KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) melaporkan likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada September 2024 tercatat sebesar Rp9.044,9 triliun, dengan pertumbuhan 7,2 persen secara tahunan (year on year/yoy). Pertumbuhan ini relatif stabil dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
"Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh uang beredar sempit (M1) yang tumbuh 6,9 persen (yoy) dan uang kuasi yang tumbuh 5,3 persen (yoy)," ujar Ramdan Denny Prakoso, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Selasa di Jakarta, Selasa 22 Oktober 2024.
Ramdan menjelaskan, perkembangan likuiditas pada September 2024 didorong oleh peningkatan penyaluran kredit dan tagihan bersih kepada pemerintah pusat. Penyaluran kredit pada bulan tersebut tumbuh 10,4 persen (yoy), meskipun sedikit lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 10,9 persen (yoy).
Selain itu, tagihan bersih kepada pemerintah pusat tumbuh sebesar 12,3 persen (yoy), menunjukkan stabilitas yang serupa dengan pertumbuhan bulan sebelumnya. Namun, aktiva luar negeri bersih mencatat kontraksi sebesar 0,3 persen (yoy), setelah sebelumnya terkontraksi sebesar 1,1 persen pada bulan sebelumnya.
Kredit yang disalurkan oleh bank dalam laporan ini hanya mencakup pinjaman (loans) dan tidak termasuk instrumen keuangan lain seperti surat berharga, tagihan akseptasi, maupun tagihan repo. Ramdan menambahkan bahwa kredit ini tidak termasuk yang disalurkan oleh kantor bank umum di luar negeri maupun kredit kepada pemerintah pusat dan non-residen.
Bank Indonesia (BI) berencana untuk meningkatkan likuiditas perbankan melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM), dengan target total mencapai Rp280 triliun hingga akhir tahun 2024.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa tambahan ini akan meningkatkan jumlah likuiditas dari posisi Juni 2024 yang sebesar Rp255,8 triliun menjadi Rp280 triliun. “Kami berencana untuk meningkatkan jumlah ini hingga Rp280 triliun di akhir tahun, naik dari Rp255,8 triliun pada Juni 2024,” kata Perry dalam konferensi pers KSSK III 2024.
Perry menekankan bahwa penambahan insentif likuiditas ini tergantung pada performa penyaluran kredit perbankan. Insentif ini ditujukan untuk bank-bank yang aktif dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas seperti hilirisasi mineral dan batu bara, pertanian, perkebunan, pariwisata, perumahan, UMKM, serta sektor-sektor ramah lingkungan.
Oleh karena itu, BI terus melakukan koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). “Kami bekerja sama dengan OJK untuk mendorong penyaluran kredit. OJK memastikan bank-bank menyalurkan kredit, sedangkan BI menambah likuiditas sepanjang kredit disalurkan ke sektor-sektor prioritas. Ini adalah bagian dari kebijakan makroprudensial kami,” jelasnya.
Antara Maret dan Juni 2024, BI telah menambah insentif likuiditas sebesar Rp91 triliun, meningkatkan total dari Rp165 triliun pada Maret menjadi Rp255,8 triliun pada Juni. Penambahan ini termasuk kenaikan insentif untuk bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang meningkat dari Rp82 triliun pada Maret menjadi Rp118,4 triliun pada Juni, atau sebesar Rp36,4 triliun.
Bank swasta nasional juga mengalami kenaikan dari Rp64,8 triliun pada Maret menjadi Rp108,9 triliun pada Juni, naik sebesar Rp44,1 triliun. Bank Pembangunan Daerah (BPD) mendapat tambahan insentif sebesar Rp9 triliun, meningkat dari Rp15,9 triliun pada Maret menjadi Rp24,9 triliun pada Juni. Sementara itu, kantor cabang bank asing hanya mengalami kenaikan Rp1,3 triliun, dari Rp2,3 triliun pada Maret menjadi Rp3,5 triliun pada Juni.
Berdasarkan data OJK, likuiditas perbankan pada Juni 2024 tetap memadai dengan rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) dan alat likuid/dana pihak ketiga (AL/DPK) masing-masing tercatat sebesar 112,33 persen dan 25,37 persen, jauh di atas ambang batas yang ditetapkan, yaitu 50 persen dan 10 persen. Risiko kredit juga terjaga dengan baik, dengan rasio non-performing loan (NPL) net dan NPL gross yang tetap rendah, masing-masing berada di level 0,78 persen dan 2,26 persen, masih di bawah batas ambang yang ditentukan.
Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia
Lebih lanjut, Perry mengatakan, Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 fokus pada penguatan infrastruktur, inovasi hingga rupiah digital. “Kita harus lanjutkan BSPI 2019-2025 ke 2030. Ada lima inisiatif yang disingkat 4I-RD, yaitu infrastruktur, industri, inovasi, internasional, dan rupiah digital,” ujarnya.
Perry mengatakan BSPI 2030 mengusung lima inisiatif sebagai tindak lanjut dari Visi BSPI 2030, yaitu infrastruktur, industri, inovasi, internasional, dan rupiah digital, atau disingkat 4I-RD.
Pada inisiatif infrastruktur, dilakukan modernisasi infrastruktur untuk semakin meningkatkan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat dalam bertransaksi melalui sistem pembayaran digital.
“Kita terus memodernisasi infrastruktur ritel yaitu BI-FAST, tentu saja harus kolaborasi nanti kita akan bangun, juga meng-invite industri retail payment supaya betul-betul bersama dengan policy maker Bank Indonesia,” ujarnya
Inisiatif industri terkait dengan konsolidasi struktur melalui penataan akses dan entry policy sesuai profil risiko pelaku, penguatan manajemen risiko, dan reformasi regulasi.
Sementara, inisiatif inovasi berorientasi pada upaya menjamin keseimbangan antara inovasi dengan pelindungan konsumen, integritas dan stabilitas serta persaingan usaha yang sehat secara kolaboratif.
Sedangkan inisiatif internasional diarahkan pada perluasan konektivitas pembayaran antarnegara dengan menjaga kepentingan nasional melalui perluasan cakupan kerjasama QRIS antar negara dan interkoneksi sistem pembayaran ritel maupun wholesale.(*)