KABARBURSA.COM - Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno meminta kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menunda rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.
“Kami dari Fraksi PAN akan meminta kepada pemerintah untuk mengkaji ulang, kalau bisa kenaikan PPN ditunda,” kata Eddy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2024.
Adapun pertimbangan utama diminta penundaan kenaikan tarif PPN adalah menjaga tingkat daya beli masyarakat. Menurutnya, jika tingkat konsumsi masyarakat terjaga atau bahkan meningkat, maka penerimaan PPN akan terkerek dengan sendirinya.
“Jadi ada beberapa hal yang kita fokuskan sekarang agar pertumbuhan ekonomi tidak terhenti, bahkan justru terakselerasi,” tuturnya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan rencana kenaikan tarif PPN 12 persen akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti mengatakan, ketentuan kenaikan tarif PPN itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Dapat kami sampaikan bahwa penyesuaian tarif PPN menjadi 12 persen merupakan amanat UU HPP,” kata Dwi Astuti, Minggu, 13 Oktober 2024.
Meski telah diatur dalam UU HPP, kata Dwi, implementasi kenaikan tarif PPN 12 persen akan mengikuti arahan pemerintah baru, yakni Prabowo Subianto.
“Namun demikian, penyesuaian tarif PPN tersebut akan mengikuti kebijakan pemerintah,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang disahkan dalam Rapat Paripurna pekan lalu, 19 September 2024, masih menggunakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tahun depan seharusnya menjadi PPN 12 persen.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Wahyu Utomo, menjelaskan alasan mengapa PPN 12 persen belum diterapkan dalam perhitungan APBN 2025. Ia mengatakan, pemerintah sebenarnya menjalankan mandat UU tersebut, tetapi tetap perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat sebelum menerapkan kebijakan kenaikan PPN.
“PPN menjadi 12 persen memang sudah diatur dalam UU HPP. Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah juga harus mempertimbangkan kondisi masyarakat, termasuk daya beli dan situasi ekonomi,” ujarnya saat Media Gathering APBN 2025, Rabu, 25 September 2024.
Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, sebelumnya mengonfirmasi bahwa target penerimaan pajak tahun 2025 belum mencakup PPN 12 persen. Menurutnya, baik pemerintah maupun DPR belum sepakat untuk menaikkan PPN sebesar 1 persen pada tahun depan.
“Rp2.490 triliun pendapatan negara (dari pajak dan bea cukai), di antaranya belum termasuk PPN 12 persen,” ujar Said usai Rapat Paripurna, Kamis, 19 September 2024.
Said menerangkan wacana pembahasan kenaikan PPN ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menaikkan penerimaan negara. “Asumsinya bukan pakai 11 atau 12 persen. Bahwa ada best effort yang harus dilakukan pemerintah, dalam hal ini penerimaan pajak sebesar Rp2.490 triliun. Kemudian dari cukai masuk dan bea keluar sekitar Rp300 triliun something, Rp2.190 triliun. Itu dari pajak,” katanya.
Beberapa waktu lalu, keputusan perihal kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 akan berada di tangan pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto. Hal ini ditegaskan oleh Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono, yang menyebutkan keputusan tersebut akan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan yang akan datang.
“Kenaikan PPN ini biarlah Pak Prabowo menjadi presiden terlebih dahulu. Nanti setelah kabinet terbentuk, baru ada penjelasan lebih lanjut,” kata Thomas.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga pernah menyampaikan kenaikan PPN yang direncanakan untuk tahun depan merupakan tanggung jawab pemerintahan baru. Nantinya, keputusan ini akan dibahas bersama DPR, khususnya Komisi XI.
“Keputusan mengenai PPN 12 persen saya serahkan kepada pemerintahan baru,” kata Sri Mulyani.
Untuk tahun 2025, pemerintah menargetkan penerimaan dari PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp945,12 triliun. Target ini meningkat 15,4 persen dibandingkan dengan proyeksi penerimaan tahun ini sebesar Rp819,2 triliun.
Berdasarkan Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2025, penerimaan dari PPN dan PPnBM tercatat sebagai kontributor terbesar kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh), yang ditargetkan mencapai Rp1.209,28 triliun.
Sementara itu, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani berpendapat kebijakan menaikkan tarif PPN dapat memperburuk kondisi ekonomi, terutama di tengah tren penurunan daya beli masyarakat.
Ajib juga menyoroti data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Bank Mandiri dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI yang menunjukkan jutaan penduduk kelas menengah mengalami penurunan status ekonomi. Selain itu, data makro ekonomi menunjukkan bahwa sekitar 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga.
Ajib khawatir bahwa kenaikan tarif PPN ini justru akan menyulitkan pemerintahan presiden terpilih, Prabowo Subianto.
“Jika pelemahan daya beli masyarakat terus diperparah oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif, maka target pertumbuhan ekonomi agresif dari pemerintahan Prabowo-Gibran akan menghadapi tantangan besar,” ujar Ajib beberapa waktu lalu.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan masa depan kenaikan tarif PPN juga penuh ketidakpastian.
Meskipun sebelumnya ada pernyataan bahwa kebijakan kenaikan tarif akan berlanjut, baru-baru ini Menko Perekonomian menyebutkan optimalisasi melalui PPh, bukan PPN.
“Ini menimbulkan spekulasi bahwa pemerintahan berikutnya mungkin akan membatalkan rencana kenaikan tarif PPN, yang secara hukum memang memungkinkan,” tambah dia.
Fajry juga menyoroti kebutuhan dana yang besar untuk memenuhi janji politik pemerintahan selanjutnya, seperti program makan siang gratis yang memerlukan Rp450 triliun, serta proyek-proyek seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan rencana memperbanyak jumlah Kementerian atau Lembaga (K/L).
Ketidakpastian ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan wajib pajak tentang dari mana dana tersebut akan berasal dan apakah mereka akan kembali menjadi sasaran otoritas pajak.
“Duitnya dari mana? apakah mereka nanti yang kena kejar-kejar otoritas pajak lagi?” ujar dia. (*)