Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

DPR Sambut Baik Hilirisasi untuk Capai Ketahanan Pangan

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 20 October 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
DPR Sambut Baik Hilirisasi untuk Capai Ketahanan Pangan

KABARBURSA.COM - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Ahmad Heryawan alias Aher, menyambut baik gagasan Presiden Prabowo Subianto dalam mencapai ketahanan pangan. Hal itu dia ungkap menyusul pidato Prabowo seusai mengikuti pengambilan sumpah jabatan sebagai Presiden RI periode 2024-2029, Minggu, 20 Oktober 2024.

Pelaksana Harian Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai, Indonesia perlu mengentaskan kemiskinan dan menghadirkan ketahanan pangan. Hal itu sejalan dengan visi-misi Prabowo di sektor pertanian yang berencana mencetak jutaan sawah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

"Gagasan-gagasan besar (Prabowo) tadi, untuk menghilangkan kemiskinan, sebisanya untuk menghadirkan ketahanan pangan, luar biasa. Mudah-mudahan Indonesia tumbuh menjadi lumbung pangan," kata Aher kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, hari ini.

Di samping itu, Aher juga mendukung Prabowo untuk mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya alam Indonesia. Dia juga mendorong proses hilirisasi yang didorong Prabowo di pemerintahannya nanti. Menurutnya, hilirisasi menjadi jalan alternatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Kalau dihilirkan jadi barang baku, jadi barang jadi, kan mahal banget harganya. Dengan demikian pajak yang diperoleh negara juga sangat besar dan warisan itu akan dipakai untuk kemakmuran bangsa ini," jelasnya.

Lebih jauh, Aher menilai pengoptimalan potensi sumber daya alam dapat menyerap lapangan kerja lebih luas. Karenanya, dia menilai perlu agar pemerintah memanfaatkan segala sumber daya alam yang ada.

"Ini yang sangat amat luar biasa beragam dan banyak di negeri kita. Itu semua tentu diolah dengan baik, dikerjakan dengan baik, diolah dari hulu, tengah, sampai ke hilir yang disebut hilirisasi," tutupnya.

Hilirisasi Kurang Popular

Terkait dengan hilirisasi, Direktur Program Indef Eisha Maghfiruha Rachbini, mengatakan bahwa upaya mendorong industri nasional melalui proses hilirisasi selama periode 2024-2029, masih kurang mendapat perhatian di ranah akademik internasional sebagai strategi kunci transformasi ekonomi.

“Hilirisasi sebetulnya jika dilihat pada academic paper di jurnal-jurnal internasional masih sedikit sekali, atau kurang dipakai untuk melihat perubahan ekonomi satu negara dari berbasis komoditas menjadi negara industri berbasi peran manufaktur yang tinggi,” kata Eisha dalam diskusi publik tentang ‘Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo’ Minggu, 22 September 2024.

Sebaliknya, istilah industrialisasi lebih sering dipakai untuk menggambarkan bagaimana negara-negara seperti Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat (AS) mampu mencapai status negara maju melalui industrialisasi besar-besaran.

“Istilah Industrialiasi lebih banya dipakai untuk mengukur satu negara yang masuk ke negara maju,” ujarnya.

Sayangnya, di Indonesia, industrialisasi seolah-olah hanya menjadi mimpi yang tertinggal di masa lalu.

Indonesia sebenarnya pernah menikmati masa keemasan industrialisasi pada era Orde Baru, di mana pertumbuhan industri manufaktur mencapai 8 hingga 9 persen setiap tahunnya antara 1989 hingga 1996.

Industri manufaktur kala itu menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, menyumbang hingga 25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Pada 1989 dari 19 persen terus meningkat menjadi 25 persen, industri manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu,” jelas Eisha.

Namun, pada dekade terakhir menunjukkan tren yang jauh berbeda. Pada 2023, kontribusi sektor industri hanya tumbuh 18 persen, sebuah kemunduran tajam dibandingkan dengan era 80-an.

Dia menyebut fenomena ini sebagai deindustrialisasi dini, di mana sektor industri mengalami penurunan sebelum sempat mencapai potensi maksimalnya.

“Hal itu (pertumbuhan industri manufaktur)  salah satu titik cukup rendah dibandingkan prestasi di tahun 80-an. Seolah-olah kembali terjadi de-industrialisasi dini,” tuturnya.

Menurut Eisha, Indonesia sedang terjebak dalam transisi menuju sektor jasa, tetapi tidak seperti negara-negara maju yang transisi tersebut ditopang oleh sektor jasa bernilai tinggi seperti teknologi, jasa keuangan, dan layanan digital.

Di Indonesia, sektor jasa masih didominasi oleh sektor informal yang rapuh dan kurang memberikan nilai tambah signifikan.

“Itu adalah gejala deindustrialisasi dini. Perubahan pada sektor jasa pun masih didominasi oleh sektor informal, yang rapuh,” imbuhnya.

Oleh karena itu, menurut Eisha, lebih baik jika pertumbuhan industri manufaktur tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi. Namun yang kini terjadi, pertumbuhan industri selalu di bawah pertumbuhan ekonomi. Maka peran konstribusi sektor industri akan terus tumbuh terhadap GDP.

Lebih lanjut dia mengatakan, masih ada kendala lainnya bagi sektor manufaktur untuk jadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini terkait ketergantungan industri manufaktur Indonesia yang masih bertumpu pada produk-produk berbasis komoditas. Sementara produk manufaktur medium hitech masih lebih rendah.

“Industri pengolahan kita masih bertumpu pada komoditas,” terangnya.

Produktivitas industri juga masih cukup rendah, dengan masalah tenaga kerja dan kapasitas SDM, itu menjadi tantangan tersendiri. Juga inovasi dan teknologi.

Lalu, masalah kawasan industri yang banyak dibangun tapi operasional, utilitas masih menjadi tantangan. Begitu pula infrastruktur dan penggunaan komponen dalam negeri untuk produk industri pengolahan, beserta penggunaan material saat ini masih tergantung impor.

“Produktivitas manufaktur kita terus menurun sejak 2010 dan menjadi semacam red light yang harus diperbaiki,” ungkapnya.(*)