Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Perlu Kepastian Hukum agar Investasi Energi Baru Terbarukan di RI Semakin Menarik

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 21 October 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Perlu Kepastian Hukum agar Investasi Energi Baru Terbarukan di RI Semakin Menarik

KABARBURSA.COM - Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah ketergantungan pada impor, terutama di sektor energi.

"Dari sisi pasokan, Indonesia sebenarnya tidak terlalu kaya akan sumber daya energi seperti minyak bumi, gas, dan batu bara. Namun, kita memiliki potensi energi terbarukan yang luar biasa, seperti panas bumi, tenaga air, angin, dan matahari. Diversifikasi ke energi baru terbarukan (EBT) harus segera dipercepat," kata Wijayanto kepada Kabar Bursa, Minggu, 20 Oktober 2024.

Menurut dia, Indonesia memiliki 42 persen cadangan panas bumi dunia, yang dapat dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Namun, tantangan terbesar adalah penolakan dari masyarakat lokal di sekitar lokasi panas bumi.

Wijayanto menyarankan agar pemerintah agar turun tangan langsung dalam menangani masalah ini melalui dialog intensif dan pemberian insentif kepada masyarakat setempat.

"Pemerintah perlu memperkuat kebijakan insentif dan kepastian hukum agar investasi di sektor energi terbarukan, termasuk panas bumi, air terjun, dan angin, bisa lebih menarik bagi investor,” ujarnya.

Selain itu, Wijayanto juga menyoroti pentingnya pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), serta memberikan insentif untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan angin (PLTB). Ia percaya bahwa langkah-langkah tersebut dapat membantu Indonesia mencapai swasembada energi secara lebih cepat dan berkelanjutan.

Konsumsi Energi yang Meningkat

Dari sisi permintaan, Wijayanto menyebutkan, bahwa konsumsi energi di Indonesia melonjak terlalu cepat. Dengan 62 persen konsumsi minyak bumi berasal dari sektor transportasi. Ia menekankan pentingnya pengembangan transportasi umum berbahan bakar listrik sebagai solusi untuk menekan ketergantungan pada impor minyak.

"Pengembangan kendaraan umum berbasis listrik harus dijadikan gerakan nasional, terutama di kota-kota besar. Ini tidak hanya akan mengurangi konsumsi minyak, tetapi juga menjadi langkah penting menuju swasembada energi," ujarnya.

Tantangan Swasembada Pangan

Selain energi, swasembada pangan juga menjadi prioritas Prabowo Subianto dalam pemerintahannya. Wijayanto menggarisbawahi bahwa tantangan di sektor pangan termasuk rendahnya produktivitas pertanian, konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian, serta menurunnya minat generasi muda untuk menjadi petani.

"Untuk mencapai swasembada pangan kita perlu meningkatkan produktivitas pertanian melalui penggunaan teknologi modern, serta memastikan ketersediaan pupuk dan benih berkualitas dengan harga terjangkau,” ujarnya.

Wijayanto juga mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mengimplementasikan program food estate skala besar, mengingat pengalaman kegagalan proyek serupa di masa lalu.

"Kebijakan food estate perlu direncanakan dengan matang dan dilaksanakan secara bertahap untuk meminimalkan risiko kegagalan," pungkasnya.

RI masih Minim Manfaatkan Sumber Daya EBT

Pemanfaatan sumber daya alam dalam membangun ekosistem energi baru terbarukan masih sangat minim. Pemanfaatan geothermal misalnya, masih sekitar 2.400 megawatt dari total potensi 22.000 megawatt. Dewan Pakar Prabowo-Gibran, Ali Mundakir tidak menampik hal itu.

Padahal, tutur Ali, pemanfaatan geothermal sudah digaungkan pemerintah sejak lama. Adapun hal tersebut terjadi lantaran teknologi yang digunakan pemerintah masih mengandalkan produk impor.

“Geothermal yang sudah sekian lama didengungkan, kita memiliki potensi 22.000 megawatt. Tapi kenyataannya sampai hari ini baru sekitar 2.400 megawatt. Ini juga tantangan,” kata Ali dalam acara bertajuk ‘Transisi Energi sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen’, Kamis, 10 Oktober 2024.

Ali tak menampik, Indonesia saat ini masih menjadi pengguna dari teknologi energi hijau. Karenanya, dia menyebut, langkah transisi energi mesti dimulai dari pembangunan ekosistem energi hijau dalam negeri agar dampaknya terasa terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

“Inilah yang akan menjadi prioritas bagi pemerintahan Prabowo ke depan membangun ekosistem ini,” tegasnya.

Dengan membangun ekosistem energi hijau, Ali menilai Indonesia tidak hanya sebatas menjadi negara pengguna yang didikte. Apalagi, kata dia, Indonesia memiliki resources yang besar dengan potensi energi surya sebesar 3.200 gigawatt hingga 3.300 gigawatt.

Di sisi lain, Ali menilai, transisi energi tidak bisa bersandar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasalnya, APBN Indonesia saat ini masih sangat terbatas.

“Sehingga government spending Indonesia itu masih di kisaran 14 persen. Dan tentunya ini jumlah yang tidak banyak,” jelasnya.

Reformasi Pendanaan Transisi Energi

Dalam memacu transisi energi bersih, Ali mengakui pemerintah tidak bisa mengandalkan APBN. Karenanya, dia mengaku pemerintahan Presiden terpilih, Prabowo Subianto, akan mengkaji besaran distribusi bahan bakar fosil.

Adapun bahan bakar fosil sendiri menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar. Dalam hal ini, Ali menyebut, kebijakan subsidi bahan bakar menjadi perhatian serius pemerintah ke depan untuk tetap hadir sekaligus mengedukasi masyarakat.

“Kita tetap memberikan subsidi, pemerintah hadir, tapi di sisi lain juga mengedukasi masyarakat, bahwa selama ini terjadi market destruction di dalam harga energi yang ada di Indonesia. Sehingga membuat energi baru terbarukan itu tidak kompetitif,” ungkapnya.

Di samping itu, Ali juga menyebut pendanaan transisi energi dapat dilakukan melalui skema public-private partnership (PPP). Menurutnya, langkah tersebut menjadi sangat penting lantaran mencakup global bond, green bond, hingga green suku.

Di sisi lain, Ali juga menyebut pemerintah ke depan akan mempertimbangkan skema kemitraan dengan investor bona fide, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat tumbuh seiring dengan transisi energi dijalankan.

“Jadi menumbuhkan perekonomian tidak bisa hanya bergantung dari government spend,” jelasnya. (*)