digunakan untuk menagih pajak,” jelasnya.

Nawir menilai besarnya Kabinet Merah Putih di periode kepemimpinan Prabowo sangat akomodatif. Hal ini mengacu pada susunan kabinet yang melibatkan semua unsur, termasuk partai politik kecuali yang tidak diinginkan Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi).

Kabinet Merah Putih, kata Nawir, sangat mengedepankan pro-stabilitas. Meski begitu, gemuknya Kabinet Merah Putih berpotensi mengorbankan beberapa tugas mulia, seperti upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Kalau kita lihat sekian belas, hampir 20 anggota kabinet yaitu adalah stok lama yang periode-periode sebelumnya telah bekerja secara maksimal dengan mengupayakan kapasitas maksumnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditugaskan. Kemudian di-instal kembali karena itu saya kira kita tidak bisa berharap banyak bahwa akan ada akselerasi yang akan lebih cepat dari periode sebelumnya,” katanya.

Realisasi Pendapatan Negara 2019-2024

Realisasi pendapatan negara pada periode 2019 hingga 2021 mengalami fluktuasi, terutama karena dampak pandemi COVID-19. Mengutip data Badan Pusat Statistik, pada 2019, total penerimaan negara tercatat sebesar Rp1.9555 triliun, kemudian turun signifikan menjadi Rp1.628 triliun pada 2020 di tengah pandemi. Namun, kondisi berangsur pulih di 2021 dengan realisasi mencapai Rp2.006 triliun.

Penerimaan perpajakan juga mengalami penurunan dari Rp1.546 triliun pada 2019 menjadi Rp1.285 triliun di 2020, sebelum naik kembali ke Rp1.547 triliun di 2021. Pajak dalam negeri, sebagai komponen utama, mengikuti pola yang serupa, dari Rp1.505 triliun pada 2019, turun menjadi Rp1.248 triliun pada 2020, lalu meningkat ke Rp1.474 triliun pada 2021.

Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) mencatat penurunan tajam dari Rp772 triliun di 2019 menjadi Rp594 triliun pada 2020, namun berhasil naik menjadi Rp696 triliun pada 2021. Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) juga terdampak pandemi, dengan realisasi turun dari Rp531 triliun di 2019 menjadi Rp450 triliun pada 2020, dan kembali naik ke Rp551 triliun pada 2021.

Kemudian realisasi pendapatan negara menunjukkan tren peningkatan selama periode 2022 hingga 2024. Total penerimaan negara pada 2022 tercatat sebesar Rp2.630 triliun. Angka ini terus meningkat, mencapai Rp2.634 triliun pada 2023, dan diproyeksikan naik lebih tinggi lagi menjadi Rp2.801 triliun pada 2024.

Kontribusi terbesar berasal dari penerimaan perpajakan, yang pada 2022 mencapai Rp2.034 triliun. Angka ini meningkat menjadi Rp2.118 triliun pada 2023 dan diperkirakan akan menembus Rp2.309 triliun pada 2024. Pajak dalam negeri tetap menjadi sumber utama, dengan realisasi Rp1.943 triliun pada 2022, yang terus naik hingga Rp2.045 triliun pada 2023, dan Rp2.234 triliun pada 2024.

Peningkatan juga terlihat pada penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) yang naik dari Rp998 triliun pada 2022 menjadi Rp1.040 triliun pada 2023, dengan proyeksi Rp1.139 triliun pada 2024. Sementara itu, penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) juga meningkat, dari Rp687 triliun di 2022 menjadi Rp742 triliun di 2023, dan diperkirakan mencapai Rp811 triliun pada 2024.(*)