Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Angan Swasembada Pangan Prabowo, Mimpi Besar yang Menantang Realita Impor Beras

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 20 October 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Angan Swasembada Pangan Prabowo, Mimpi Besar yang Menantang Realita Impor Beras

KABARBURSA.COM - Pada hari pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto menyampaikan pidato yang penuh semangat dan ambisi. Salah satu poin penting yang ia tekankan adalah upayanya untuk membawa Indonesia mencapai swasembada pangan dalam kurun waktu 4–5 tahun ke depan. Bagi banyak pihak, janji ini terdengar optimis dan penuh harapan, tetapi juga menyimpan tantangan yang besar. Tidak hanya karena komitmen ini harus diwujudkan dalam waktu singkat, tetapi juga karena realita yang dihadapi Indonesia saat ini menunjukkan situasi yang bertolak belakang.

Seperti diketahui, swasembada pangan pernah menjadi kebanggaan Indonesia pada dekade sebelumnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, negara ini mengalami peningkatan ketergantungan pada impor beras. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari 2024 saja, impor beras mencapai 443,91 ribu ton, lebih tinggi dibandingkan total impor tahunan selama masa pandemi Covid-19. Bahkan, angka ini hampir dua kali lipat dari impor pada bulan yang sama di tahun sebelumnya.

Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, mengatakan impor beras pada Januari 2024 hampir dua kali lipat dari jumlah yang diimpor pada bulan yang sama di tahun sebelumnya, yakni 243,66 ribu ton. Pola fluktuasi volume impor beras nasional tidak mudah untuk diprediksi.

"Impor beras ini tergantung kepada kebijakan sehingga pola-pola impornya tidak ada yang bisa kami ketahui secara pasti, karena tergantung dari kebijakan impor yang ditetapkan pemerintah," kata Amalia dalam konferensi pers, Kamis, 15 Februari 2024, lalu.

Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kemampuan Indonesia untuk segera mencapai swasembada pangan, terutama dengan berbagai masalah yang menghambat produksi beras domestik. Dalam pidatonya, Prabowo mengungkapkan Indonesia harus mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat tanpa mengandalkan impor. “Kita harus mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia,” tegas Prabowo. Namun, untuk mencapai itu, Prabowo harus mengatasi sejumlah kendala besar yang sudah lama menjadi penghalang sektor pertanian Indonesia.

Impor Beras yang Terus Meningkat

BPS mencatat tren impor beras Indonesia yang mengalami fluktuasi tajam selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Pada 2017, volume impor beras tercatat sebesar 305.274,8 ton. Jumlah ini melonjak tajam pada 2018, mencapai 2.253.824,4 ton, yang merupakan kenaikan signifikan seiring dengan adanya kebutuhan tambahan untuk memenuhi permintaan domestik di tengah krisis produksi.

Setelah lonjakan pada 2018, impor beras Indonesia berangsur turun pada 2019 menjadi 444.508,8 ton. Tren ini terus berlanjut hingga 2020 dengan total impor mencapai 356.286,2 ton. Meski demikian, angka tersebut kembali meningkat pada 2021 dengan total impor 407.741,4 ton, yang menunjukkan adanya ketergantungan impor meskipun produksi dalam negeri sempat membaik.

Pada 2022, volume impor beras kembali mengalami kenaikan menjadi 429.207,3 ton, dan tren ini mencapai puncaknya pada 2023 dengan total 3.062.857,6 ton. Lonjakan besar tersebut menempatkan Indonesia di antara negara importir beras terbesar di dunia, dengan sebagian besar pasokan berasal dari negara-negara seperti Thailand, Vietnam, dan Pakistan.

Meningkatnya volume impor ini mencerminkan betapa rentannya ketahanan pangan Indonesia terhadap gejolak pasar internasional. Dalam situasi tertentu, seperti kekeringan yang disebabkan oleh fenomena El Nino, produksi beras di negara-negara penghasil utama seperti Thailand, Vietnam, dan Pakistan bisa terganggu. Ini akan berdampak langsung pada harga beras di Indonesia, yang dalam tiga tahun terakhir terus merangkak naik, bahkan mencapai Rp15.350 per kilogram pada pertengahan 2024. Dengan fluktuasi seperti ini, ketergantungan pada impor beras membuat harga menjadi semakin sulit dikendalikan .

Krisis Produksi Domestik

Krisis dalam produksi domestik menjadi alasan utama mengapa Indonesia harus terus mengimpor beras dalam jumlah besar. Produksi beras nasional dilaporkan turun hingga 13,3 persen pada Januari-Juli 2024 dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Ini merupakan kelanjutan dari tren penurunan yang sudah terjadi sejak 2018. Berbagai faktor menjadi penyebabnya, mulai dari alih fungsi lahan pertanian yang semakin masif hingga perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca ekstrem. Bahkan, menurut data dari BPS, luas lahan panen padi di Indonesia terus menurun, dari 11,38 juta hektare pada 2018 menjadi 10,21 juta hektar pada 2023 .

Kondisi ini diperparah dengan fenomena El Nino yang berkepanjangan, menyebabkan kekeringan di banyak wilayah sentra produksi padi. Setelah itu, ancaman La Nina yang diproyeksikan membawa hujan deras dan potensi banjir, semakin menambah kekhawatiran akan terjadinya gagal panen pada akhir 2024. Selain itu, masalah ketersediaan pupuk, jumlah petani yang semakin menurun, dan alih fungsi lahan untuk proyek strategis nasional, terutama di Pulau Jawa, menjadi kendala utama yang harus diatasi pemerintah jika ingin benar-benar mencapai swasembada pangan .

Tantangan Mewujudkan Janji Swasembada

Prabowo dalam kampanyenya menjanjikan pemerintahan di bawah kepemimpinannya akan melanjutkan program-program yang sudah dirintis oleh Presiden Jokowi. Namun, sektor pangan, terutama produksi beras, menunjukkan masih banyak hal yang harus dibenahi. Meskipun Jokowi mendapat pujian karena berbagai program infrastruktur dan industrialisasi, sektor pertanian justru menunjukkan penurunan produksi yang signifikan selama masa pemerintahannya,

Prabowo juga menegaskan pentingnya mencapai swasembada pangan karena Indonesia tidak bisa terus mengandalkan impor. Namun, ini memerlukan perubahan yang lebih struktural daripada sekadar meningkatkan produksi sesaat. Kebijakan-kebijakan harus diarahkan untuk melindungi lahan pertanian, memperbaiki rantai distribusi pangan, serta meningkatkan produktivitas pertanian melalui inovasi dan penggunaan teknologi. Jika hanya mengandalkan peningkatan impor tanpa memperkuat sektor hulu, mimpi swasembada bisa jadi hanya akan tinggal angan-angan.

Mimpi Besar atau Realita Pahit?

Dalam pidato pelantikannya, Prabowo terlihat begitu percaya diri Indonesia bisa mencapai swasembada pangan dalam waktu yang relatif singkat. Ia pun menyampaikan rasa optimisme yang tinggi dalam 4–5 tahun mendatang, Indonesia tidak hanya bisa mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, tetapi juga siap menjadi lumbung pangan dunia. Namun, kritik mengemuka karena realita yang dihadapi saat ini jauh dari harapan tersebut. Dengan ketergantungan yang besar pada impor beras, yang dalam dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan signifikan, banyak pihak bertanya-tanya apakah target tersebut realistis atau tidak.

Tantangan bagi Prabowo adalah bagaimana membuat kebijakan yang bisa membalikkan situasi ini. Tanpa adanya reformasi yang menyeluruh, terutama ihwal perlindungan lahan pertanian dan penguatan sektor pertanian secara keseluruhan, janji swasembada pangan bisa berakhir seperti mimpi yang sulit diwujudkan. Prabowo harus belajar dari pemerintahan sebelumnya untuk memastikan kebijakan ketahanan pangan tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga mampu memberikan solusi yang berkelanjutan untuk masa depan.(*)